AKU terbangun pukul tujuh lewat empat puluh lima pagi, sementara kuliah akan dimulai pukul delapan nanti. Dosenku tidak pernah memberi ampun kepada mahasiswanya yang terlambat, walaupun itu hanya semenit. Aku pun terpaksa harus tergesa-gesa menyiapkan diri.
Dengan segala persiapan kilatku, aku tiba di gerbang kampus tepat pukul delapan. Aku butuh dua menit untuk sampai ke kelas, tentunya dengan berlari. Sesampainya di depan kelas, seperti dugaanku, dosen telah berada di dalam kelas.
Tanpa menghiraukan rasa tidak ada ampunnya, aku coba mengetuk dan kemudian membuka pintu kelas. Aku berharap ada keajaiban yang akan terjadi di pagi yang menyebalkan ini.
"Izin, Pak. Apakah saya boleh masuk, Pak?"
Ia tidak menjawab pertanyaanku. Namun, aku dapat menangkap isyarat dari kumis tebalnya yang seperti menyuruhku untuk pergi. Ya, aku pun meninggalkan kelas.
Aku pun pergi ke kantin, memesan segelas kopi, dan merokok. Biasanya teman-teman yang terlambat masuk ke kelas akan melakukan hal yang sama sepertiku. Sebentar lagi kumpulan mahasiswa-mahasiswa yang terlambat akan meramaikan kantin ini.
Korban kedua yang terusir dari kelas tampak sedang berjalan menuju kantin. Ya, siapa lagi kalau bukan Radib? Kami bisa dikatakan duo maut di kelas. Nasib kami tidak jauh berbeda. Aku terlambat, ia terlambat. Aku lulus mata kuliah, ia juga lulus. Aku gagal mata kuliah, ia juga gagal. Bahkan ketika ia harus bermasalah dengan dosen, aku pun ikut terseret dalam permasalahannya, hanya karena aku adalah temannya. Begitulah nasib kami. Semuanya kami lalui berdua.
"Diusir Pak Darto ya?" tanyaku.
"Iya," jawabnya.
"Ya iyalah diusir. Aku yang lebih dulu datang darimu saja diusir, Dib."
"Tapi tak apalah. Aku kan masih punya cukup uang untuk kuliah," candanya.
"Cukup sih cukup, Dib. Tapi kalau kita begini terus, kapan wisudanya?"
"Sudahlah, kau tak perlu memikirkan kapan wisuda. Seandainya pun kita lama wisuda, perusahaan keluargaku besar, pasti cukup kalau hanya untuk menampung dua wisudawan seperti kita ini."
"Aku pegang perkataanmu ya?"
"Percayalah. Jangan pernah ragukan aku."
Kami menghabiskan waktu di kantin sembari menunggu kelas Pak Darto selesai. Dan tampaknya kami akan gagal mata kuliah Pak Darto, karena persentase kehadiran kami yang mungkin hanya lima puluh persen saja. Tapi kalau dipikir-pikir, persentase kehadiran kami itu sebenarnya sampai delapan puluh persen. Namun apa daya, tiga puluh persennya itu diusir karena terlambat.
KELAS Pak Darto telah selesai. Beberapa anak kelas berjalan menuju kantin, termasuk Gita. Sebenarnya aku ingin segera pergi meninggalkan kantin, karena setiap aku terlambat untuk masuk ke kelas, Gita akan merepetiku sampai aku tak bisa berkata-kata.
"Dib, nanti kalau Gita sudah sampai di kantin, jangan ngomong yang tidak-tidak ya."
"Baik, Dharma. Santai saja."
Sesampainya Gita di kantin, ia langsung menatapku dengan tatapan yang mengerikan. Radib mulai berpindah tempat, tampaknya ia menyadari kalau sebentar lagi peperangan besar akan terjadi.
"Kenapa terlambat lagi, Dharma? Apakah aku harus menggedor pintu kosmu setiap hari agar kau tak terlambat?"
"Gita, kau lihatkan kalau aku tadi hanya terlambat sebentar saja?"
"Sebentar atau lama sama saja, Dharma. Terlambat tetaplah terlambat."
"Iya, Gita. Aku tahu. Tapi mau bagaimana lagi. Aku juga sudah usaha untuk sampai kampus secepat mungkin."
"Ya, kau selalu bicara begitu. Ingat, Dharma. Ini bukan untuk pertama kalinya kau terlambat. Kau sudah sangat sering terlambat. Mau kuliah sampai berapa semester kalau kau begini terus?"
Radib yang menyaksikan pertengkaran kami mulai terlihat menahan tawa. Sempat saja dia bicara yang tidak-tidak. Aku tidak akan mengampuninya.
"Radib, kau juga. Kalian sama saja!" tegur Gita yang melihat gelagat Radib.
"Iya iya. Aku pasti berubah, Gita," jawabku untuk menenangkan Gita.
"Terserahlah, Dharma."
Gita pun berlalu.
"Sungguh pagi yang menyebalkan," umpatku.