(1) One
"Tidak kenal bukan berarti belum pernah bertemu. Bisa saja selama ini kita sering berpapasan tanpa kita sadari."
.
.
.
Sebuah bis terlihat berhenti di depan gerbang sekolah. Dua orang cewek berpakaian seragam putih abu-abu tampak turun dari angkutan umum tersebut. Setelah mendapat bayaran dari dua cewek yang turun tadi, bis pun kembali berjalan ke tempat tujuan selanjutnya.
Cewek berperawakan mungil dengan rambut diikat ekor kuda itu menatap gedung sekolahnya dengan pandangan datar. Lalu manik mata hazel-nya melirik tulisan 'SMA Kharisma' pada dinding besar yang berada di tengah-tengah halaman depan gedung sekolah. Alih-alih masuk ke dalam, dia malah terdiam di depan gerbang, membiarkan sahabat sedari kecilnya berjalan lebih dulu memasuki lingkungan sekolah.
Setelah terdengar seruan bel yang berbunyi nyaring, barulah ia mulai melangkahkan kaki. Beberapa meter di depannya tampak seorang cewek berkacamata tengah berkacak pinggang sambil menatapnya tajam.
���Lidya! Kok lama banget sih ya ampun?!" teriaknya dengan wajah lucu, sedangkan cewek yang diikat ekor kuda hanya tersenyum kecil.
"Bentar elah. Gak sabaran banget sih, Ra?" jawabnya seraya mempercepat langkah menyusul Lara yang sudah mulai kesal.
"Lo tuh, malah bengong, dasar!" kesal Lara yang kini melipat kedua tangannya di dada.
Lidya sama sekali tidak menanggapi gerutuan Lara, dia malah menarik cewek itu untuk segera kembali melanjutkan perjalanan menuju kelas masing-masing.
Sekolah terlihat sudah ramai dipenuhi para remaja berpakaian putih abu-abu. Koridor pun tampak penuh oleh murid yang berbondong menuju kelasnya. Lidya dan Lara ada dalam keramaian tersebut, terselip di antara murid-murid lain.
Mereka berdua menaiki tangga untuk mencapai lantai 3, tempat di mana kelas mereka berada. Namun sesampainya di ujung tangga, suasana ternyata lebih padat dari sebelumnya. Para siswa dan siswi berdesak-desakkan membuat kegaduhan.
Dari tengah-tengah kerumunan yang didominasi oleh perempuan itu, terdengar suara teriakan-teriakan histeris. Segerombol siswi tampak sedang mengerubungi sesuatu.
Berhubung Lidya dan Lara memiliki tubuh yang kecil, mereka dapat dengan mudah menyelip hingga akhirnya bisa keluar dari kerusuhan para siswi anarkis yang membuat suasana sesak. Lara mendecih sinis saat segerombolan cewek itu meneriaki salah satu cowok most wanted di sekolahnya.
"Si Deo kunyuk itu cari sensasi lagi! Sok famous banget! Emang apa hebatnya dia?!" Lara menggerutu, memandang jijik cewek-cewek centil yang mengerubungi sesosok makhluk tampan.
Sedangkan Lidya, dia hanya memandang kejadian itu dengan wajah datarnya yang khas. Karena tidak tertarik pada keributan di pagi hari yang seharusnya menenangkan ini, Lidya segera menarik tangan Lara untuk menjauh dari sana. Sampai akhirnya mereka berpisah karena Lara sudah sampai di kelasnya lebih dulu. Sedangkan Lidya harus berjalan lebih jauh lagi karena kelasnya berada di ujung koridor, di samping kelas XI-Mia 1.
Sementara itu, di tengah-tengah kerumunan cewek-cewek yang histeris, Deo berusaha keras untuk melarikan diri. Dia sudah tidak tahan, cewek-cewek ini membuatnya tersiksa. Apalagi satu cewek super centil yang sedari tadi menggelayuti tangannya.
"Kak Deo nanti pas jam istirahat kita makan bareng ya?" cewek itu merajuk, ingin sekali Deo mendorongnya hingga dia jatuh tersungkur, tapi dia tidak tega memperlakukan perempuan seperti itu.
"Eh! Cabe! Minggir lo dari kak Deo! Gatel banget sih jadi cewek!"
"Tau, lo! Deo itu punya gue! Gak usah sok jadi adik kelas!"
"Minggir, minggir! Kalian semua mending jauh-jauh dari kak Deo! Kak Deo itu cuma punya Danisha Fabryana! Cewek paling cantik dan paling famous seantero Kharisma!" cewek yang menggelayuti tangan Deo berteriak keras sembari mengibas-ngibaskan tangannya, seakan mengusir.
'Lo juga sebaiknya pergi, anjir! Ah, gila! Kesel gue lama-lama!', batin Deo mendumal, dia memutar bola matanya jengah.
Setelah cewek yang mengakui bahwa namanya adalah Danisha berkata demikian, para cewek yang mengerubungi Deo semakin beringas. Mereka mulai bertengkar dan saling dorong satu sama lain. Deo yang berada di tengah-tengah kerumunan tentunya jadi ikut terdorong-dorong.
Deo baru saja akan berteriak untuk menghentikan mereka sebelum usahanya terhenti karena ia merasa ada seseorang yang menarik tubuhnya ke suatu tempat. Dia sudah bersiap-siap akan memarahi siapapun orang yang berani menarik-narik dirinya sebelum dia melihat sosok Reza sudah bersidekap dada dan memandangnya tajam.
Saat itu juga Deo baru sadar bahwa dia sudah keluar dari kerumunan para cewek centil tadi. Refleks, Deo menghembuskan napas lega dan tersenyum amat lebar pada Reza.
"Wah anjir, Za! Gue hampir aja mati tadi." Raut kelegaan tergambar jelas sekali di wajah Deo. "Makasih banget, Za. Berkat lo gue bisa selamat. Makasih, bro!" ucap Deo sambil menepuk-nepuk bahu Reza dengan dramatis.
"Udah gak usah ngebacot! Ayo cepetan kita ke kelas!" ajak Reza garang yang langsung saja menarik tas ransel Deo tanpa ijin. Menyeret cowok itu dan memasukkannya ke dalam kelas XI-Mia 4, kelas Deo menimba ilmu.
"Sono lu belajar yang bener! Jangan mainan cewek mulu!" titah Reza galak macam emak-emak yang lagi sakit gigi.
Sontak saja Deo langsung mncebikkan bibirnya karena ucapan kasar Reza tadi, "Asuw! Iya, iya. Galak amat lo kayak emak tiri!" balas Deo yang lalu menghilang masuk ke dalam kelas. Membuat siswi XI-Mia 4 seketika histeris karena kemunculannya.
Reza, cowok berkacamata itu menggeleng-gelengkan kepala sebelum pergi menuju kelasnya.
◇◇◇
"Kenapa ukuran bakso punya lo sama punya gue beda?" Naufal memperhatikan mangkuk bakso miliknya dan milik Erick secara bergantian.
Karena ditanya begitu, Erick jadi ikut-ikutan memperhatikan mangkuk bakso miliknya dan mangkuk bakso milik Naufal. Membandingkan keduanya dengan alis yang bertaut. Kemudian dia menggaruk pipinya dengan bingung.
"Beda apanya sih anjir?! Sama aja dah perasaan!" heran Erick yang tak jadi memakan baksonya lantaran Naufal malah mengajaknya berdebat.
Naufal lantas menunjuk bakso-bakso di mangkuknya dan di mangkuk Erick secara bergantian, "Liat dong! Punya gue baksonya kecil-kecil, sedangkan punya lo gede-gede!" ujar Naufal dengan sewot.
"Ya mana gue tahu, anying?! Tanya aja sendiri sono sama Mang Kumis! Kok lo malah protes ke gue sih?!" Erick pun membalas dengan nyolot.
"Enggak! Enggak! Enggak! Gak adil banget pokoknya!" seru Naufal yang kini mulai menukar bakso-bakso miliknya dengan milik Erick.
Erick yang tidak terima segera memukul tangan Naufal yang berusaha memindahkan beberapa buah bakso miliknya, "Lah, bangsul! Ngapain dituker?!"
"Biar adil!" balas Naufal yang malah memeletkan lidahnya ke arah Erick, membuat cowok berperawakan tinggi kurus itu gemas dan memukuli Naufal dengan sendok beberapa kali.
"Rese banget lo, kecoak buruk rupa!"
Deo memperhatikan kedua makhluk jadi-jadian itu dengan muka melongo. Menatap keduanya dengan tatapan aneh seolah mereka adalah makhluk luar angkasa yang tersesat di bumi. Dia bahkan sampai melupakan mangkuk mie ayamnya karena terlalu fokus menonton kegilaan Erick serta Naufal.
Di sampingnya, Reza anteng-anteng saja menikmati nasi goreng miliknya. Tampak tidak terganggu sama sekali dengan perdebatan antara Erick dan Naufal. Reza bahkan terkikik geli mendengar perdebatan mereka berdua yang sudah ngelantur ke luar jalur, yang awalnya memperdebatkan ukuran bakso kini jadi memperdebatkan es teh mereka yang warnanya berbeda.
"Kok punya gue warnanya agak kuning gitu sih? Beda ama punya lo yang warnanya agak item," kata Erick sembari mendekatkan gelas es tehnya dengan gelas es teh milik Naufal.
Dengan semangat Naufal memukul kepala Erick menggunakan botol aqua, "Ya elukan pesennya teh hijau, Pe'a! Jelas bedalah! Gimana sih?!"
Seketika Erick menyengir lebar sambil menggaruk tengkuknya, memberi tanda peace ke arah Naufal. Selanjutnya tatapannya beralih kepada Deo yang terbengong memperhatikan mereka.
"Dimakan, De! Lo gak mau? Ya udah buat gue ya?" dengan iseng Erick menggeser mangkuk mie ayam Deo ke dekatnya.
Tersadar dari lamunannya, Deo langsung berseru panik melihat mangkuk mie ayamnya sudah berada dalam dekapan Erick. Buru-buru dia mengambilnya kembali. Tidak rela makan siangnya diambil Erick begitu saja.
"Eh, enak aja! Bakso punya lo juga belum abis tuh! Maruk ya lo!" omel Deo seraya menyuapkan mie ayamnya ke dalam mulut.
Erick tertawa puas, "Ya lagian bengong mulu. Kalo ada lalat masuk terus lo keselek gimana coba? Masa iya ntar ada berita seorang gitaris band mati gegara keselek lalat sih? Kan gak lucu," oceh Erick yang hanya ditanggapi dengan gedikan bahu oleh Deo.
"Gak papa, bisa jadi tambah eksis nanti," celetuk Naufal asal yang langsung mendapat persetujuan dari Erick berupa tawa keras yang terdengar seperti ejekan bagi Deo.
Reza tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah ajaib kedua teman kurang warasnya itu. Diliriknya Deo yang kini anteng dengan makanannya. Berusaha tidak peduli dengan ocehan tidak jelas Erick dan Naufal. Dia pun menyikut lengan Deo hingga si empu menoleh dan menaikkan sebelah alisnya sebagai isyarat bertanya.
"Btw, ternyata cewek yang kemarin itu satu sekolah sama kita. Bahkan seangkatan," beritahu Reza yang berhasil membuat Deo menghentikan aktivitasnya, meninggalkan mangkuk mie ayamnya sebentar.
"Serius? Cewek kemarin yang main piano di RetroCafe?" Deo kini menatap Reza serius, mulai melupakan mie ayamnya.
Diam-diam Erick menyendok mie ayam milik Deo dan menyuapkannya sekaligus, mengambil kesempatan selagi Deo berbicara serius dengan Reza. Naufal yang melihatnya mengacungkan jempol. Selanjutnya mereka menyeringai lebar dan secara bergantian menyendokkan mie ayam Deo, memakannya secara diam-diam.
"Iya, cewek kemarin. Gue kira dia anak SMP. Taunya dia sekelas sama gue," jawab Reza yang sedikit tertawa geli melihat tingkah Erick dan Naufal di belakang Deo.
"Dia kelas XI-Mia 1?" tebak Deo.
Reza menggeleng, "Bukan, kelas XI-Mia 2."
Sekarang Deo mengerutkan alisnya bingung, "Lah, lo kan kelas Mia 1, Za. Kok bisa sekelas sih?"
Sambil menyuapkan kembali nasi gorengnya Reza menjawab, "Gue pindah ke kelas Mia 2. Gak tahan gue, Mia 1 anak-anaknya serius banget."
Naufal yang sedang mengunyah mie ayam Deo langsung mencibir, "Alesan! Bilang aja mau sekelas sama Ines."
Mendengar cibiran Naufal yang blak-blakan, Reza malah tertawa, lalu menganggukkan kepalanya. "Itu salah satunya sih. Gue kaget aja pas liat cewek kemarin ada di kelas Ines. Pas gue tanya, dia emang murid sini. Cuma emang agak ansos gitu makanya gak pada kenal," Reza menjelaskan.
Ketiga pemuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mengerti pada ucapan Reza. Deo yang baru saja akan kembali menyuapkan mie ayamnya langsung melotot ketika melihat mangkuk mie ayamnya sudah kosong, sedangkan isinya raib entah ke mana.
"Anjer! Mie ayam gue ke mana?!" teriak Deo heboh, melihat-lihat ke samping kiri-kanan mangkuk takut jika mie ayamnya ternyata tumpah. Tapi tidak ada bekas apapun di meja. Semuanya bersih tanpa noda.
Tawa cekikikan Erick dan Naufal tentu membuat Deo curiga. Dengan mata memicing Deo melirik ke arah mereka berdua yang kini menyengir lebar sambil mengangkat jari membentuk tanda damai. Menyadari itu, Deo menggeram, kedua temannya ini selalu saja merecokinya setiap hari. Deo jadi lelah.
"Kampret emang lo berdua! Kalo bukan temen, udah gue tenggelemin lo di pasir hisap! Biar hilang beneran jadi fosil!" umpat Deo seraya menyandarkan punggungnya lemas.
Masih dengan cekikikan jahilnya Erick menoel-noel tangan Deo, "Kenapa beb? Kok jadi galau gitu sih?" godanya.
Kesal, Deo menepis tangan Erick yang menoel-noel tangannya. "Bodo. Gak usah pegang-pegang lo!" ketusnya membuat tawa Erick kian kencang.
"Emangnya kenapa sama cewek yang kemarin? Si Deo suka?" Naufal bertanya kepada Reza sambil menyeruput es tehnya nikmat.
Reza mengedikkan bahunya, melirik ke arah Deo yang memasang wajah asem. Mungkin kesal pada Erick dan Naufal yang sudah menghabiskan makan siangnya. Padahal sudah susah payah ia mengantri, belum lagi menghindari para fansnya yang terus mengekori Deo. Reza maklum saja jika melihat Deo bersikap seperti itu.
"Naufal tadi nanya, De. Lo suka sama cewek kemarin?" Reza mewakili Naufal bertanya pada Deo.
Seketika Deo mendengus kesal, "Bodo! Kesel gue kesel!"
Alih-alih takut akan amarah Deo, ketiga pemuda itu malah menertawakan kemalangan Deo. Di antara mereka berempat, Deo memang yang paling polos, jadi dia selalu kena sasaran perbuatan jahil Erick dan Naufal.
'Nelangsa amat sih hidup gue.'
◇◇◇