Chereads / Introvert Meet Popular / Chapter 3 - (2) Two

Chapter 3 - (2) Two

"Aku tidak keberatan jadi alien jika kamu makhluk astralnya."

.

.

.

Bel istirahat baru saja berdering, tapi semua siswa sudah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Begitu juga dengan cewek rambut sebahu dan berkacamata satu ini. Meskipun penampilannya kayak murid kutu buku, tapi sebenarnya dia ini adalah berandalan ulung.

Lihat saja, padahal bel berbunyi baru lima detik yang lalu, tapi dia malah sudah ada di depan kelas orang. Sambil berkacak pinggang dia memperhatikan setiap orang yang berjalan melewati pintu. Tampak sedang menunggu kemunculan seseorang.

Melihat keberadaannya saja sudah membuat Lidya beristigfar berulang kali. Jadi Lidya dengan sengaja menunduk lalu menyembunyikan wajahnya di balik buku catatan matematika. Hendak menghindari Lara yang sepertinya sudah tak sabar menyeret Lidya ke kantin.

Bukannya apa-apa, mereka memang sahabatan sejak masih pake popok. Hanya saja sekarang ini Lidya dapat giliran jaga perpustakaan, jadi mana mungkin dia bisa pergi ke kantin bareng Lara.

Ingin menolak pun tidak bisa karena Lidya yakin sekali Lara akan tetap memaksanya ikut. Manusia satu itu memang tidak tahu yang namanya "engga", semuanya harus "iya. Parah banget emang. Untungnya Lidya sabar.

"Woi! Malfoy! Lo liat cewek muka zombie ga? Dia udah pergi keluar kelas belum?" tanya Lara seraya mencegat langkah Chayton, teman sekelas Lidya, blasteran Inggris-Bandung, yang penampilannya emang sebelas dua belas banget sama Lucius Malfoy dari film fantasi legendaris 'Harry Potter'.

Dengan ketus Chayton menepis tangan Lara yang tadi sempat memegang bahunya, "I don't know! Teu aya zombie di sini mah! Udah sana you pergi! Ulah ngehalangin jalan dong!" jawabnya tampak tidak suka dengan keberadaan Lara.

Sontak Lara langsung mendecih kesal, "Dih! Biasanya aja dong bule banci! Gak usah nyolot aing ge ngarti!" balas Lara, ikutan kesal.

Setelah mencibir Lara, Chayton melenggang pergi dengan langkah yang dihentak-hentak kayak perawan yang gak dapat ijin keluar malam. Sedangkan mulutnya terus menggerutu menyumpah-serapahi Lara sampai menarik perhatian sekitar.

Lara sendiri tampak tidak peduli, dia malah melangkah masuk ke dalam kelas XI-Mia 2. Tatapannya menatap tajam ke setiap sudut ruangan, mencari-cari keberadaan sosok cewek kurus yang kulitnya pucat kayak mayat hidup.

Karena sosok yang dicarinya tidak ada, Lara menggeram kesal macam banteng. Kemudian dia mengangkat satu kakinya ke atas kursi terdekat sambil bersidekap dada.

"Oi! Para penghuni bumi bagian terbawah! Di mana Lidya Naveera temen gue yang baik tapi kurang ajar itu, huh?!" seru Lara layaknya preman yang hendak mengobrak-abrik seisi pasar untuk mencari budaknya yang kabur.

Alih-alih takut, murid yang tersisa di kelas XI-Mia 2 hanya menatap datar Lara seolah sudah terbiasa dengan tabiatnya. Lalu dengan kekompakkan yang luar biasa mereka menggeleng seirama.

Hal itu jelas saja membuat mood Lara tambah buruk. Dia berdecak kesal seraya menendang kursi yang tadi diinjaknya, kursi milik Chayton yang anggun.

"Kalo kalian liat dia, langsung lapor ke gue! Oke? Paham kan?" katanya sebelum menghilang di balik pintu, pergi entah ke mana.

Sedangkan Lidya yang menyembunyikan wajahnya di balik buku, segera mengambil napas lega sebanyak mungkin. Untungnya dewi keberuntungan berpihak padanya sehingga Lidya bisa lolos dari jeratan maut Lara.

Jika tidak, mungkin perut Lidya sudah kembung karena dijejali banyak makanan sama teman laknatnya yang satu itu.

Lidya jelas mengerti kenapa Lara tak pernah bosan mengingatkan Lidya untuk makan. Tentunya itu adalah bentuk perhatian yang Lara berikan padanya. Namun jika terlalu sering, Lidya jadi lelah juga. Bagi seorang introvert seperti Lidya, waktu-waktu sendiri adalah sesuatu yang sangat amat berharga.

Nah, makanya. Saat ini Lidya hanya butuh waktu untuk sendiri. Jadi tolong jangan salahkan Lidya dalam kasus ini. Karena saat pulang sekolah nanti, Lara sudah bebas menempel pada Lidya seperti biasanya.

"Sekarang waktunya refreshing," gumam Lidya setelah memakai kacamata bulat besar untuk menyamarkan penampilannya. Beruntungnya dia tidak terlalu populer sehingga orang-orang jarang memperhatikan keberadaan Lidya.

Sebab itu, pergi secara diam-diam tanpa diketahui siapapun merupakan keahlian seorang Lidya Naveera.

◇◇◇

Bu Hesti mengakhiri pelajarannya dengan salam. Setelahnya dia menyuruh siswa kelas XI-Mia 4 untuk mengumpulkan kembali buku paket yang dipinjam dari perpustakaan. Usai membereskan barang-barangnya, Bu Hesti melenggang anggun keluar dari kelas. Akan tetapi, langkahnya terhenti di ambang pintu. Diliriknya Deo yang sedang duduk santai di kursinya.

"Deo!" panggil Bu Hesti cukup kencang agar Deo bisa mendengarnya, sebab suasana kelas Mia 4 sudah mulai ramai.

Deo yang dipanggil oleh guru muda itu seketika langsung menegakkan punggungnya, "Kenapa, Bu?"

"Nanti tolong antarkan buku-buku itu ke perpustakaan ya!" pintanya dengan nada lembut.

Sebenarnya Deo malas pergi ke mana-mana sekarang, tapi karena yang memintanya adalah Bu Hesti, guru paling sabar seantero SMA Kharisma, Deo rela. "Oke, Bu. Siap!" jawab Deo sambil memberi hormat pada bu Hesti, membuat wanita itu tertawa pelan.

"Makasih ya," ucap Bu Hesti yang setelahnya pergi dari kelas XI-Mia 4 untuk menuju kelas yang akan dia ajar selanjutnya.

Setelah Bu Hesti hilang dari balik pintu, Deo bangkit dari duduknya. Dia melangkah mendekati Farid yang sedang menghitung tumpukan buku paket kimia, lalu dengan seenaknya Deo langsung mengambil tumpukan buku paket tersebut. Farid seketika melotot karena buku paketnya diambil begitu saja. Sesegera mungkin dia menarik bahu Deo sehingga langkahnya terhenti.

"Woi! Lagi gue hitung ini, kenapa malah diambil?" protes Farid sembari menunjuk tumpukan buku di tangan Deo.

"Gue udah diamanahin Bu Hesti buat balikin buku-buku ini ke perpus!" Deo menjawab dengan sedikit membentak.

Farid menatap Deo tajam sambil berkacak pinggang, "Ya iya dihitung dulu, bangke! Kalo ada yang ilang emangnya lo mau ngegantiin?!" Farid balas membentak.

"Ya kagak maulah. Buat apa coba?!" balas Deo sewot.

"Yaudeh siniin dulu! Mau gue itungin!" perintah Farid garang.

Dengan tampang polosnya Deo menurut begitu saja. Dia letakkan kembali tumpukkan buku-buku tersebut ke atas meja. Membiarkan Farid menghitungnya terlebih dahulu. Setelah selesai barulah Deo mengangkatnya untuk diantarkan ke perpustakaan.

"Udah lengkap belum nih?" tanya Deo sebelum dia melangkah keluar.

"Iya, udah. Lengkap kok ada 38 biji," Farid menjawab yang hanya diangguki oleh Deo.

Baru saja Farid akan kembali ke tempat duduknya, Deo malah kembali memanggil. Dengan malas dia pun berbalik dan melihat ke arah Deo yang tampak kesusahan membawa tumpukan buku paket kimia yang tebal-tebal itu. Tanpa bertanya pun Farid sudah tahu apa yang diinginkan oleh teman satu kelasnya tersebut. Jadi walaupun malas, Farid tetap mengambil separuh tumpukan buku paket kimia dari tangan Deo. Lalu berjalan lebih dulu menuju perpustakaan.

Di belakangnya Deo menyeringai senang. Buru-buru dia menyusul langkah lebar Farid dan berjalan bersisian dengannya. Sebagai ketua kelas, Farid memang selalu bisa diandalkan.

"Untung lo peka," Deo memulai pembicaraan yang langsung disambut dengusan sebal oleh Farid.

"Bacot!"

"Ih, galak amat sih mas?" Deo dengan sengaja menggoda Farid, membuat cowok berambut cepak itu memutar bola matanya.

"Habis ini pelajaran bahasa Inggris 'kan ya? Lo udah ngerjain tugas dari Pak Kasep?" tanya Farid mengalihkan pembicaraan.

Deo tampak berpikir beberapa saat, mengingat-ingat tugas dari guru bahasa Inggrisnya yang super narsis minggu lalu. Setelah sekitar satu menit barulah dia mengangguk, "Udah kayaknya."

Senyum secerah matahari di siang bolong langsung terbit di wajah Farid, "Gue copy boleh kan ya? Gue kan udah bantuin lo," pintanya sambil menaik-turunkan alis.

Wajah Deo pun langsung jadi asem, dia menatap Farid dengan pandangan aneh seolah Farid adalah kotoran ayam yang tidak sengaja dia injak. "Kalo ada maunya aja baru ngebaikin lo!" sinisnya yang malah membuat Farid tertawa.

"Jangan gitulah! Boleh ya, De?" Farid merajuk, dia bahkan menyenggol-nyenggol lengan Deo dengan sikunya.

"Bodo amat ah. Cari sendiri aja ntar di tas gue!" putus Deo seraya memasuki ruang perpustakaan tanpa permisi.

Pekikan senang terdengar dari belakang Deo. Sambil bersenandung riang Farid berjalan mendahului Deo menuju jejeran rak buku yang memang dikhususkan untuk buku-buku pelajaran. Ditaruhnya tumpukan buku paket itu dijejeran buku paket kimia yang lain. Saat Deo datang, Farid segera mengambil buku dari tangan Deo dan menaruhnya di tempat yang sama.

Dengan pandangan aneh yang belum pudar dari wajah, Deo memperhatikan Farid yang kini sedang merapikan buku-buku paket tersebut. Senyum secerah matahari miliknya juga belum menghilang. Deo jadi sangsi kalau Farid sebetulnya kerasukan setan perpustakaan yang rajin.

"Nah, udah selesai. Gue balik duluan ya, tugas bahasa Inggris lo ada di tas 'kan?" Farid bertanya setelah ia selesai dengan aktivitasnya. Aura kebahagian terpancar kuat dari wajahnya yang pas-pasan itu.

Dan tanpa menunggu jawaban dari Deo, Farid sudah melenggang lebih dulu keluar dari perpustakaan. Meninggalkan Deo yang terbengong di tempatnya karena sikap ketua kelas sialannya itu. Setelahnya Deo berkacak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.

"Si kunyuk sialan itu! Dia beneran baek pas ada maunya doang!" gerutu Deo. Rasanya dia jadi ingin mengacak-acak sesuatu. Tapi tidak mungkin juga 'kan kalau dia harus mengacak-ngacak buku yang sudah disusun rapi seperti ini?

Deo pun pada akhirnya malah mengacak-ngacak rambutnya. Dalam hati dia sudah berniat akan menggunduli rambut Farid sesampainya di kelas nanti. Namun sayangnya sesosok objek yang duduk di balik meja penjaga perpustakaan membuat langkah Deo yang hendak membuka pintu keluar terhenti begitu saja.

Di sana ada seonggok tubuh mungil yang sedang menunduk membaca buku. Entah kenapa sosok itu terlihat familiar di mata Deo. Postur tubuh kecilnya yang rapuh tersebut seperti pernah Deo lihat di suatu tempat. Apalagi wajah manisnya yang tertutupi kacamata bulat kebesaran itu. Selama beberapa menit dia hanya terdiam memperhatikan objek tersebut. Hingga yang diperhatikan mengangkat kepalanya dan menatap Deo dengan pandangan bertanya-tanya.

"Ngapain?" suara merdu yang tidak asing bagi Deo terdengar.

Tersadar dari lamunannya, Deo jadi tergagap karena ketahuan memperhatikan cewek itu. Refleks dia jadi mengusap tengkuknya salah tingkah. Tatapan tajam cewek itu nyeremin sih.

"Enggak. Gak ada kok, hehe," cengir Deo yang diabaikan si cewek, dia hanya menatap Deo datar dan kembali membaca buku.

'Apa-apaan responnya itu?', batin Deo yang kini mencibir cewek di balik meja penjaga secara diam-diam. Dia hanya kesal saja telah diabaikan.

Karena cewek di hadapannya ini bikin penasaran, Deo mencoba melupakan sikap tidak ramahnya tadi. Lantas didekatilah cewek itu, Deo akan mencoba bertanya.

"Ehem, kalo ga salah, lo yang kemarin main piano di RetroCafe 'kan?" Deo bertanya dengan hati-hati.

Tak ada jawaban apapun. Deo mencoba menunggu dengan sabar. Cewek di hadapannya ini malah sibuk membolak-balikkan halaman buku. Deo jadi sedikit gemas, baru saja dia akan menegur, tapi si cewek sudah keburu bersuara.

"Kalo iya kenapa? Kalo bukan kenapa?"

'Lah? Udah lama-lama nunggu malah diphpin.' Deo kini hanya diam sembari mengerjapkan matanya. Cewek satu ini membuat Deo bingung harus menjawab apa. Jadilah Deo bergeming dengan dahi berkerut dalam karena otaknya dipakai berpikir. Biasanya Deo tidak sebingung ini jika berbicara dengan orang lain. Tapi cewek ini? Ugh, benar-benar deh.

"Ya gak ada sih. Cuma nanya doang 'kan?" jawab Deo pada akhirnya.

Si cewek akhirnya berhenti membolak-balikkan halaman bukunya, "Gak ada urusan lagi 'kan? Kalo gitu silahkan, pintu keluarnya ada di sana!" ujarnya kalem tapi nusuk, ditunjuknya pintu keluar yang berada tepat di samping meja penjaga.

'Uasem! Gue diusir.'

Karena memang bingung ingin menanyakan apa lagi, akhirnya Deo menyerah. Hanya untuk hari ini saja dia akan mengalah. Dalam hati Deo sudah bertekad akan menyusun rencana pendekatan ketika sampai di rumah nanti. Sebuah pendekatan untuk membujuk agar dia mau menjadi anggota band BlackGalaxy.

Tapi sebelumnya Deo harus mencari tahu apakah dia cewek yang sama atau bukan. Rasanya Deo ragu, soalnya sifat dan tampangnya bertolak belakang sih. Tampang imut sikap judes, 'kan gak cocok.

Sebelum melangkahkan kakinya, Deo menyempatkan diri untuk melirik name tag cewek itu. Setelahnya ia menyeringai lebar diam-diam. Lalu keluar dari perpustakaan sambil mengucap 'Assalamu'alaikum' yang dijawab gumaman kecil berupa 'Wa'alaikumsalam'.

'Nah, Lidya. Tunggu aja nanti. Gue gak akan nyerah supaya lo jadi bagian dari BlackGalaxy.'

◇◇◇