Chereads / Greentea Latte / Chapter 13 - -13- Afka Murka

Chapter 13 - -13- Afka Murka

"Bude, ini Afka. Ghirel aku pinjam sebentar yah bude, cuman semalam," pamit Afka dengan wajah tenangnya. Pemuda itu sangat tenang seakan tak takut apapun. Dan hal itu membuat Ghirel semakin menyukainya dan merasa nyaman dengannya. Laki-laki badboy dengan wajah kalem itu benar-benar membuat Ghirel merasa aman kapanpun.

"Ada apa emang?" terdengar nada datar dari seberang sana. Sangat jelas hal ini menandakan bahwa Raila-ibunda Ghirel tidak suka terhadap apa yang ia dengar.

"Afka habis kecelakaan, terus papah lagi di Bali. Jadi, Afka suruh Ghirel buat nemenin," ujar Afka dengan percaya diri. Afka menarik pergelangan tangan Ghirel menuntunnya untuk duduk di depannya. Melihat raut wajah khawatir Ghirel, Afka mengelus pipi gadis itu.

"Maaf ya Afka, tapi bude gak ngebolehin soalnya gak baik cowok cewek berduaan. Jadi tolong Ghirel disuruh pulang. Ntar saya suruh Junco yang jemput!" sambungan telepon ditutup oleh Bunda Ghirel. Meskipun Afka tahu akan seperti ini hasilnya, tetapi dia tetap melakukannya demi Ghirel.

"Salah sendiri pake telfon bunda," Ghirel memukul pelan lengan kokoh pemuda didepannya. Afka meringis kesakitan saat Ghirel memukulnya pelan. Sial sekali Afka karena Ghirel memukul tepat di luka paling menyakitkan untuknya.

"Ish! Sakit Jie!" Afka mengadu kesakitan. Tangannya sudah mengelus perlahan luka itu mencoba merendam rasa perihnya. Ghirel panik, lalu dengan cekatan ia meniup perlahan luka tersebut membuat Afka tersentak kaget.

"I love you Jie," bisik Afka membuat Ghirel merona. Ghirel mengerjapkan matanya menatap Afka yang sudah tersenyum manis di depannya.

"Ekhem! Ngapain sih, pakai telepon bunda ada apa? Sok pahlawan banget," dengus Ghirel berusaha menyembunyikan rasa malunya.

"Kalau di novel biasanya kalau cowok nelpon calon mertuanya, nanti calon mertuanya pasti luluh," jawab Afka sembari mengerucutkan bibirnya.

Ghirel mendengus kesal,"Itu cuman ada di novel Afka." Afka tidak menjawab lagi, mereka sama-sama berkutik dengan pikirannya sendiri.

Hening menerpa keduanya, Afka hanya menatap Ghirel dalam-dalam sembari tersenyum. Sedangkan yang ditatap hanya sibuk memandangi ponselnya membalasi ocehan Bunda yang tak kunjung reda. Hening tak bertahan lama hingga sebuah dering ponsel membuyarkan keduanya.

Afka meraih ponselnya lalu melihat nama Tatiana disana. Ghirel mengenalnya. Tatiana adalah salah satu kekasih Afka. Entah kekasih yang keberapa, yang jelas Tatiana sangat cantik dan nyaris sempurna membuat Ghirel merasa sedikit, cemburu?

"Afka? Kamu di ruangan mana? Aku udah di rumah sakit nih," suara imut Tatiana terdengar oleh Ghirel membuatnya merasa terkalahkan. Yah, Ghirel hanyalah gadis biasa tanpa sedikitpun keistimewaan di dalam dirinya. Sedangkan Tatiana? Gadis cantik, imut, dan anggun yang akan membuat siapapun terpikat saat melihatnya.

"Anyelir nomer 4 Na," jawab Afka. Kemudian, telfonnya kembali berdering. Ada nama perempuan lain di sana, Kristal.

Ghirel menarik nafasnya berat, sepertinya Afka sudah tau bahwa Ghirel tidak dapat menemaninya sehingga memanggil kekasihnya yang lain. Bohong jika Ghirel tidak cemburu, memikirkannya saja membuat hatinya sakit. Tapi, mau bagaimana lagi? dia tidak mungkin egois untuk melarang laki-laki itu.

Pintu ruangan dibuka oleh seorang gadis dengan rambut pendek sebahu dengan paras rupawan. Itu sepertinya Tatiana, gadis itu langsung memeluk Afka di depannya. Terlihat jelas di matanya bahwa Tatiana sangat mengkhawatirkan Afka. Beruntung sekali Afka dikelilingi orang-orang baik meskipun dirinya brengsek seperti buaya.

"Ini, siapa beb?" Tatiana menunjuk Ghirel yang sudah duduk di sofa dan bersiap akan pulang.

"Ghirel, sejenis sama kamu," jawab Afka sembari membaringkan tubuhnya yang dibantu oleh Tatiana. Tatiana tersenyum kepada Ghirel yang sudah tersenyum balik. Meskipun itu adalah senyuman dipaksakan.

Ghirel sakit hati mendengarnya. Sekarang dia merasa seperti seorang gadis yang mengejar-ngejar Afka. Namun, Ghirel tetap Ghirel dengan segala sikap kedewasaan yang ia miliki sehingga selalu bisa mengontrol emosi di berbagai situasi.

"Oh iya, kamu nanti ditemenin Ghirel juga?" tanya Tatiana sembari meletakkan tas nya di atas tempat tidur Afka.

"Dia mau pulang bentar lagi," jawab Afka datar. Bahkan, menatap Ghirel pun tidak.

Sungguh,rasanya Ghirel ingin marah, namun juga ingin tersenyum melihat respon Afka kepada Tatiana yang berbeda jauh dengan respon Afka kepada dirinya. Bagaimana bisa Afka kepada dirinya sangat hangat dan menggemaskan sedangkan kepada Tatiana sangat datar dan keras?

"Untunglah, nanti aku yang jagain kamu malam ini Afka," ujar Tatiana.

"Sama Kristal," kata Afka. Wajah cantik Tatiana langsung pudar, bahkan gadis itu berdecak kesal. Tetapi, Ghirel tidak tahu mengapa.

"Jangan bikin keributan nanti, aku pusing mau tidur," kata Afka mengantisipasi. Laki-laki sudah paham betul jika Kristal dan Tatiana bertemu, maka dimana pun tempatnya, bom akan berjatuhan.

Tatiana melangkah menuju Ghirel lalu sekedar berbasa-basi menanyakan nama. Setelahnya, ia kembali kepada Afka dan mulai berbagi cerita dengan pemuda itu meskipun dapat dilihat bahwa Afka tak berminat sedikitpun untuk mendengarkannya.

***

Sekitar dua hari berlalu sejak kejadian kecelakaan Afka. Semenjak hari itu, Ghirel tiba-tiba menghilang tanpa kabar. gadis itu seakan-akan lenyap ditelan bumi membuat Afka kepalang panik.

Untung saja hari berlalu sangat cepat dan kembali sekolah,Afka yakin dapat menemukan Ghirel di sekolahan. Ghirel bukan tipikal gadis yang bisa membolos seenak jidat,itu membawa keuntungan untuk Afka.

Mata Afka menelisik dari gerbang sekolahan hingga ke setiap sudut sekolahan. Hingga akhirnya ia menyerah dan masuk ke kelasnya.

Tanpa dia sangka, ternyata Ghirel berada di kelasnya sedang tertidur di atas mejanya. Dengan cekatan, Afka melangkah mendekati gadis itu. Rahang Afka mengeras saat mengingat hari-hari dimana ia mencari keberadaan Ghirel yang secara tiba-tiba sulit ditemukan. Semuanya terasa sangat tiba-tiba untuk Afka dan tentunya, sangat membingungkan.

Brak!

Afka menggebrak meja membuat Ghirel terkejut.

"Afka?"ujarnya lirih sembari mencoba berdiri perlahan. Seluruh siswa yang ada dikelas diam, tak berani berkutik melihat Afka yang mulai kehilangan kontrolnya.

"Ikut aku!" Afka menarik lengan Ghirel kasar. Seluruh sorot mata di koridor menatap sepasang kekasih ini dengan tatapan tak suka. Sepertinya, siapapun yang berhubungan dengan Afka akan selalu ditatap tak suka oleh para gadis.Namun, ada salah satu orang yang menatap mereka dengan tatapan membunuhnya. Bahkan ia sudah berencana untuk memisahkan Afka dan Ghirel sebisa mungkin.

"Aw, sakit!" tangan Ghirel dihempaskan begitu saja membuat sang empunya tangan meringis menahan perih di pergelangannya. Ghirel dibawa ke ruang musik. Ruangan ini memang jarang dikunjungi orang setelah guru seni musik meninggal dunia 3 hari yang lalu. Belum ada guru pengganti untuk sementara ini.

"Kamu kemana aja 2 hari ini?!" bentak Afka sembari mengguncangkan kedua bahu Ghirel.

"Maaf," jawab Ghirel, masih tak mau menatap mata Afka. Demi apapun, dia takut kepada Afka. Ghirel tidak mengira bahwa amarah Afka akan sebesar ini.

"Aku gak butuh maaf kamu Jie, AKU BUTUH PENJELASAN KAMU!" Afka meninggikan nada bicaranya membuat Ghirel tersentak kaget mendengarnya. Bahkan, saat ini mata Ghirel sudah menatap kecewa kedalam manik mata Afka.

"Kamu tau? Sepanik apa aku mikirin kamu?aku ke rumah kamu tapi selalu gaada, aku nyoba nyari tau lewat Siska sama Tzuwi selalu gak direspon. Aku khawatir sama kamu Jie,"ujar Afka membuat Ghirel menitihkan air matanya. Entah sejak kapan Ghirel merasa dirinya jadi lemah begitu saja, Ghirel merasa ia menjadi mudah menangis semenjak mengenal laki-laki di depannya.

Air mata Ghirel semakin deras keluar dari kelopak matanya,"Maaf, dua hari ini aku mikirin gimana kelanjutan hubungan kita Afka, aku bingung bunda atau kamu? Kalian sama berharganya."

Ada perasaan lega saat kebingungan yang menimpanya akhirnya ia ungkapkan kepada Afka. Sebenarnya, selama dua hari ini Ghirel berusaha untuk menjauh dari Afka. Ia ingin mencoba tidak bergantung pada pemuda itu sehingga bisa dengan mudah memilih bundanya. Meskipun pada akhirnya, semua rencananya berantakan saat sudah melihat sorot mata khawatir Afka sekarang.

Afka yang melihat gadisnya rapuh akhirnya memeluk tubuh Ghirel. Menenangkannya sambil sesekali mencium pucuk kepalanya. Ghirel hanya diam merasakan hangat pelukan Afka hingga merasa ingin selalu berada di dalam dekapan Afka.

"Afka, maaf tapi kita emang harus putus," Ghirel menghela nafas kasar.