"Mei," ucapku pelan.
"Ya, nona?" Mei melepas pelukannya.
"Tolong ambilkan beberapa kertas dan pena. Aku ingin menulis sesuatu."
"Baiklah."
Mei mengundurkan diri dan langsung mencari apa yang kuminta. Jika benar ini adalah kesempatanku untuk berubah, aku harus mengingat semua yang menjadi inti dari penghukumanku. Mulai dari rasa hausku akan kasih sayang Marquess, kedatangan Elisa, rencana pembunuhan, bahkan eksekusiku.
Tak lama kemudian, Mei datang dengan membawa beberapa kertas dan pena seperti yang kuminta. Dia benar-benar telaten. Aku belum memutuskan untuk menulis sekarang, karena aku masih terbalut pakaian tidur. Aku bertanya ini jam berapa dan Mei menjawab jam 9 pagi. Aku juga bertanya jadwal apa saja yang kumiliki hari ini.
"Jadwal hari ini bersama Marchioness Hildelard, pelajaran tata krama."
Aku mengangguk mengerti. Aku ingat siapa itu Marchioness Hildelard. Beliau adalah salah satu bangsawan wanita yang cukup disegani di kekaisaran dan merupakan orang yang sangat dekat dengan ibuku.
"Apakah air mandi sudah siap?"
"Sebentar lagi, nona."
Aku mandi dalam keadaan termenung. Tentu saja aku sedang berpikir keras mengingat kehidupanku dulu. Aku harus berubah total dari kehidupanku yang dulu. Jika tidak aku akan mati di tangan orang yang kucintai, pangeran. Pedangnya yang tajam menghukumku begitu kejam masih berbekas di ingatanku. Tanpa kusadari, bulu kudukku berdiri. Mei hanya diam saja. Mungkin airnya cukup dingin bagiku.
Selesai mandi, aku berpakai rapi layaknya nona-nona bangsawan umumnya. Kulihat Mei begitu rajin mengerjakan semuanya, hanya dia sendiri. Tetapi dia tak pernah mengeluh. Andai saja aku terlahir lebih awal, mungkin Mei tak perlu bersusah payah sendiri seperti ini. Meskipun pelayan di rumah ini cukup banyak, yang melayaniku hanya Mei seorang. Kini aku benar-benar bersalah.
Aku duduk di meja, mencoba menulis sesuatu. Aku ini, benar-benar. Padahal aku begitu menggebu-gebu tadi, dan entah kenapa kini semua itu telah runtuh. Ah, menyebalkan sekali.
"Apa nona ingin camilan?" Tanya Mei membuyarkan lamunanku.
"Em, apa boleh?" Aku ragu. Mei tersenyum seakan mengatakan tentu saja.
Aku terus berusaha mengingat semuanya dari awal. Awal dari kehancuranku adalah saat aku kecil. Aku, Monte Carla adalah putri tunggal dari Marquess Monte dan Marchioness Violetta. Mereka menikah politik, jadi tak ada rasa cinta diantara mereka berdua. Sampai aku lahir, Marquess yang dingin mengabaikan aku dan ibuku serta menganggap kelahiranku tak berarti. Tentu saja, zaman ini kelahiran anak laki-laki sangat diharapkan. Meskipun mereka tak mencintai, memiliki keturunan sebagai penerus begitu penting. Sampai umurku 7 tahun, ibuku, Marchioness Violetta meninggal karena suatu penyakit. Yang paling menyakitkan adalah aku masih sangat kecil dan tak mengerti apa-apa. Aku bahkan tak diizinkan bertemu ibu. Namun, Marquess tak pernah mengunjungi ibu sama sekali.
Setelah ibu meninggal, Marquess tak pernah mengindahkanku. Tetapi aku tak pernah membencinya, malah aku berusaha mendapat perhatiannya. Aku melakukan segala sesuatu dengan sempurna di waktu kecil, tata krama, pengetahuan umum dan lain-lain kukuasai dengan sempurna. Tetapi tetap saja Marquess tak pernah melihatku. Saat aku berumur 12 tahun, aku mendengar bahwa Marquess memiliki anak lain yang berbeda dua tahun dariku. Dia begitu mendapat cinta yang melimpah dari Marquess. Elisa, anak yang lahir dari seorang pelayan di Kekaisaran Patricha. Saat aku berusaha mengingat lebih dalam Mei masuk dan mengatakan padaku bahwa Marchioness Hildelard sudah datang.