Aku bangkit dari kursi dan merapikan sedikit rok gaunku. Setelah itu Mei datang bersama seorang wanita paruh baya. Ya, beliau adalah Marchioness Hildelard.
Marchioness Hildelard, putri tunggal dari Marquess Hildelard. Merupakan seorang bangsawan wanita yang cukup disegani di kekaisaran Amaranthine. Beliau adalah orang yang sangat dekat dengan ibu. Aku mengingat kembali bagaimana hubunganku dengan Marchioness. Beliau memang guruku, tetapi aku tak pernah mengganggapnya begitu. Aku hanya fokus untuk menjadi yang terbaik. Kukerjakan semuanya dengan sempurna. Aku hanya bersikap formalitas kepada beliau, menjawab dengan angkuh dan dingin.
Kupikir, mungkin dengan 'mimpi buruk' aku bisa memulai hubungan yang lebih baik dengan Marchioness dibandingkan dengan yang dulu. Tetapi bagaimana memulainya? Aku yang terkenal jahat, angkuh, dingin, dan haus cinta Marquess meminta maaf dengan orang lain tak pernah terbayang olehku. Mungkin ini cukup aneh mengingat dengan mudahnya aku meminta maaf kepada Mei yang telah kuperlakukan sangat buruk itu dengan beralasan 'mimpi buruk'. Namun, alasan ini takkan mempan dua kali. Mungkin jika dulu aku menjadi anak yang baik, bisa saja penghukumanku takkan terjadi. Orang-orang yang berada di sekitarku, Mei dan Marchioness akan membelaku. Kurasa aku akan meminta maaf.
"Bagaimana kabarmu pagi ini, putri Carla?" Senyum ramah Marchioness kepadaku. Aku yang mendengarnya menggigit bibir.
"Seperti biasa," aku menjawab sambil mengalihkan pandangan. Ah, padahal aku ingin berubah namun masih saja aku dipengaruhi ego. Bagaimana caraku untuk memulai?
"Baiklah, kita lanjutkan pelajaran minggu lalu," beliau membalasku dengan lembut. Aku menggangguk setuju.
Aku ingat, sebenarnya aku sudah lulus dari pelajaran untuk bangsawan seperti tata krama, cara makan, cara duduk dan sebagainya. Aku adalah orang yang mudah memahami sesuatu dengan cepat, makanya terkadang aku dianggap jenius. Biasanya bangsawan menyelesaikan pelajaran-pelajaran ini batas usia 15 tahun, namun aku menyelesaikannya lebih dulu. Padahal aku masih 10 tahun. Karena terlalu cepat selesai, aku mengulang pelajaran-pelajaran ini sekali lagi hanya dalam waktu 2 bulan. Kini hanya tersisa 1 bulan lagi.
"Sangat sempurna seperti biasanya putri," puji Marchioness sambil melihatku dengan senyum. Padahal aku hanya berbicara mengikuti aturan. Tata krama adalah etika berbicara bangsawan. Setiap berbicara ada maknanya. Terutama untuk putri-putri bangsawan. Mereka adalah rajanya untuk hal itu. Ketika melakukan perjamuan atau perkumpulan, keahlian dan strategi berbicara langsung dihadapkan begitu saja. Istilah yang lebih tepat adalah 'perang mulut yang anggun'. Ini sudah menjadi tradisi dan entah kenapa aku sangat menikmati hal itu. Setiap putri pasti membahas yang membuat dirinya menonjol bahkan aku melakukannya. Aku dijuluki sebagai putri pergaulan atas karena kemampuan berbicaraku yang mumpuni, namun bukan hanya karena itu saja, ibuku, Marchioness Violetta adalah sang ratu pergaulan atas dan kemampuannya menurun padaku. Namun, aku menggunakannya dengan cara berbeda. Yang kutahu ibu dijuluki seperti itu karena tegas dan berwibawa, justru aku yang putrinya dijuluki seperti itu karena aku yang angkuh ini.
Aku ingin mengingat lebih rinci lagi, tentang ibu. Namun aku melupakan hal yang penting, aku harus meminta maaf pada Marchioness Hildelard karena sikapku yang angkuh dan dingin, padahal beliau adalah guruku dan lebih tua dibanding aku. Jika aku meminta maaf dan hubungan kami membaik, itu bisa saja mencegahku jatuh pada hari penghukumanku. Kupikir sudah saatnya untuk berubah haluan.
"Marchioness, saya minta maaf atas perbuatan saya selama ini," aku menunduk. Marchioness yang mendengarku berbicara seperti itu tak percaya.
"Kenapa putri minta maaf? Apa yang telah putri lakukan kepada saya sampai minta maaf?" Tanyanya lembut.
"Aku hanya berpikir tindakanku selama ini sangat bodoh dan aku melimpahkan semuanya kepada Marchioness."
"Tindakan bodoh apa yang putri maksud? Saya tak berpikir demikian, putri," beliau menatapku lekat.
"Tetapi, selama ini saya bersikap angkuh dan dingin kepada anda, padahal anda adalah guru saya. Maafkan saya."
"Putri," Marchioness menggenggam lembut tanganku. "Putri tidak salah apa-apa. Saya memaklumi putri karena putri masih dalam proses pertumbuhan. Meskipun putri seperti itu, putri tidak pernah melawan dan mencela. Maka dari itu jangan minta maaf."
"Begitu? Tetapi saya memperlakukan para pelayan dengan tidak semestinya. Saya marah-marah, membentak, dan memaki mereka padahal mereka tak bersalah. Apakah itu namanya tidak pernah melawan dan mencela?" Marchioness terdiam sesaat. Aku menunduk makin dalam.
"Putri, saya tahu itu adalah tindakan yang tidak benar, namun seharusnya saya dan para pelayan membimbing putri menjadi lebih baik. Kami harusnya mengajarkan cara memperlakukan orang dengam baik kepada putri. Tetapi kami bahkan tak tahu rasa sakit putri sehingga putri melampiaskan semuanya dengan cara yang salah. Maka dari itu jangan minta maaf putri. Ini semua bukan salah putri. Karena keadaan yang mendukung, putri yang masih belia tak tahu harus bertumpu kepada siapa. Ini juga karena kelalaian saya. Harusnya saya memberikan banyak cinta kepada putri. Saya telah gagal menjaga janji kepada beliau, ibu anda, untuk selalu mendukung putri."
Aku yang mendengarnya meringis. Ya, jika bukan karena keadaan itu, aku pasti takkan memperlakukan semua orang dengan semena-mena. Mei dan Marchioness sangat baik hati. Kenapa aku seperti itu? Kini aku benar-benar telah tersadar.