Suasana di dalam kafe itu menjadi tegang. Redita tidak percaya dengan apa yang dikatakan Silvia. Radit bukanlah orang jahat seperti yang sahabatnya itu katakan. Dia bahkan berasumsi jika sahabatnya itulah yang menggoda kekasihnya hingga mereka berpacaran dan menyembunyikan semuanya dari dia.
Pandangan mata menyipit, melihat Silvia seperti seorang pendosa yang tidak tahu akhlak.
"Jadi kau tidak percaya padaku, Dit?" tanya Silvia sekali lagi dengan nada suara merendah.
Redita menggeleng. Otaknya sudah dipenuhi oleh sosok pria itu. Bahkan saat ia memutuskan untuk tidak berkomunikasi seperti sekarang ini dengan kekasihnya. Bagi Redita, kekurangan Radit hanya satu. Pria itu mengajaknya berhubungan layaknya suami dan istri, tapi Redita tidak bisa mengabulkannya karena rasa trauma yang terus membelenggunya. Hal itu membuat ia semakin ingin cepat-cepat bertemu dengan seorang psikiater.
