*Semarang, Malam sebelum pernikahan
Aku masih mengurung diri ,bahkan mematikan ponselku. Keadaan rumah semakin kacau . Mama semakin khawatir dengan kondisiku . Ia meminta beberapa anggota keluarga untuk membujukku keluar dari kamar namun, tak seorang pun dapat membujukku . Aku masih merasa ketakutan dan bersembunyi dibalik selimut.
"dok ... dokk " Terdengar seorang memukul pintu keras. "Dek , buka pintunya" . Disusul suara Rey dengan nada sedikit berteriak . "Dek buka !" . Sekali lagi dia mencoba sembari mengetuk pintu keras . "Gia , buka ... aku mohon buka pintunya !" . Kini namaku disebut olehnya dengan ketukan pintu yang berubah pelan .
Terdengar samar tapi aku mendengar sebuah isakan pelan . "Gia ... buka, aku mau bicara !" . Suara Rey merendah dan terdengar sedikit putus asa. Rey tiba disemarang tiga jam yang lalu . Tiga jam juga Rey mencoba untuk membujuk aku keluar dari kamar . "Dok dokk ". Ketukan pelan pada pintu kembali terdengar . "Kalo kamu enggak keluar aku ngomong dari sini " .
Rey membalikan tubuhnya membelakangi pintu kamar . Ia menghela nafas pajang dan terduduk didepan pintu . Matanya terlihat basah . Wajahnya gelisah dan kedua tanganya menyimpul kuat . "Gia dengar aku baik-baik ... ternyata aku salah . Ku kira perasaanku hanya sebagai seorang kakak . Aku kira hanya sebatas seorang kakak yang ingin melindungi adik kecilnya . tapi jika boleh ku katakan sejujurnya , perasaanku lebih dari itu . Walaupun aku terlambat menyadari perasaanku setidaknya sudah ku ungkapkan . Ada satu hal yang ku sesali dari merelakanmu dengan Rama , kau tau apa ? jika Rama tak dapat menjagamu seperti saat ini lebih baik kau bersamaku Gia , aku jauh lebih dapat menjagamu daripada Rama . Dimana dia sekarang ? bahkan dia tak menemui dirimu disaat seperti ini , aku bisa mengantikannya Gia jika kau mau ak bersedia menikahimu esok ."
Sementara itu, Rama ternyata sudah tiba dan mulai menapaki anak tangga menuju lantai dua . Rama mendengar suara Rey . Seperti petir yang menyambar kata- kata Rey membuat darah Rama mendidih . Wajahnya memerah . Laki-laki yang masih mengenakan seragam lorengnya itu mempercepat langkah kakinya hingga tiba di lantai dua .
Rey tersentak dan segera berdiri . Rama menatap tajam Rey dengan tatapan amarah . Rama berjalan dengan berani menuju pintu putih yang menyembunyikan diriku . Suasana mencekam ketika langkah kaki Rama berhenti tepat didepan Rey berdiri. Mata kedua lelaki itu beradu . Tak beselang lama tangan kanan Rama mulai mencengkram kerah baju Rey . "Apa yang kau katakan tadi benar ,Rey ?"
Rey mengempaskan nafas kuat . Dengan berani Rey menatap tatapan amarah itu . "Benar !" . Darah Rama semakin mendidih dibuatnya . "Kau tau apa yang katakan itu akan membuat kepalan tanganku ini mendarat diwajahmu , Rey !" .
Rey mengerutkan alisnya . Hempasan nafas kuat serta dorongan pada Rama , Ia lakukan . "Loe yang gak bisa jaga Gia ! terus apa salah gua kalo bersedia jadi suami Gia ?" . Keberanian Rey ternyata justru mendapatkan hadiah langsung dari Rama . Sebuah tinju tepat mendarat dipipi kanan Rey . Benar, setelah itu perkelahian antara mereka berdua tak terhindarkan .
Sorot mata Rey semakin membara . Kuat dan tajam menatap Rama . "Tonjok sepuas loe , Ram !" . Rama hilang akal . Tangannya semakin kuat mencengkram kerah baju Rey . Suasana semakin memanas . Mereka beradu pandang dan berakhir Rama menyeret Rey menuruni anak tangga . Rama tak memperdulikan semua orang yang ada di rumah itu . Ia menyeret Rey menuju halaman belakang rumah Gia . Semua pasang mata menatap mereka . Bahkan keluarga Gia . "Kak Rama , kak Rey !" . Teriak Nety .
Dihempaskan Rey keatas tanah .Rey tersungkur dan sepertinya masih enggan untuk berdiri . Berkali-kali Rama mengehempaskan nafas kuat . Ia juga meremas-remas kedua tanganya . Sementara Rey memegangi pipinya yang memar. Darah mulai mengalir keluar dari mulut Rey . "Sudah puas kau lampiaskan amarahmu , Ram ?" .
"Gila loe , apa yang sebernya loe pikirin , Rey !" . Rama berjalan mondar-mandir sembari mencoba menahan emosi .
Rey mencoba membersihkan darah yang mengalir ke dagunya . "Gua beneran serius , Ram !" . BREKK ...Rama menghentikan langkahnya . Menatap Rey dengan tatapan tak percaya . "Sinting !" . Rey bergerak bangkit , berdiri menghadap Rama . "Sorry tapi gua gak bisa biarin Gia menderita kayak gini" .
Satu kepalan penuh tangan kembali mendarat pada wajah Rey . Kini giliran dagu kanannya . "Loe pikir gua gak khawatir ! loe pikir gua yang buat ini terjadi ?". Ditunjuknya Rey yang tersungkur lagi ketanah oleh Rama .
Darah mengalir cukup kuat dari bibir Rey , namun dirinya malah terkekeh . "Bodoh , loe belum tau apa kesalahan yang sebenernya !" . Kata-kata Rey seperti sebuah api yang terjauh dalam genangan minyak tanah, cepat dan besar api yang dihasilkan . Begitu pula reaksi Rama , seketika dirinya kembali mencengkram kerah baju Rey . Menarik keatas dan kembali melayangkan bogem mentah ke arah wajah Rey.
Ironis memang . Dua sahabat bertengkar dengan begitu hebatnya . Sementara semua hampir tak dapat memisahkan kedua sahabat itu . Nety berinisiatif untuk mencoba memberitahu aku yang masih mengurung diri di kamar . "Kak buruan keluar , kak Rey sama kak Rama berantem itu diluar !" . Sekuat apapun Nety berteriak aku masih enggan membuka pintu kamarku .Tak hanya sampai disana , terdengar suara Ita setelahnya . "Gia keluar sebelum mereka babak belur !" .
Pertengkaran mereka tak terkendali . Rey kini juga melayangkan tinjunya pada Rama . Suara pertengkaran mereka terdengar hingga kamarku . Aku sedikit terusik dan kemudian bangkit . Ku lagkahkan kaki ini menuju jendela yang mengarah langsung ke arah tempat kedua laki-laki itu beradu tinju. "BERHENTI" . Kataku lantang . Dua wajah itu menatapku . tangan kiri mereka saling mencengkram kerah baju satu sama lain . Tangan kanannya sudah pasti posisi akan saling memukul . "GIA ..." . Mereka berucap bersamaan .
Tanpa berpikir panjang aku berkata "JANGAN ADA YANG BERGERAK, TUNGGU AKU TURUN !". entah mereka menuruti perintahku atau tidak tetapi aku berharap itu dapat mencegah mereka berkelahi lebih jauh . Aku menuruni anak tangga dengan secepat mungkin dengan perasaan amarah yang bisa dibilang menyesakkan dada. Aku tak dapat berpikir bagaimana mereka bisa bertengkar karena hal tersebut dan bagaimana bisa seorang Rey Hardian sangat gegabah melakukan hal itu tanpa memikirkan posisinya saat ini.
***
*Jakarta , Rumah Arlindita Prameswari .
Perempuan itu nampak berkemas . Ia menyiapkan satu koper besar . Arlindita memang perempuan gila . Dia bukan seorang yang dapat melepaskan masalah dengan cepat . Jika dilihat kebelakang dirinya sanggup melakukan segala cara untuk mencapai keinginannya termasuk dengan meneror . Entah apalagi yang direncanakannya kali ini , tetapi dirinya nampak tergesa-gesa .
Kekasihku telah kau renggut .
Dunia bahkan nirwana hanya namamu yang disebut .
Seharusnya namaku yang disebut .
Seharusnya fotoku yang digenggam .
Seharusnya tak kulakukan kesalahan itu .
Ditoku sayang , Ditoku hilang .
Sayang.. tak lelahkah kau hukum diriku ?
Ku mohon ampuni aku dengan segenap berkah jiwamu .
Kembali ku memohon padamu
Sudikah bibir itu kembali memanggil namaku ?
Masih belum bisa ku terima kepergianmu
Masih belum bisa kuterima ini terjadi
Sayang .. ku mohon ampun
Tak sanggup ku dengar kau agungkan namanya .
Tak sanggup aku melihatnya bahagia
Tak sanggup aku merelakan mereka juga direbut olehnya
Sayang .. ku mohon ampuni aku
Arlindita Prameswari