"Ilahi Anta maqsudi wa ridhoka matlubi a'tini mahabbataka wa ma'rifataka. Welahaula walaquwata illa billahil aliyil adzim", YaAllahu 3X.
Bacalah itu, setiap kamu selesai menunaikan shalat fardhu seikhlas hati mu. Jangan pernah kerdilkan hati mu. Meskipun kamu terlahir dari keluarga kurang mampu. Tidak ada sesuatu yang mustahil di dunia ini. percayakanlah semua pada Allah, dan pada dirimu. Yakini dirimu bisa menghadapi semuanya. Pahatlah apa yang aku katakana ini pada dinding hatimu yang paling dalam. Simpan di memori otakmu yang brilian. Bahwa semua kehidupan ini ada yang menyutradarai dan semuanya tidak ada yang dapat menyimpang dari skanario yang telah dibuatya. Kita ini hanyalah sebuah wayang, yang menunggu kehandak Sang Dalang".
*****
Kakek tua itu menatap mataku dengan sayu. "Apa yang harus aku lakukan kek ? Impianku sangat tinggi tetapi aku dilahirkan di keluarga yang kurang mampu dan mereka semua tidak tahu akan pentingnya sebuah pendidikan bagiku, Kek. Tuhan tidak adil padaku".
Air mata yang tak pernah terbuai dosa itu jatuh kepipi yang tak pernah dipolesi dengan produk-produk penghalus kulit.
Aku tidak mampu membendung gejolak batinku yang menuntut sebuah kesamaan dengan teman-teman seusiaku. Kakek itu bersimpuh di hadapanku yang duduk birsila pada waktu itu, matanya memerah berkaca-kaca memandang jauh kearah langit yang dihiasi gemintang.
"Allah itu sangat adil, Nak". Suaranya parau. "Adil itu tidak perlu sama, lihatlah bintang-bintang itu. seraya menunjuk kelangit. Ketika rembulan sedang berhalangan untuk menghadiri undangan malam, bintang-bintang itu menggantikannya untuk menghiasi alam, agar kita itu tidak pernah merasa jenuh mengarungi kehidupan. Apakah kamu memberikan porsi yang sama ketika kamu memberikan makanan pada induk ayam dan anaknya ?", tanyanya pelan.
"Tidak Kek, induknya aku beri lebih banyak dari anaknya". Jawabku sopan.
"Itulah yang disebut adil Nak, pada waktunya nanti kamu akan mengetahui keadilan Allah melalui putaran waktu. Yang akan membawa dirimu kezaman tak teramal. Semunya telah tertulis dan dirahasiakan oleh-Nya. Yang perlu kamu ketahui, Nak, setiap sesuatu pasti akan kembali pada asalnya".
Peaarr!!! Sebuah petir menyambar alam semesta, tubuh kakek itu gigil diselimuti asap dan cahaya silau keluar dari tubuhnya. Telingaku tuli, mataku tidak dapat melihat tubuh kakek yang sedang diselimuti cahaya dihadapanku karena terhalang kepulan asap dan cahaya yang 100ºC lebih silau dari matahari. 'Astaghfirullah' Aku tersentak dalam tidurku tatkala itu.
Keringat dingin membasahi seluruh badan, air mata itu masih membekas di pipi. Ternyata aku benar-benar menangis. Orang yang tak aku kenal telah menasehatiku lewat alam tidur.
Padahal masih kuingat betul nasehat Pak Herman guru SD-ku sewaktu di kelas enam. Kata beliau.
'Perbaikilah dirimu sebelum orang lain yang memperbaikinya'.
Aku sangat menyesal, karena aku tidak bisa memperbaiki diriku sendiri hingga orang lain yang harus memperbaikinya. Ketika aku menoleh kekanan dan kekiri semuanya hanya tembok berwarna putih yang bersentuhan dengan atap. Hanya itu yang bisa aku lihat.
Aku telah tertidur dalam langgar di atas sajadah kusut usai shalat malam. Penglihatanku terhenti pada sebuah jam tua di arah kiblat diatas mimbar imam guru ngaji. Jarum pendek jam itu telah sejajar dengan angka tiga, dan jarum panjangnya berdampingan dengan angka enam. Aku telah tertidur selama dua jam seperempat.
Dengan pikiran yang diselimuti oleh beribu pertanyaan tentang kakek yang telah menghiasi tidurku. Ku mencoba menenangkan diri sejenak untuk melangkahkan kaki kekamar mandi, untuk memperbaharui wudhu yang sudah batal tiga jam yang lalu.
Setelah itu aku kembali bersila diatas sajadah kusut pemberian orang tua yang sangat berharga bagiku. Yang di berikan padaku tepat dihari kamis jam tujuh sebelum Bapak dan Ibuku merantau ke Kalimantan agar dapat melunasi hutang operasi ibu. Hal itu bertepatan lima hari setelah aku dipasrahkan kepada K.H. Zaujan agar aku dijadikan pembantu rumah tangga. 'Orang Madura biasa menyebut santri yang menjadi pembantu Kiyai sebagai Pangladhin'.
Aku sangat menyesali tindakan kedua orang tuaku, yang melakukan sesuatu tanpa pikir panjang terlebi dahulu, tanpa persetujuanku.
Karena tindakan yang tanpa pikir panjang tersebut aku tidak bisa melanjutkan sekolah. Namun aku tidak pernah menaruh rasa dendam sedikitpun kepada kedua orang tua.
Pasalnya jika tanpa ada rayuan manis dari Raji (istri) guruku dan keterbatasan ekonomi, ibu tidak mungkin melakukan tindakan bodoh menerutku. Sekalipun beliau tak mampu menyekolahkanku. Mungkin beliau mengira tindakan yang dilakukannya dapat membahagiakanku, dalam persepsi beliau jika aku dipasrahkan kepada guru ngaji.
Menurutnya aku setiap hari akan dapat jatah makan makanan yang enak dan memperoleh barokah yang dapat membuat diriku kaya. Setelah berumah tangga nanti. Seperti halnya tetanggaku H. Hammad yang selalu dijadikan begron kepadaku oleh ibu.
H. Hammad yang saat ini sukses menjadi orang terkaya di kampungku di yakini oleh warga kampung mendapatkan barokah saat menjadi pangladhin, waktu dia mengaji dan mondok di pesantren Al-karawi. Padahal sudah jelas dalam ajaran islam, bahwa rizqi, jodoh dan maut merupakan takdir mubram dari sang Maha Pencipta.
Namun sebagian besar orang awam di Madura. Khususnya di kampungku, masih beranggapan bahwa sesuatu hal yang terjadi dalam kehidupan manusia, didominasi oleh faktor keberuntungan. Padahal cuma ada tiga takdir yang terjadi pada manusia, yang tidak dapat dirubah oleh manusia itu sendiri dalam kehidupan ini.
Tidak ada sesuatu hal yang mustahil namun tidak ada sesuatu hal pula yang terjadi secara kebetulan. H. Hammad, yang merupakan orang terkaya di kampungku, Abu Rizal Bakri, Charul tanjung atau pun Dahlan Iskan, yang terkenal karena kekayaannya. Semua itu membutuhkan proses yang panjang untuk mencapai kekayaan yang dimilikinnya. Bukan lantas didominasi oleh faktor keberuntungan.
Bukannya aku tidak mempercayaiakan hal itu. Namun hidup ini bukanlah judi. Hidup tidak sesimpel itu. Aku tak pernah menuntut kedua orang tuaku untuk memberikan makanan yang enak padaku. Kini nasi telah menjadi bubur, pepatah itulah mungkin yang pantas diucapkan kepada hati yang tidak bisa menerima subuah kenyataan.Tetapi syukur alhadulillah tak pernah aku lupakan, berkat kasih sayang-Nya padaku. Nur Muhammad masih sudi bersemayam di tubuh.
*****
Sambil lalu menunggu adzan shubuh dan teman-teman bangun dari tempat tidurnya. Aku mencoba mengingat-ingat kembali mimpi yang telah mengusikku malam itu. Alam bawah sadarku ikut merespon dan menggerakkan tanganku untuk mengambil tasbih yang berada didalam saku baju. Tanpa aku perintah mulutku komat-kamit membacakan tasbih yang diberikan kakek tak ku kenal melalui alam mimpi.
"Ilahi Anta maqsudi wa ridhoka matlubi a'tini mahabbataka wa ma'rifataka. Welahaula walaquwata illa billahil aliyil adzim", YaAllahu 3X.
Jiwaku terasa terhanyut dalam lingkaran magis yang aku baca. Jiwaku terasa hampa dan tenang, hanya kuasa-Nya yang tampak.