Chereads / MUSHAF MUSYAFIR 'SUMENEP' / Chapter 3 - Mimpi Seekor semut

Chapter 3 - Mimpi Seekor semut

Meskipun aku bisa pulang kerumah dengan cara diam-diam pada guru. Tetapi aku tidak mungkin melakukannya. Sebab pulang kerumah bagiku, sama halnya aku telah memberi garam pada luka yang terdapat pada tubuhku. Kecuali rasa rindu memaksa untuk melihat kembali jejak sejarah tentang ibu yang sabar dalam menghadapi tumor ganasnya. Bapak yang gigih bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Serta mbak Masruroh yang setia mendengarkan keluh kesahku.

Tentang mimpiku utuk menjadi orang besar yang berguna bagi bangsa dan Negara, dalam keterbatasan ekonomi keluarga, atau jejak-jejak temanku ketika main petak umpet di dalam rumah. Dirimuh tua itu pula mimpiku, kutitip pada tembok yang hendak runtuh.

Setiap pagi sehabis mencuci aku harus memasak nasi dan lauk menggunakan tungku. Di desaku semasa kecil belum ada kompor gas. Maka setiap hari pula aku harus menaruh kayu-kayu bakar di tempat teduh agar terhindar dari hujan.

Di tempatku belajar mengaji, untuk pertama kalinya aku belajar memasak dan menggoreng ikan serta membuat kuah dari dau kelor.

Sambil lalu menunggu nasi matang kulangkahkan kakiku menuju teras rumah. Duduk-duduk di teras adalah kebiasaanku menunggu nasi yang belum matang. Selain tidak terlalu jahu dari dapur, juga dapat menghirup udara pagi sambil menghafalkan juz-Amma. Dari sinilah aku dapat melihat teman-teman berangkat sekolah.

"Haries… ini ada surat dari Aan, maaf baru aku kasi sekarang. Soalnya tadi malam ketinggalan di rumah. Apakah kamu ingin menitip salam kepada dia?". Dia senyum-senyum padaku , senyum yang penuh dengan tanda tanya. Seolah senyumnya memaksa diriku untuk mengutarakan sesuatu kepadanya.

"Kepadaku saja kamu malu Ries, katakan saja tidak usa malu, aku siap kok, menjadi pos pengantar pesanmu kepadanya. Untukmu free dua puluh empat jam. Rahasia dijamin aman bersamaku he he". Dengan gayanya yang sok pahlawan dia menepuk-nepuk pundakku.

"Berangkatlah Ham, tinggalkan aku sendiri. Nanti kamu bisa terlambat gara-gara diriku. Sampaikan salam maafku kepada teman-teman yang tak bisa melanjutkan sekolah bersama mereka. Tetapi ini semua bukan berarti aku tidak mau untuk selalu menutut ilmu bersama-sama dengan kalian". Sambil lalu menghempaskan nafas dengar berat.

" Semua ini bukan kemaunku untuk berpisah denganmu dan kawan-kawan. Semua ini kehendak takdir yang memaksaku untuk melakukannya. Aku tak kuasa melawan kehendak takdirnya. Aku yakin kamu memahami, kamu tahu sendiri bahwa Allah maha Berkehendak. Di kitap Aqa'id yang kamu hafalkan. Bilah dia sudah berkehendak tidak ada satupun mahluk yang sanggup menghalanginya termasuk juga diriku. Semua ini permainan sekanario-Nya Ham, agar jalan hidupku berbeda dengan jalan hidupmu. Tetapi sekali lagi, kamu jangan khawatirkan diriku. Berangkatlah kesekolah dan raihlah mimpimu". Ucapnya dengan sangat tegas.

"Maafkanlah diriku Ries yang tak bisa membantumu". Tampaklah raut wajah sedi pada sahabatku. Memerah mataku ,dalam kenbencian terhadap takdir yang kuyakini masih bisa aku rubah.

"Enggak apa-apa Ham, terimakasih atas semua perhatianmu kepadaku". Suaraku sedikit tersendat sebab ada emosi melanda hati.

"Santai saja Ham. Kalau hanya soal aku yang tidak bisa bersekolah sembilan tahun, seperti yang diwajibkan oleh pemerintah. Suatu saat nanti aku akan melawan arus ini dan mengejar mimpiku kembali. Tetapi kalau saat ini, aku masih belum punya kekuatan mental yang kuat untuk melawan keterbatasan ekonomi dan hukum adat desa kita. Lebih baik sekarang kamu berangkat agar tidak terlambat". Suaraku sedikit dipertegas lagi untuk meyakinkannya, agar tidak tampak olehnya kalau diriku lagi meratapi nasib.

"Oky aku berangkat dulu Ries, sampai ketemu nanti malam". Kuacungkan dua jempol untuknya, dia melihat ibah kepadaku.

Kemudian dia naik sepeda BMX miliknya. Dia pergi dengan raut muka ibah. Kusimpan surat yang diberikan ke dalam gulangan sarung. Aku hanya bisa melihat kepergian dia, dengan seragam yang aku impikan waktu masih duduk di bangku SD sampai sekarang.

Sekolah itu akan menjadi candu bagi kita, jika menggantungkan kesuksesan hidup berada di dalamnya. Namun bagi yang tahu esensi pendidikan dia tidak perlu repot akan hal itu, sebab belajar dalam menghilangkan kebodohan tidak membutuhkan ruang dan juga waktu, yang penting ada kemauan yang kuat di hatinya.

"Maafkan aku Ham, sunggu tiada maksut dalam hati untuk mengecewakan mu dan teman-teman. Semua ini adalah permainan takdir yang telah mengubah rencana kita untuk melanjutkan ke sekolah yang sama. Tapi kamu tidak usah hawatir, suatu kelak nanti aku pasti mengejarmu dalam waktu yang berbeda". Gumamku dalam kesendirian.

Mungkin hewan-hewan jelata seperti semut dan lalat menertawakanku, melihat diriku yang berbicara seorang diri layaknya orang mabuk yang kehilangan akal. Seperti seekor semut yang bercita-cita ingin melihat matahari terbit dari puncak gunung semiru.

Tetapi inilah caraku untuk melonggarkan hati dalam menghadapi realitas yang tak aku inginkan.

Kuperbaiki kopyah nasional yang miring di kepala, kemudian aku berlari ringan kedapur untuk melihat nasi yang aku masak.

Sampainya didapur aku dikejutkan oleh bau hangus nasi. Dalam keadaan panik aku menyirami tungku dengan segayung air, hingga apinya padam. Karena bau hangusnya tidak dapat aku manipulasi. Akhirnya bau tersebut sampai kehidung Raji guruku dan Sundianah, yang lagi membuat kuah dari daun kelor. Hari ini sunggu naas bagiku, pagi-pagi aku telah disuguhi ceramah yang bikin panas telinga.

"Kamu bagaimana Ries, nasi hangus malah memadamkan api dengan air, nasi tersebut bisa najis. Kamu juga Sun…". Beliau berteriak marah."

"Kenapa dia tidak diberi tahu cara mengatasinya, siapa yang mau makan kalau sudah najis seperti itu?". Dimarahi pulah-lah Sundianah.

"Sudah aku beri tahu nyi, tapi dia mungkin lupa. Saya sudah bilang kalau memasak dan nasinya hangus celupkan ke bak mandi biar bau hangusnya menghilang. Sudah pernah diperaktekkan pula di depannya".Sangganya membela diri.

Aku benar-benar lupa pada saat itu, kepanekan menghilangkan konsentrasiku.

"Memangnya kamu kemana saja Ries?, Memasak nasi malah ditinggalin. Apakah diajari seperti itu dirumahmu". Kena imbaslah keluarga di rumah, padahal mereka tidak tahu apa-apa soal kecerobohanku.

Aku diam saja sekalipun kata-katanya menyayat hati. Semua ini memang salahku. Pada saat aku menyirami tungku dengan air. Panci dalam keadaan terbuka, aku yang membuka tutupnya untuk melihat kondisi nasi, dan lupa menutupnya kembali.

Kata beliau percikan air dan debu kayu yang aku sirami mengenai nasinya. Padahal aku telah bilang bahwa aku menyiraminya dengan pelan- pelan. Tetapi beliau tetap bilang abu kayu pasti barterbangan dan menganai nasi yang ada dalam panci. Kemudian beliau menyuruhku untuk membuang nasi tersebut. Pada saat itu emosiku labil, tanpa komentar lagi aku mengangkat nasi yang sudah siap dimakan, untuk dibuang ke kandang ayam.

'Mungkin nasi ini memang sudah menjadi rejeki ayam'. Kataku dalam hati.

Pada saat aku melangkahkan kaki untuk membuang nasi tersebut. langkahku ditahan oleh guru. "tunggu jangan kau buang nasi itu, biar aku yang memakannya. Nasi itu tidak najis. Pada saat aku mengumpulkan kayu bakar di sawah, aku tidak melihat benda najis menghinggapi kayu tersebut. Kemuliyaan nasi itu lebih tinggi dari abu kayu. Jika kamu jijik untuk memakannya karena kotor. Buanglah bagian atasnya yang kotor . Setelah itu nasinya bisa kita makan bersama, aku sudah lapar".Perintahnya kepadaku dengan lembut, dengan aura kewibawaan yang tinggi.