Alarm berbunyi menandakan sang pemilik harus secepatnya bangkit dari ranjang. Dengan mata masih menutup, gadis di atas ranjang membuang asal jam weker berharap dengan begitu benda persegi hitam itu akan mati dan tak mengganggu tidurnya lagi.
Tapi tak bisa. Ia tak terbiasa menunda waktu bangunnya. Perasaannya gundah, ia tak ingin berangkat sebenarnya. Ada rasa sedih, kecewa, dan marah di saat yang bersamaan. Bukankah ini terlalu complex ? Ada yang mengatakan jika mood mu di pagi hari akan mempengaruhi bagaimana harimu selanjutnya.
Mood casey sudah hancur bahkan saat di dalam mimpi.
Suara ketukan terdengar, seorang wanita memanggilnya dengan lembut dari luar. "Makanan sudah siap nona, silakan turun"
Gadis itu membuka ponselnya, mencari adakah pesan yang tertuju padanya. Nihil, benda itu kosong. Sama seperti suasana rumah besar ini. Sama seperti hatinya.
.
.
.
.
Pagi yang cerah. Rambut basahnya menetes seiring dia berjalan keluar dari kamar mandi. Eugene berusah sebisa mungkin mengeringkannya dengan hairdryer. Jika boleh mengeluh, ia akan mengadu seberapa ribetnya menjadi perempuan. Bahkan ia harus bangun sangat pagi hanya untuk mengeringkan rambutnya.
Ia tak bisa membiarkan rambutnya basah di musim gugur ini. Kemungkinan ia akan terjangkit flu atau lebih parah rambutnya membeku.
Selesai dengan rutinitas baru yang panjang, eugene keluar rumah memakai coat hitam tebal. Mungkin ia akan mampir di minimarket seberang jalan mengingat ia belum sarapan. Eugene tak ingin ambil resiko membakar dapurnya lagi.
"Totalnya 3000 won"
Eugene langsung melahap kimbab berbentuk segitiga. Cukup untuk menahan cacing di perutnya yang sudah berdemo.
Sesekalo gadis itu begumam, mendendangkan lagu yang sering ia dengar akhir-akhir ini dari grup favoritnya 'D D D Dance - Izone'.
"Berani sekali kau menatap mataku heh !!"
Langkah eugene terhenti. Suara yang tak asing menerpa indera pendengarannya. Mau tak mau ia sedikit mengintip di balik dinding. Beberapa pemuda tampak tengah merundung seorang pria tambun dengan kacamata. Perundungan seperti ini kerap terjadi, dan ia bukan tipikal yang selalu ikut campur. Jika tak ada sangkut pautnya dengan dirinya.
Namun salah satu pemuda tampak lebih mencolok diantara yang lainnya. Pemuda berambut ungu berdiri dengan tatapan mencemooh.
"Oh, tipikal yang tak ingin tangannya kotor huh ?" Gumam eugene. Segera ia menyalakan suara pada ponselnya.
'WEEE WOOO WEE WOOOO'
Sirine terdengar membahana memenuhi gang kecil itu. Serentak seluruh orang disana terkejut dan mengira itu adalah polisi yang datang.
"Sial !!" Mereka terbirit, lari tunggang langgang. Termasuk juga Jeffrey.
Eugene keluar dari persembunyiannya di balik tempat sampah besar. Ingatkan dia untuk menyemprotkan parfum yang kuat setelahnya.
Gadis berambut sebahu itu berjalan mendekat dan membantu buku pemuda tambun yang berserakan di tanah. "Kau tak apa ?"
Bukannya menjawab pemuda itu malah menutupi wajahnya dan mendorong tubuh eugene hingga gadis itu tersungkur di tanah. Berlari terbirit-birit seperti sudah melihat hantu.
"Haishh.. anak jaman sekarang kenapa susah sekali untuk berterima kasih" eugene berdiri, membersihkan tanah yang menempel di seragam dan beberapa bagian tubuhnya. Ia meringis ketika mendapati telapak tangannya memerah karena menahan berat tubuhnya yang terjatuh.
"Ck... Berbuat baik memang susah ternyata"
.
.
.
Michelle berjalan lunglai. ia berusaha menutupi tangannya yang di balut perban dengan sweater usang berwarna hitam. berjalan menunduk di lorong penuh loker.
Biaya sewa loker di sekolah sebenarnya tak mahal. Hanya ia yang tak mampu membayar. bahkan untuk sarapan Michelle menunda hingga jam makan siang.
"GOOD MORNIING !!" seruan dari suara yang sangat familiar. sebuah tangan merangkul bahunya akrab.
Cengiran lebar terpatri di wajah eugene. ditambah dimple yang menghiasi kedua pipinya membuat semakin menawan. "Ayo tersenyum lah~ awali pagimu dengan senyuman"
"berhenti lah tersenyum seperti orang bodoh" cerca Michelle walau sebuah senyum kini samar muncul di bibirnya. Bisa di bilang kehadiran eugene membuatnya seakan lupa akan sakit yang terasa.
"hey kau tersenyum !! lihat, harimu pasti akan baik"
"berhenti meledekku dasar gantar"
Perkataan eugene seakan mensugesti Michelle. perasaannya menjadi ringan dan berseri. sama seperti langit yang cerah tak berawan di luar sana.
Michelle menaikan alisnya ketika tak sengaja melihat di koridor sosok eugene membawa kertas. menatapnya dengan binar di matanya.
'Semangat, nanti kita makan siang di atap'
Michelle berusaha menahan senyuman yang akan keluar. gadis itu memberi isyarat 'ok' dengan jempol dan jari telunjuknya. Eugene mengedipkan mata dan berlalu saat penjaga ketertiban sekolah mulai mengejarnya.
lagipula salah siapa masih berkeliaran di koridor saat pelajaran telah dimulai.
.
.
.
Gadis berambut sebahu datang dengan nafas memburu. terduduk dengan cengiran masih menghiasi wajahnya. Casey melihat namun ia memilih menyibukkan diri pada buku di tangan.
"hey casey.. ayo kita makan siang di atap"
wajah casey tampak terkejut, namun ia berusaha menutupinya dengan datar. tak ingin terlihat terlalu bersemangat. "ayo.." ucapnya singkat.
"YOSHAAAA ayo kita perbaiki suasana hati yang buruk !!" Eugene mengepalkan kedua tangannya, berseru dengan semangat. Untung saja kelasnya sedang kosong. Ia tak perlu mendapat lemparan penghapus dari guru di depan.
Casey kembali membaca bukunya. menutupi wajah dengan buku yang ia pegang. tak ingin jika senyumannya terlihat. ada sedikit gengsi terbentuk, ia tak ingin terlalu tampak ingin berdekatan. Melihat bagaimana respon Michelle kemarin, gadis itu seperti membuat dinding diantara mereka semakin kokoh.
Gadis Ahn sibuk sendiri dengan ponselnya. ia bergumam mendendangkan lagu dari earphone nya. Seketika ia teringat kejadian tadi pagi. "Anak itu.. dia sekolah dimana yah" seragam pemuda tadi pagi berbeda dengan seragam sekolahnya. Namun wajahnya tampak sangat familiar.
.
.
.
Bell jam makan siang berbunyi. Tak peduli pada guru yang mengajar, Eugene langsung berdiri setengah menggembrak meja. seluruh siswa di dalam kelas menatap kearahnya, begitu juga sang guru didepan kelas.
"nona Ahn kau—"
"Ayo Tuan putri !!" Cepat menarik tangan Casey yang masih menata bukunya. Gadis berambut ikal memasang wajah polosnya saat di tarik kemanapun Eugene melangkah. Casey pasrah, dan juga tenaga gadis jangkung itu lebih besar darinya.
keduanya berjalan beriringan dengan Eugene yang sibuk berceloteh ria dan Casey yang hanya mengangguk.
"dan ternyata mereka hanya berputar-putar kembali ke krusty krab ! hahahaha" tawa eugene menggelegar saat ia menceritakan salah satu episode dalam serial kartun Spongebob.
Casey tertawa pelan, walau sebenarnya ia tak pernah menonton acara kartun semenjak ia duduk di sekolah dasar. ia tak paham bagian mana yang lucu sebenarnya. mungkin setelah ini ia akan maraton menghabiskan semua episode kartun sponge kuning yang hidup di laut itu.
Siapapun beri tahu gadis bangsawan ini jika serial kartun itu memiliki 248 episode.
Tepat sebelum mereka sampai di pintu yang membatasi tangga dan rooftop, langkah eugene terhenti. "ada apa ?" tanya Casey. sedikit khawatir karena perubahan air muka eugene, wajah itu menegang.
"ugh~ perutku sakit~ " cicit eugene. "kau masuk saja dulu.. aku akan menyusul"
"tapi kan aku—"
"aku janji akan cepat.. tolong masuklah dulu"
Eugene menyerahkan nasi kotaknya pada Casey. ia berlalu sebelum gadis ikal melayangkan protes. Apa eugene bermaksud mengerjainya ? batin Casey. Tapi ia tahu eugene bukanlah orang yang seperti itu.
Tak punya pilihan lagi, Casey membuka pintu besi dan sinar matahari langsung menyapa inderanya. perlahan kaki jenjangnya masuk. Semilir angin musim gugur menyapu kulit putihnya. Terasa dingin, namun nyaman disaat bersamaan.
Pemandangan dari atas sini sangat menakjubkan. Eugene pandai memilih tempat, sepertinya ia harus menarik kembali kata-kata bahwa gadis tinggi itu telah mengerjainya.
"kenapa kau disini ?"
suara dingin terdengar menusuk. Ia kenal pemilik suara itu, gadis berambut kecoklatan dengan sweater hitam menatapnya tajam seperti hendak memakannya hidup hidup.
Eugene benar-benar sedang mengerjainya.