"Sudah, lebih baik ikut Papa dan Mama keluar. Oh iya, ada yang ingin Papa tanyakan padamu."
Daniel yang sedang memerhatikan seorang gadis yang berada di balkon sana pun langsung menoleh ke arah samping dimana pria tersebut berada. Sedangkan Hanzo hanya tersenyum tipis sembari menganggukkan kepalanya.
Kini mobil Jilly pun baru saja memasuki Rumahnya dengan tubuh yang benar-benar sudah lelah karena bekerja. Seharian menggantikan karyawannya yang tidak masuk karena sakit, cukup membuatnya merasa tersiksa.
Akan tetapi ini semua ia lakukan karena Daniel, sepupunya sendiri yang begitu dirinya pedulikan. Mengingat laki-laki itu membuatnya terheran karena saudaranya tersebut yang memasuki Rumah besar yang sudah tidak terawat tersebut.
Jilly pun menguap, kemudian mematikan mesin mobil dan keluar dari dalam sana dengan kantuk yang mulai menderanya.
Ketika baru saja memasuki Rumah, seseorang melihat ke arahnya lalu menghampiri dengan senyum yang begitu manis. Hanya saja Jilly sudah tidak memiliki semangat untuk menyapa dengan wanita tersebut dikarenakan rasa kantuknya yang lebih besar daripada sekadar berbicara dengan sang Mama.
"Sayang, kamu sudah pulang?" ujar wanita tersebut. "Kamu pasti capek sekali, ya? Makan dulu, ya, Jilly. Mama sudah buatkan kamu sesuatu, pasti kamu menyukainya."
Rasa kantuk yang begitu besar kini tergantikan oleh rasa iba setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh wanita yang berada di hadapannya saat ini.
"Baiklah," ujar Jilly dengan senyum tipisnya itu. Kemudian menghela nafas sebelum akhirnya melangkahkan kakinya mengikuti wanita tersebut yang membawanya menuju ke meja makan.
Sudah hampir sepuluh menit Jilly terus saja diperhatikan oleh Mamanya itu yang membuat laki-laki tersebut yang mengetahuinya langsung menghela nafas seketika.
"Mama," panggilnya dengan kening yang sedikit berkerut. "Kenapa kau terus memerhatikanku seperti itu?"
"Tidak, Mama hanya tidak menyangka kalau kau sudah tumbuh dewasa sekarang. Apa kau tidak tahu bahwa aku setiap hari selalu memerhatikanmu, hm?"
"Oh, terima kasih, tapi untuk saat ini lebih baik berhenti melihatku seperti itu."
Jilly benar-benar merasa tidak nyaman dengan seorang wanita yang berada di hadapannya saat ini. Laki-laki itu hanya tak ingin sang Mama terlalu berlebihan seperti ini, karena itu hanya akan membuatnya merasa menjadi semakin bersalah karena belum bisa memberikan yang terbaik untuk orang tuanya itu.
"Sudahlah, lebih baik kau lanjutkan saja dengan makananmu," ujar wanita itu yang masih saja terus memerhatikan putranya dengan senyum yang mengembang. "Jilly, Mama dengar kalau kamu menolak menjadi penerus Perusahaan Papa karena kamu membuka usaha Cafemu itu, ya?"
Tentu saja, mendengar hal tersebut cukup membuat Jilly terkejut, lantaran ia tidak pernah merasa berbicara apapun tentang apa yang sedang dikerjakannya selama ini. Dirinya lebih memilih untuk diam saja dengan hasil yang didapatnya setiap hari.
Wanita tersebut yang melihatnya langsung mengambilkan segelas air putih lalu diberikannya kepada seseorang yang berada di hadapannya saat ini.
"Ini minum dulu," ujarnya kepada Jilly. "Pelan-pelan minumnya."
Dengan cepat Jilly pun langsung menerima pemberiannya tersebut dan meneguknya hingga habis. Laki-laki itu akhirnya bisa bernafas dengan lega setelah tenggorokannya sudah merasa lebih baik dari sebelumnya.
"Terima kasih banyak, Ma." Setelah itu Jilly kembali melanjutkan makan malamnya tersebut dalam diam, sedangkan wanita tersebut yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum kecil.
Beberapa saat kemudian laki-laki tersebut langsung berdiri dari duduknya setelah selesai menghabiskan makanannya, sedangkan wanita itu yang melihat putranya kembali berdiri pun langsung menghela nafas seketika.
"Sudah selesai?" tanyanya kepada Jilly yang baru saja berdiri dari duduknya. "Cepat sekali kamu."
"Hm, aku perlu istirahat," jeda Jilly dengan kedua tangan yang melipat di dada. "Mama juga harus istirahat. Selamat malam."
Setelahnya Jilly pun langsung memutar tubuh lalu melangkahkan kakinya menuju ke arah tangga. Wanita itu diam-diam tersenyum bangga terhadap putranya tersebut yang ternyata memang sudah tumbuh dewasa.
"Kamu harus tahu, kalau anak kita sudah dewasa sekarang," gumam wanita tersebut. "Jangan sampai kau menyesalinya dikemudian hari hanya karena kau kecewa dengan penolakannya."
Tidak tahu harus bagaimana lagi agar wanita itu bisa mengalihkan perhatiannya dari putranya tersebut saat ini. Sudah tidak terhitung lagi seberapa berharga dan bangganya Jilly untuk dirinya, dan ia kini benar-benar merasa sangat terkagum dengan apa yang sedang dilakukan oleh anak tunggalnya tersebut.
Di sisi lain saat ini Ametsa baru saja memasuki kembali kamarnya dengan kedua matanya yang sembab serta hidung yang merah. Gadis tersebut celingak-celinguk mencari keberadaan semua orang yang sepertinya tadi terdengar banyak di sini, akan tetapi tidak terlihat sama sekali.
"Mungkin mereka pulang," ujarnya dalam hati. "Rasanya capek sekali, aku perlu istirahat sekarang."
Setelahnya Ametsa pun melangkahkan kakinya mendekati tempat tidur miliknya itu dengan perasaan yang sudah merasa lebih baik dari sebelumnya.
Tanpa menundanya lagi, gadis tersebut langsung menjatuhkan dirinya ke atas kasur dan memejamkan matanya di sana dengan sebuah guling yang dirinya peluk begitu erat. Ia merasa sangat nyaman sekarang sehingga secara perlahan Ametsa pun mulai tertidur dengan begitu lelap.
Sementara itu pintu terbuka dan menampilkan sosok seorang laki-laki yang membawakan sebuah makanan dengan nampan yang dibawanya itu. Akan tetapi, ketika melihat seseorang yang sedang berbaring di tempat tidur membuat Daniel seketika menghela nafas dengan kedua sudut bibirnya yang membentuk sebuah senyuman.
"Ternyata dia sudah tertidur," gumam laki-laki itu pelan. "Ya sudah, biar aku simpan saja makanan ini di atas meja, siapa tahu nanti dia terbangun karena lapar."
Seperti sudah sangat hafal sekali dengan segala kebiasaan dari sahabatnya itu, membuat Daniel langsung mempersiapkan segala sesuatunya hanya untuk seorang gadis seperti Ametsa.
Laki-laki itu benar sangat memperhatikan segala sesuatunya sampai dimana akhirnya Daniel pun melihat wajah Ametsa yang berbeda dari biasanya. Mengetahui hal tersebut membuatnya tertarik untuk mendekat dan menatap wajah sahabatnya itu dengan perasaan sakit.
Tanpa sadar kedua tangannya pun mengepal, ia kembali merasa bersalah ketika melihat Ametsa yang menangis seperti ini. Dirinya berusaha membahagiakan gadis itu, tetapi sepertinya apa yang selama ini diusahakannya masih saja tidak membuat Ametsa bisa tersenyum lebar.
"Maafkan aku, Ametsa. Mungkin aku belum bisa membuatmu benar-benar bahagia, tetapi suatu saat nanti, akan ku pastikan kamu sudah tersenyum dengan begitu lebar."
Daniel sangat tidak bisa melihat sahabatnya terluka seperti ini. Laki-laki itu hanya ingin Ametsa bahagia, itu saja, karena ketika pertama kali bertemu dengannya, entah kenapa hatinya terus saja bergerak ke arah gadis yang berada di hadapannya saat ini.
Dimanapun dan kapanpun, pasti ia akan kembali melangkah menuju gadis itu sehingga dirinya tidak bisa berhenti untuk memedulikan semua hal yang berkaitan tentangnya.
"Duniamu, juga duniaku, Queen Ametsa."