Lebaran kali ini aku tidak ke tempat keluarga, aku hanya diam di rumah bersama kedua orang tuaku, dan 1 orang adik perempuanku. Aku bersyukur aku tidak pulang kampung. Aku tahu semua orang pasti ingin menikmati berkumpul bersama keluarga besar mereka. Namun hal itu tidak berlaku denganku. Karena itu malah semakin membuatku frustasi.
Di umur yang terbilang masih muda ini aku baru lulus SMA. Namun hal yang membuatku frustasi karena seluruh keluargaku sudah bertanya kapan aku menikah, Benar-benar hal gila bukan? Selain itu, orang tuaku juga begitu menuntut agar aku segera memberikan cucu.
Oh ya robbi, mengapa hidupku begitu sulit.
Boro-boro mau punya anak untuk nikah saja aku tidak memiliki calonnya, astaghfirullah. Bagaimana mau nikah coba? hedeh.
padahal aku sudah bilang ke mereka kalau aku mau nikah pas aku umur 25 tahun. Ini kuliah saja aku baru mau daftar sudah nikah-nikah aja. Apalagi aku lewat dari umur ini. Rasanya aku ingin minggat saja dari rumah, tapi sayangnya hidupku masih bergantung dengan orang tuaku. Mengesalkan memang,
***
"aduh, susah banget ya. Hidupku ini, tapi aku harus percaya bahwa Tuhan pasti akan memberikan aku jalan," kataku seraya berkeliling kota, aku terus-terus menjelajahi setiap incinya. Sambil melihat-lihat toko yang membuka lapangan kerja di kota ini.
***
Sudah 2 minggu aku terus mengelilingi kota, tapi tak kunjung juga aku dapatkan lowongan pekerjaan sampingan. Kalau begini terus apa yang harus aku lakukan supaya aku dapat masukan tambahan selain jaga toko orang tuaku. Aku juga enggak mungkin terus bergantung dengan orang tuaku, aku harus punya bisnis dan bisa menyediakan lapangan kerja untuk pengangguran.
"Alifah!" Terdengar seorang perempuan memanggil namaku dan membuatku tersadar dari lamunanku. Perempuan itu berlari menuju arahku dengan langkah yang tergopoh-gopoh.
"lu Alifah kan?" Tanya perempuan itu lagi sambil memanggil namaku, terlihat dari matanya kalau dia ingin memastikan aku. aku yang mendengar hal itu hanya menganggukkan kepalaku. "kenapa?" tanyaku dengan heran, kulihat lagi wajahnya terlihat seperti seseorang yang aku kenal. Ah ya, aku ingat sekarang bukannya dia Mia kan ya? kataku dalam hati, memastikan kalau aku tidak salah.
"kamu Miakah?" tanyaku kepadanya, sambil menatap wajahnya.
"ah syukurlah... lu masih ingat gw. Terakhir kali kita ketemu tiga tahun yang lalu, tanpa melakukan kontak sama sekali," ujarnya dengan wajah tersenyum sumringah.
"ah iya benar, aku mencari kontakmu namun sulit untuk menemukannya," kataku mengiyakan kata-kata yang telah keluar dari mulutnya. "bagaimana kabar maria?" Tanyaku kepadanya. "terakhir kali kudengar kalau tidak salah dia sudah menikah kan ya?" ucap ku lagi sebelum dia membuka mulutnya.
"iya, lu ngapain disini?" Tanya dia dengan keheranan.
"ah ya, aku lagi cari kerja sampingan, kamu tau di tempat ini yang lagi cari karyawan magang? Soalnya aku butuh itu buat beli handphone, hemm.. sekaligus buat modal, dan untuk tabungan," kataku sambil menatap wajahnya berharap kalau dia tau tempat untuk kerja sampingan yang cocok untukku.
Dia yang mendengar ucapanku , tampak sedang memikirkan sesuatu. "Setahuku sih enggak ada ya, soalnya kalau gw ingat di tempat temanku kerja semuanya sudah cukup penuh, emm.. ntar dehh kalau ada pekerjaan dari tempat temanku. Aku bakal ngehubungin lu," katanya sambil mengeluarkan handphone yang ada di dalam tasnya. Kemudian dia menyodorkan Hp nya kearahku. Aku yang tak mengerti hanya menatap Hpnya tak mengerti.
Mia yang merasa Hpnya belum di ambil menjadi keheranan, lu kenapa lif? "Kok enggak lu ambil-ambil sih,"
"apanya yang harus kuambil?' Tanyaku dengan wajah polos
"astaga lif, lu masih enggak ngerti? lu itu terlalu polos atau enggak pekaan sih, dua-duanya kelihatan bego tau gak? pantas aja laki-laki yang suka sama lu di sekolah dulu enggak ada yang berani maju,"
"ya maaf, lagian tidak bilang sih. Bagaimana coba aku mau mengerti,"
"lah.. gunanya otak apa?" aku yang mendengar ucapannya hanya terdiam kemudian tertawa keras.
"astaghfirullah, kamu dari dulu sampai sekarang tidak ada berubah ya? Kata-kata kamu itu loh, bikin sakit hati dede,"
"heleh biarin, lagian lunya juga sih.. di ajak ngomong , kok enggak paham-paham,"
"lah memang tadi kamu ngomong, bukannya kamu cuma mengasih saja ya?" kataku tak terima dengan ucapannya.
Dia yang mendengar itu hanya menarik nafas dalam agar tidak berteriak seperti orang kesurupan. Aku yang melihatnya seperti itu hanya tersenyum tipis, dan kemudian mengambil handphone yang ada di tangannya dan berdiri kemudian memasukkan Handphone yang aku ambil tadi ke dalam tasnya. Lalu dia melihatku keheranan setelah apa yang kulakukan tadi.
"lah lif, kok lu masukin lagi sih?" tanyanya menatapku dengan bingung.
"aku tidak punya Hp makanya aku balikin ke kamu, soalnya Hp ku sudah rusak gara-gara aku reset,"
"bukannya kalau Hp di reset malah makin sehat ya, Hp gw di reset sehat walafiat kok,"
"ntah, Hpnya lelah kali gara-gara tidak aku pedulikan, soalnya aku pakainya kalau ada hal yang penting aja. Mungkin gara-gara dia cuma aku manfaatin kayak orang yang suka manfaatin orang lain. Jadi dia sakit deh,"
Mia yang mendengar aku berbicara seperti itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, dan kemudian memberikan Hpnya lagi ke aku. Aku yang melihat itu hanya menatap heran, Mia yang mengerti arti tatapanku angkat bicara, pakai saja Hp itu dulu, gw masih punya Hp yang satunya lagi,
"nanti kalau ada yang menghubungi kamu bagaimana?"
***