Malam itu, Ian harus naik ke Arena dan Hailee tidak mau pergi ke rumah Ian sendirian, maka dari itu solusi satu- satunya adalah dengan menunggu pria itu selesai menghajar petarung lainnya.
Hailee tidak perlu meragukan kemampuan Ian dalam hal ini, karena dia akan selalu keluar sebagai juara di setiap pertarungan yang digelar untuknya.
Hanya saja, Hailee tidak habis pikir, setelah melihat sepak terjang Ian yang seperti itu, kenapa masih ada saja orang- orang yang ingin menantangnya dalam Arena, apakah mereka tidak melihat betapa sia- sianya usaha mereka itu?
"Tunggu di sini, aku akan kembali dalam satu jam," Ian berkata sambil mengganti bajunya, dia tidak memiliki masalah bertelanjang dada di depan Hailee sementara pikiran gadis itu sedang terlalu kalut untuk menikmati pemandangan di hadapannya, dimana Ian memamerkan perut six pack- nya untuk sesaat sebelum dia mengenakan kaos putih yang akan dia gunakan untuk bertarung nanti.
Lagipula, ini bukan pertama kalinya Ian berganti pakaian di hadapan Hailee.
"Jangan keluar dari ruang ganti ini dan kunci pintunya," Ian memperingatkan sebelum dia keluar ruangan, baru setelah dia melihat Hailee benar- benar beranjak dari tempat duduknya dan berjalan dengan langkah gontai untuk menutup pintu, Ian baru melangkah pergi menuju arena.
Di dalam ruang ganti, dimana hanya ada satu sofa berlengan yang hanya cukup untuk satu orang, Hailee meringkuk di sana dan kembali teringat apa yang Aileen katakan padanya saat dia hendak menjualnya.
"Kau pikir selama ini aku menyukaimu? Kau bahkan tidak memiliki hubungan darah denganku," Aileen berkata sambil menyeringai penuh ejekan pada Hailee.
Itu adalah kali pertama bagi Hailee melihat kilatan penuh kedengkian dari mata Aileen, kakak tiri yang selama ini selalu dia sayangi. Apalagi setelah kepergian kedua orang tua mereka yang begitu mendadak, Hailee dengan polosnya berpikir kalau dirinya hanya memiliki Aileen di dunia ini.
Pada kenyataannya dia tidak memiliki siapapun, bahkan Aileen jauh lebih menakutkan daripada seorang musuh.
"Kau sama sekali tidak berguna dan sangat tidak pantas untuk bersanding dengan Theo," ucap Aileen.
Seolah mendengar namanya dipanggil, seorang pria dengan perawakan tinggi dan berpakaian selayaknya seorang elite kelas atas, menghampiri Aileen dan merengkuh pinggangnya yang mungil dari belakang sambil mendaratkan sebuah kecupan mesra di puncak kepalanya.
Dia adalah Theodore Gevano, seorang pebisnis muda sukses di kota T, berusia dua puluh sembilan tahun, yang sebulan lalu baru saja bertunangan dengan Hailee saat kedua orang tuanya masih hidup, setelah menjalani masa pacaran selama dua tahun.
Theodore adalah pria yang dipilih oleh ayah Hailee secara langsung. Melihat bagaimana piawai- nya pria ini dalam menangani bisnis, Mr. Tatum percaya kalau Hailee akan bahagia dengan hidup yang terjamin apabila dirinya bersama Theodore.
"Kau pikir selama ini Theo mencintaimu? Gadis ingusan yang hanya tau mencari gara- gara saja, sikapmu selama ini sudah membuat malu keluarga Gevano dan keluarga Tatum!" Aileen mencela Hailee sambil memeluk Theo, seolah pria itu adalah sebuah piala kemenangan baginya.
Tapi, senyum penuh kemenangan Aileen memudar ketika Hailee justru tertawa saat mendengar ocehannya yang menurutnya tidak masuk akal itu.
"Keluarga Tatum?" Hailee menaikkan sebelah alisnya sambil tertawa mengejek pada Ailee. "Apa kau tidak salah? Kau hanyalah anak panti yang beruntung diangkat anak oleh kedua orang tuaku sebagai anak pancingan." Hailee balas mencibir pada Aileen.
Bahkan, dalam kondisi seperti itu, Hailee masih merasa sedikit menyesal atas apa yang dia telah ucapkan. Kata- kata itu Hailee dapatkan dari orang- orang di sekitarnya yang entah kenapa selalu memandang Aileen sebelah mata dan selalu berkasak- kusuk dengan mengatakan kalau Aileen hanyalah anak 'pancingan' saja, karena pada usia pernikahan Mr. dan Mrs. Tatum yang kelima, mereka masih belum dikaruniai momongan juga.
Bisik- bisik seperti itu selalu berhasil membuat Aileen sakit hati dan menangis, biasanya Hailee akan marah pada orang- orang yang mengatakan hal itu pada Aileen.
Tapi, Hailee tidak pernah menyangka kalau dia akan sampai pada moment dimana dirinya menggunakan kata- kata yang sama pada Aileen.
"Jaga bicaramu!" Aileen berteriak dengan gusar, dirinya hendak maju dan berniat menampar Hailee, tapi Theo menahannya.
"Biarkan saja, sudahlah hentikan, Hailee masih berkabung atas kepergian orang tuanya," Theo berkata dengan lembut pada Aileen sambil mengusap pundaknya. "Kalau Hailee keberatan kau menjadi bagian dari keluarga Tatum, maka aku tidak akan keberatan untuk menjadikanmu bagian dari keluarga Gevano," ucapnya menghibur.
Mendengar hal itu, Aileen menatap Theo dengan berbinar- binar dan memeluk pinggang pria itu dengan air mata yang meleleh dari kedua matanya yang bermaskara tebal.
"Benarkah?" tanya Aileen dengan suara yang begitu manis.
"Tentu saja." Theo mengangguk dengan pasti ketika menjawabnya. "Kita akan menikah secepatnya."
Hailee benar- benar sangat muak melihat kedua pasangan bodoh di hadapannya ini, dia benar- benar ingin keluar dari kamar hotel tempat Aileen mengajaknya untuk bertemu.
Hailee awalnya tidak mengerti mengapa Aileen mengajaknya bertemu di kamar hotel, tapi pada saat itu, Hailee tentu sama sekali tidak memiliki prasangka buruk mengenai kakak tirinya itu sedikitpun.
"Hailee," panggil Theo dengan suaranya yang seolah dirinya tengah berbicara pada anak berusia lima tahun yang sulit untuk diatur. "Kupikir pada awal hubungan kita, aku bisa menyukaimu, tapi bahkan setelah dua tahun berlalu, aku hanya menganggapmu sebagai seorang adik, kuharap kau tidak membenci Aileen karena masalah ini."
Mungkin Theo pikir kata- kata itu sangatlah bijak, tapi bagi Hailee kalimat yang dilontarkan Theo hanyalah sebuah angin lalu saja.
Sambil bersedekap, Hailee menatap kedua pasangan menjijikkan dihadapannya ini dengan menantang. "Kau pikir selama ini aku menyukaimu? Aku tidak akan melakukan tindakan- tindakan konyol semacam itu kalau aku memang benar- benar ingin masuk ke dalam keluarga Gevano." Hailee memicingkan matanya. "Memang benar pepatah yang mengatakan kalau orang baik akan bertemu orang baik dan begitu pun sebaliknya." Sarkasme sangat kental terasa dalam kata- kata Hailee.
"Apa maksumu?!" Aileen hendak menghampiri Hailee dan ingin memberikannya pelajaran ketika Theo kembali menahannya.
"Tidak perlu ditanggapi kata- katanya." Walaupun itu yang Theo katakan, tapi air wajahnya berubah gelap saat dia menatap Hailee dengan tajam. "Kita pergi dari sini."
Setelah mengatakan itu, Theo membawa Aileen keluar dari kamar hotel.
Hailee yang ditinggalkan di dalam kamar sendirian pun hendak pergi ketika Roland Dimatrio masuk ke dalam kamar hotel dan mengungkapkan apa sebenarnya rencana Aileen yang telah mengajak Hailee kesini.
Tentu saja Aileen bukan hanya ingin memamerkan Theo yang telah memilihnya, tapi ada hal lain dibalik itu.
Hal yang jauh lebih buruk.