Ensnare Your Feelings
◐
Derit pintu terbuka menghasilkan gema yang merambat melalui dinding. Ruangan luas, sepi dan tampak tak berpenghuni adalah suguhan pertama yang menyambut derap kaki malam ini. Seorang laki-laki berparas tampan--manis melangkah lesu meninggalkan ambang pintu setelah tertutup kembali.
Sean Lu, bekerja sebagai seorang editor di sebuah perusahaan penerbit memang tak begitu menguras tenaga. Setidaknya, tidak seperti tukang bangunan yang harus menggeluarkan energi berlebihan dan bertarung melawan teriknya sang penguasa hari. Meskipun begitu, otak dan pikirannya yang justru serasa diperas setiap hari. Hal itu membuatnya mudah terserang migrain mendadak.
Tubuh Sean melenting, terlempar ke sofa dengan begitu ringan. Setelan kemeja putih bersih yang terkesan kusut dan berantakan dipadu dengan celana hitam mahal, masih melekat di tubuh. Namun, rasa lelah dan letih adalah alasan yang tepat untuknya segera membating tubuh tanpa berkata-kata. Kelopak matanya baru saja akan terpejam, berharap dapat melepaskan penat walau hanya sejenak, tetapi semua itu gagal ketika maniknya menangkap pemandangan di sekeliling ruangan. Sepatu hitam, satu di atas sofa dan satunya di atas meja, jaket kulit yang tersampir di sandaran kursi, helm berwarna kuning cerah dan tas ransel hitam yang tergeletak tak berdaya di lantai.
Keryitan di dahi Sean pun tampak. Sedetik kemudian, seruan dengan intonasi tinggi tersiar dari bibirnya dengan begitu lantang.
"EVA!"
Sean melangkah tergesa-gesa, meniti anak tangga dengan cepat tanpa merasa khawatir akan terjerembab. Telapak tangannya mengepal erat, sebelum tungkai panjang nan laknat itu menendang pintu kayu bercat putih bergambar hello kitty itu dengan brutal.
Sungguh mengejutkan. Begitu pintu terbuka, dua sejoli berlawanan jenis dalam ruangan itu tengah bercumbu mesra, memagut birai merona masing-masing dengan kecipak suara yang kentara. Sean menatap tajam kedua insan tersebut dan amarahnya seketika memuncak. Jari-jemarinya merayap di pinggang, melonggarkan kaitan sabuk yang masih memeluk erat tubuhnya dan menariknya lepas. Sean lalu mengarahkan sabetan ikat pinggang itu pada si perempuan manis yang tidak lain adalah adik kandungnya sendiri, Eva.
"Eva! Sudah kubilang berapa kali padamu untuk tidak membawa laki-laki pulang ke rumah, hah?! Kenapa kau masih saja tidak mau menurut?" hardik Sean sembari mengayunkan sabuk di tangannya.
"Arghhh!"
Pecutan itu menimbulkan suara yang terdengar ngilu di telinga ketika mendarat pada bagian tubuh seseorang, diiringi rintih kesakitan yang terlontar. Sabetan yang seharusnya ditujukan pada Eva itu justru mengenai punggung laki-laki yang kini menjadi tameng sang adik.
"Leo!" Raut pias tersemat di wajah Eva.
"Arg! Sakit sekali," Leo merintih ringan, tetapi tiba-tiba ia tertawa dan menatap dengan senyuman licik pada Sean.
"Beginikah caramu mendisiplinkan seorang adik perempuan? Pantas saja dia tidak mau menuruti perintahmu."
Sean melayangkan tatapan tajam dan dingin, setelah mendengar nada penuh cemooh itu. "Siapa kau? Kurasa ini tidak ada urusannya denganmu!"
"Sean, dia kekasihku!" Eva menyahut.
Sean tersenyum mengejek. "Kalau begitu suruh kekasihmu itu pergi dari rumah ini sebelum aku sendiri yang akan menyeretnya keluar dan menghajarnya!" ujarnya dengan nada mengancam.
Eva menatap marah dan kesal pada sang kakak, walaupun sebenarnya ia tahu alasan mengapa Sean bersikap begitu posesif padanya. "Leo pulanglah, aku baik-baik saja," Eva berujar lembut seraya merapikan rambut Leo yang terkesan berantakan.
Setelah pria itu keluar dari kamar Eva, Sean menatap sang adik garang. "Kita akan bicarakan ini nanti, aku akan memastikan lelaki itu keluar dari rumah ini terlebih dahulu."
Irisnya tajam Sean menusuk punggung kekasih Eva yang berjalan di depannya, melangkah menurini tangga dengan begitu santainya seolah beberapa detik yang lalu tak terjadi apa-apa. Lelaki yang bernama Leo itu segera merapikan barang-barangnya, bersiap untuk pergi sebelum sebuah kalimat menghentikan langkahnya.
"Jangan pernah menemui Eva atau mendekatinya lagi!" peringat Sean.
Suara dingin penuh dengan penekanan itu menyambangi telinga Leo dan membuatnya cukup terganggu. Ia bawa tubuhnya untuk berbalik dan menemukan raut tak bersahabat terpancar dari wajah kakak kekasihnya. Leo tersenyum sinis, sembari perlahan melangkah ke arah lelaki tersebut.
Sean seketika memasang mode waspada, sabuk yang masih berada di genggaman tangannya ia diacungkan pada lelaki di depannya ini untuk mengancam. Meskipun ia tahu lelaki di depannya ini bukanlah orang sembarangan. Ancaman Sean yang hanya berupa ikat pinggang pun bukanlah apa-apa untuknya. Sebagai putra seorang mafia ternama, tentu ia sudah terbiasa bermain dengan senjata tajam seperti pedang, pisau dan juga pistol.
Merasa terintimidasi, Sean melangkahkan kakinya ke belakang. Aura yang dikeluarkan Leo saat ini tidaklah normal, begitu dingin, gelap dan kejam, seperti predator yang tengah mengintai mangsanya untuk dibunuh.
"Kenapa mundur? Ke mana perginya nyalimu beberapa detik yang lalu?" Leo menyunggingkan senyuman mengejek lebih mirip seringai setan.
"Kau bilang, aku tidak boleh menemui atau mengganggu adikmu lagi, hmm? Berikan aku satu alasan karena jika tidak ada alasan yang jelas, aku tidak akan melakukannya."
Leo semakin memojokkan. Lelaki itu tak berhenti melangkah dan membuat tubuh Sean terus mundur ke belakang. "Karena kau bukan orang yang baik. Kau berandalan, gangster, pemabuk, playboy dan masih banyak hal buruk tentangmu. Aku ingin Eva mendapatkan lelaki baik-baik."
"Ahhh .. begitu rupanya," Leo mengangguk-angguk, "lalu lelaki baik seperti apa yang kau inginkan menjadi kekasih adik tercintamu itu? Sepertimu?" ujarnya sembari mengelus dagu.
"Apa kau yakin, kau orang yang baik?" lanjutnya dengan nada menyindir yang kentara.
Belum sempat Sean menjawab Leo sudah menyela, "Ah! Tentu saja kau orang yang baik, tapi hanya di depan adikmu. Apa dia tahu ke mana kakaknya pergi jika tidak pulang ke rumah? Lalu Apa dia tahu kau bahkan bisa menghabiskan lima botol vodka tanpa mabuk? Dan apa dia juga tahu jika kakaknya pernah ditiduri oleh kekasihnya, heum ...?"
Tatapan sengit terpancar dari manik Sean. "Tutup mulutmu! Jangan mengungkit-ungkit kejadian tidak sengaja itu! Anggap saja itu tidak pernah terjadi!"
Leo mengulurkan tangan, meraih ikat pinggang yang digenggam erat oleh Sean. "Sayangnya aku tidak bisa melupakannya semudah itu, Sean."
Dilemparnya sembarang ikat pinggang itu, lalu mengurung Sean di antara kedua tangannya. Memojokan ke tembok dan perlahan mendekatkan wajahnya, hingga menyisakan jarak sekitar dua inchi saja dari wajah Sean.
"Tubuhmu ... bagaikan candu, seperti narkoba yang membuatku ketagihan dan tak ingin melepaskannya. Bagaimana ini Sean ...?" bisik Leo lembut.
"Dengar Leo! itu semua hanya kesalahan."
"Tidak masalah. Kalau begitu, aku akan menganggap itu sebagai kesalahan terindah dalam hidupku," berujar dengan nada suara rendah dan terdengan sensual di telinga Sean.
"KAU!"
Sean geram. Apalagi lelaki brengsek ini sempat mencuri kesempatan menjilat daun telinganya. "Apa maumu sebenarnya, katakan apa tujuanmu dan kenapa kau mendekati adikku?" Sean berusaha menahan emosinya. Jujur saja, ia paling tidak suka jika dipermainkan seperti ini.
Leo tergelak puas. "Pertanyaan tepat! Itu yang sejak tadi aku tunggu-tunggu."
"Sean, kau pernah dengar pepatah ini? Jika kau ingin mendapatkan seseorang yang kau sukai maka kau harus mendapatkan hati keluarganya terlebih dulu. Dan satu-satunya keluarga yang kau miliki hanya adikmu jadi aku-—"
"Brengsek!"
Sebelum Leo selesai mengucapkan kalimatnya, sebuah bogem mentah telah mengenai wajah lelaki tersebut. "Jadi, kau hanya mempermainkan adikku?!"
Tak terbendung sudah, amarah Sean akhirnya terlepaskan. Dengan kasar ia mendorong tubuh Leo hingga jatuh tersungkur ke lantai. Tanpa memberi kesempatan, ia langsung memukul Leo membabi-buta; sedangkan sang korban justru terkekeh-kekeh seperti orang gila.
"Kau tahu? Adikmu, Eva memang seksi dan menarik tapi aku lebih menginginkanmu. Awalnya, aku hanya ingin dekat saja, tapi kupikir sedikit bermain-main dengannya cukup mengasyikan juga ternyata." Kalimat itu semakin membuat emosi Sean meledak.
"Kau Bajingan!! Kau hanya memanfaatkan adikku untuk kesenanganmu!" seru Sean benar-benar marah.
Eva awalnya tidak mau tahu mendengar keributan yang terjadi di bawah sana, tetapi karena rasa penasarannya yang tinggi ia pun akhirnya turun dan menyaksikan juga mendengar langsung apa yang dikatakan oleh kekasihnya, Leo, barusan.
Ia sangat terkejut, tetapi ia belum mempercayai apa yang didengarnya beberapa detik yang lalu.
Melihat kakaknya menghajar Leo hingga pria itu memiliki luka hampir di sekujur wajahnya, Eva pun berusaha melerai. "Sean! Hentikan! Dia bisa mati!" serunya menarik tubuh Sean menjauh.
"Ya. Biarkan saja dia mati! Dengar Eva! Dia hanya mempermainkanmu saja, dia sama sekali tidak mencintaimu!"
"Bohong!!!" Eva berseru menampik ucapan sang kakak. Kemudian ia berjalan menuju Leo yang masih terduduk di lantai, membantunya berdiri dan mengapitkan tangannya di lengan Leo.
"Aku mencintai Leo. Begitu juga dengan Leo, aku yakin dia sangat mencintaiku, Sean." Eva tak mau tahu.
Sean mengacak rambutnya frustasi. Bagaimana bisa adiknya menjadi bodoh dan sekolot ini, bukankah dia sudah mendengarnya sendiri, apa yang Leo katakan?
Leo memegang tangan Eva, meremasnya sejenak, melepaskan dari lengannya dan menghempaskan tangan lentik itu kasar hingga Eva terjatuh. Sean yang melihat itu seketika berlari menghampiri sang adik dan membantunya berdiri. Sepertinya, pergelangan kaki Eva terkilir karena sulit dan sakit baginya untuk menyangga tubuh.
"Benar. Kakakmu benar Eva sayang ... kenapa kau tidak percaya dengan kakakmu, heum?" Leo menarik sudut bibirnya, meskipun rasa perih seketika mengejutkan tubuhnya. "Jujur saja. Sebenarnya aku tidak mencintaimu, tapi aku harus melakukan semua ini untuk mendekati dan mendapatkan perhatian orang yang kucintai," jelas Leo yang semakin melukai hati Eva.
Genangan yang sejak tadi mengumpul di pelupuk mata pun akhirnya menetes juga, Eva tidak bisa menahannya lagi. "Siapa dia, temanku atau orang yang dekat denganku?" lirih Eva, nada suaranya bergetar dan napasnya tersendat karena ia tengah sesenggukan.
Leo menampilkan senyuman yang menawan. "Kau ingin tahu siapa dia?"
Mata tajam Leo melirik pada Sean sejenak, lalu tersenyum licik. "Dia orang yang sangat dekat denganmu tapi aku tidak akan memberitahumu. Aku menjaga perasaanmu dan tidak ingin menambah luka hatimu," ucapnya sok manis.
Namun, Leo kemudian melangkahkan kakinya ke arah kedua kakak-beradik tersebut. Berjongkok menyejajarkan wajahnya dengan Eva dan tersenyum lembut, menghapus air mata itu dengan ibu jarinya. Tatapan mata Leo teralihkan pada Sean yang juga berjongkok di sisi Eva. Kedua manik yang bersiborok itu saling melemparkan tatapan tajam. Namun ....
Tanpa persiapan, tanpa aba-aba, Leo mencium bibir ramun Sean begitu tiba-tiba. Di depan mata kepala adik Sean, Eva, yang berstatus sebagai kekasihnya sendiri.