Chereads / LOVE OF DREAM / Chapter 18 - MOMEN TERBAIK

Chapter 18 - MOMEN TERBAIK

FLASHBACK ON

"Bang, dipanggil sama Ayah."

Van yang sedang berada dikamar pun menoleh ketika melihat adiknya itu menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Sedangkan posisi Van tengah memainkan ponselnya sambil tiduran.

"Iya." Jawabnya singkat. Vin pun menutup pintunya kembali, sedangkan Van kini sudah terduduk ditepi ranjang dengan beribu-ribu pertanyaan yang muncul dikepalanya.

"Ada apa Ayah manggil gue, ya?" Batin nya penasaran. Karena Van sangat tahu jelas bagaimana Ayahnya, pria dewasa itu pasti akan memanggilnya hanya jika ada yang ingin dibicarakan saja.

Mungkin jika orang lain melihat Ayah nya pasti akan berpikiran bahwa pria dewasa itu begitu dingin. Padahal Ayahnya tidak seperti itu, tak seperti yang orang lain pikirkan atau dilihat. Jika bukan orang terdekat Ayah, pasti mereka takkan pernah mengerti dan bahkan sulit dimengerti bagaimana sebenarnya Ayah nya itu.

Van pun langsung berjalan keluar kamar sembari merapikan sedikit pakaiannya itu. Ia menghela nafas panjang berusaha menetralkan jantungnya yang tiba-tiba berdegub kencang, rasa gugup pun mulai menyelimuti hatinya saat itu.

Ayah Van kini tengah berada diruang televisi, menyaksikan berita yang akhir-akhir ini heboh. Sedangkan disisinya ada Bunda dan juga Vin, adiknya. Kening Van mengerut melihatnya, biasanya Ayah nya itu akan berbicara di ruang kerjanya, bukan disini.

Bunda yang merasakan kehadiran orang lagi didekatnya pun langsung menoleh, "Eh, Sayang, sini duduk barengan sama Ayah sama Vin." Van pun menurut dan berakhir memilih duduk disamping Bunda.

Setelah Van duduk, Ayahnya masih saja diam memperhatikan layar televisi yang menayangkan berita itu. Raut wajah Ayah memang datar tapi Van tahu jika Ayahnya sedang tidak marah padanya.

Bunda dan Vin yang melihat Van terus menatap Ayah dan Suaminya itu pun mengerti, mereka langsung berdiri dari duduknya, "Bunda ke dapur dulu ya, sebentar kok," Ujar Bundanya diikuti oleh Vin dibelakangnya yang menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Ayahnya pun menyahut ketika melihat anaknya yang satu lagi itu beranjak dari sisinya, "Mau kemana?" Tanya nya sembari menatap Vin datar.

Vin menatap Van yang sedari tadi sedang memperhatikan interaksinya dengan Ayah. "Vin mau ke dapur, Yah, haus." Ujar Vin tersenyum kikuk.

Ayahnya pun mengangguk, setelah itu Vin langsung kembali berjalan melanjutkan langkahnya ke dapur sembari menghela nafas lega. Van sempat terkekeh melihat adiknya yang seperti itu, menggelengkan kepalanya lalu tersenyum tipis.

Hening. Tak ada percakapan antara Ayahnya dan juga Van, entahlah Van sendiri pun tak mengerti kenapa Ayahnya memanggilnya kesini, padahal biasanya juga Ayahnya itu akan menyuruhnya datang ke ruang kerjanya.

"Kamu udah makan?" Tanya Ayahnya tiba-tiba membuat Van terkejut dan tak siap menjawab.

"Udah, Yah." Jawab Van berusaha menenangkan dirinya sendiri yang tengah gugup saat ini.

Ayahnya itu tanpa menoleh kearahnya sedari tadi langsung berdiri dan meninggalkannya sendiri diruang televisi, menimbulkan tanda tanya pada diri Van.

Setelah Ayahnya pergi, Van kebingungan. Sebenarnya apa maksud Ayahnya itu, pikirnya.

"Udah, gitu doang?" Tanya Van pada dirinya sendiri.

"Apanya yang gitu doang?" Suara berat itu terdengar begitu jelas, itu suara Ayahnya yang kini kembali duduk disampingnya. Sedangkan Van terkejut sekaligus takut karena Ayahnya mendengarnya berbicara seperti itu.

Van menoleh sembari tersenyum, "Enggak kok, Yah." Jawab Van, ia berusaha menenangkan dirinya lagi yang semakin gugup saja saat ini.

Lalu tatapannya tak sengaja menatap tangan Ayahnya yang sedang memegang kunci. Ingin bertanya tapi takut Ayahnya berpikir yang tidak-tidak, bukan, bukan seperti itu. Maksudnya Van takut jika Ayahnya berpikir bahwa ia kegeeran jika tujuan memanggil dirinya ada kaitannya dengan kunci yang dipegang oleh Ayahnya saat ini.

"Van," Panggil Ayahnya itu yang kini menatap Van. Ia membalas tatapan Ayahnya sembari tersenyum.

"Iya, Yah?" Ayah Van pun tersenyum, satu tangannys yang tak memegang kunci itu mengusap puncak kepala Van dengan lembut.

Van merasakan kenyamanan itu lagi, bersyukur sekali jika Ayahnya masih ada didunia ini. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri begitu pun Bunda dan juga adiknya yang nakal itu, Vin.

"Kamu sekarang ulang tahun, kan?"

Pertanyaan itu sukses membuat Van terkejut, ia langsung mengecek ponselnya yang berada disaku celananya itu. Benar saja, ia melupakan hari ulang tahunnya.

"Van lupa." Ujar Van sembari terkekeh. "Emangnya kenapa, Yah?" Tanya Van lagi penasaran.

Ayahnya yang melihatnya pun hanya diam tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Tak lama terdengar suara dua orang yang palig berarti dalam hidupnya itu.

"Happy birthday to you, happy birtday to you, happy birtday, happy birthday, happy birthday to youuu."

Bunda dan Vin datang berlainan arah dengan membawa sesuatu ditangannya. Bunda membawa kue ulang tahun untuknya, sedangkan Vin membawa kado yang lumayan cukup besar yang entah apa itu isinya.

Van yang melihatnya pun menatap tak percaya pada mereka bertiga, termasuk Ayahnya sendiri. Entahlah, bahkan mereka semua terlihat seperti biasa-biasa saja tadi.

Bunda yang melihatnya langsung tersenyum haru, ia bangga melihat putra sulungnya yang sudah tumbuh semakin dewasa. Ia pun langsung menyuruh putranya itu untuk meniup lilinnya dan Van pun meniup lilin itu.

Vin yang melihatnya lansung berhambur ke pelukan abangnya, membuat Van yang melihat kelakuan manja adiknya itu terkekeh. Ia menepuk-nepuk punggung adiknya yang saat ini tengah memeluknya begitu erat.

Van berusaha melepaskan pelukannya, tetapi Vin tak mau melepaskannya. "Jangan dilepas, jangan!" Larang Vin yang masih memeluk abangnya itu begitu erat.

"Bilang aja lagi nangis, cemen banget lo. Masa cowok cengeng, sad boy." Ledek Van yang memang benar adanya. Vin tengah menangis saat ini dengan posisi yang masih memeluk abangnya.

"Abanggggg, shut up!" Ujar Vin yang membuat Ayah, Bunda dan Van abangnya itu tertawa.

"Udah, gantian Ayah dong," Ujar Ayahnya. Setelah itu Vin pun melepaskan pelukannya, matanya benar-benar sembab. Van terkekeh melihatnya, benar kan dugaannya jika adiknya itu menangis.

Bundanya hanya tersenyum, kemudian menyimpan kue ulang tahun itu diatas meja. Ayah Van pun tersenyum kearah Van saat ini, lalu memberikan kunci yang tadi membuat Van penasaran.

Van melihatnya lalu mendongak menatap Ayahnya dengan alis yang terangkat, "Maksud Ayah, apa ini?" Tanya nya.

"Ini kado dari Ayah buat kamu." Van yang mendengarnya menganga, tak menyangka dengan yang baru saja ia dengar. "Motor? Makasih banyak, Yah." Ujar Van bahagia, lalu menerima kunci itu dari tangan Ayahnya yang mengambang sedari tadi.

Ayah Van menggeleng sembari tersenyum, "Mobil." Jawab nya. Kali ini adiknya yang bersuara, lebih tepatnya berteriak histeris membuat Bundanya yang berada disamping terkekeh sembari menggelengkan kepalanya.

Sementara itu Van masih tak percaya dengan pemberian Ayahnya itu. Ia menganga sembari menatap kunci yang ada dalam genggamannya. Tetapi tak lama wajahnya langsung menggeleng tak terima.

"Ayah, Van gak bisa nerimanya. Ini terlalu berlebihan. Van cuma minta Ayah sama Bunda jangan berantem lagi, itu aja."

Ayah dan Bundanya yang mendengar cukup terkejut sekaligus terharu mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Van. Sedangkan Vin kesal bukan main karena secara tidak langsung abangnya itu menolak pemberian Ayahnya, dan itu benar-benar membuatnya kesal.

"Ayah gak suka niat baik Ayah ditolak, jadi terima aja kadonya." Ujar Ayahnya yang nada bicaranya seketika berubah dingin. Van yang mendengarnya terkejut, buru-buru ia meminta maaf pada Ayahnya itu.

Vin sudah bisa menduganya jika perihal ini pasti akan terjadi, namun ia bisa apa, hanyalah adik Van saja.

"Iya, Ayah. Maaf, Van bakal terima kado ini." Ujar Van menyesali ucapannya itu. Ayahnya pun menoleh padanya sembari tersenyum, "Nah, gitu dong, putra Ayah."

"Tapi ada syaratnya."

"Apa syaratnya?" Tanya Van penasaran.

"Anterin Bunda kamu ke pasar."

Van menganga mendengarnya, begitu pula Vin adiknya sendiri. Mereka pikir akan ada tugas berat dari Ayahnya itu, tetapi ternyata tidak. Itu bukanlah tugas, tapi kewajiban seorang anak.

"Siap, Yah!" Tegas Van sembari hormat pada Ayahnya layaknya junior yang menghormati seniornya.

Kemudian mereka pun berbincang-bincang hangat sambil sesekali tertawa. Kemudian menghabiskan kue ulang tahun yang ternyata Vin adalah tersangka utamanya.

"Kue Van kok udah segini lagi, perasaan tadi masih banyak deh." Ujar Van kebingungan.

Bunda dan Ayahnya yang melihat pun terkekeh lalu menunjuk adiknya yang tengah memakan kue milik Van dengan tenang sembaru menonton televisi.

"VIN ALDRIO MILLENO!"

Vin yang terkejut pun langsung menoleh menatap abangnya yang sudah memasang wajah garang seperti ingin menerkamnya.

Vin menyengir lebar, "Ampun, Bang." Ujar Vin sembari cekikikan yang mengundang gelak tawa dari kedua orang tua mereka.

FLASHBACK OFF