Happy Reading
Di sebuah tempat yang cukup terpencil, ada sebuah bangunan yang bergaya Eropa yang terlihat megah di kelilingi oleh puluhan hektar kebun teh. Dari kejauhan, bangunan itu terlihat seperti kastil modern yang cukup menarik hati. Biasanya bangunan itu selalu sepi, hanya ada seorang penjaga yang sesekali datang untuk membersihkan tempat bangunan yang megah itu.
Namun sejak malam hari, beberapa orang pria dengan perawakan tinggi besar mulai berjaga di tempat itu. Lalu datang sebuah mobil berlogo florist shop yang cukup ternama juga datang ke sana. Bahkan penjagaan ketat itu berlangsung hingga pagi hari.
Satu persatu mobil mulai berdatangan, membawa beberapa orang yang sangat penting dan berpengaruh. Begitu semua orang sudah hadir, pintu besar di bangunan megah itu langsung tertutup rapat. Hanya orang-orang di dalam sana yang mengetahui momen penting yang sedang terjadi di sana.
"Bagaimana kondisi di sekitar lokasi ini?" Tiba-tiba saja Martin datang dengan kacamata hitam dan masker yang menutupi wajahnya. Pria itu sengaja menampakkan dirinya setelah Davin Mahendra benar-benar sudah masuk ke dalam rumah besar itu.
"Kami menangkap seorang mata-mata yang sedang mengintai lokasi ini sejak semalam. Sayangnya orang itu tak mau mengatakan apapun yang bisa membantu kita, Bos," jelas seorang bodyguard yang bertanggung jawab untuk menjaga lokasi itu agar tetap aman.
Martin pun mengamati sendiri lokasi yang sedang di pakai untuk sebuah pernikahan sakral Brian dan Imelda. Dia tak ingin jika ada kesalahan sedikit pun. Baru berjalan beberapa langkah saja, ponselnya berdering. Pria itu langsung menerima panggilan itu. "Ada apa?" jawabnya sambil meletakkan ponsel di telinganya. Mendadak wajah Martin sedikit pucat dengan ekspresi keterkejutannya. "Cepat bereskan semuanya," tegasnya pada seseorang di dalam telepon. "Brengsek! Bisa-bisanya mereka berniat meledakkan rumah Adi Prayoga!" Martin benar-benar sangat geram mendengar berita buruk itu.
"Bos! Rumah utama baru saja mendapatkan serangan," ucap seorang bodyguard yang menghampiri Martin.
"Aku sudah mendengarnya." Martin menatap dingin pria di depannya itu. "Pastikan keadaan di sini tetap aman dan terkendali. Jika ada kesalahan sedikit pun, aku akan menghabisi kalian semua," ancam Martin pada seorang pria yang bertanggung jawab pada keamanan pernikahan paling menegangkan bagi mereka.
Tak jauh dari mereka, beberapa orang kepercayaan Davin terlihat sedang memastikan keamanan lokasi itu. Mereka benar-benar sangat hati-hati dalam setiap langkah yang dilaluinya. Karena keselamatan Davin lebih penting daripada nyawa mereka sendiri. Bahkan Alex dan Marco juga berada di sana untuk memastikan keselamatan Davin dan juga Imelda.
"Marco! Mungkinkah pria yang berkacamata dan juga memakai masker itu adalah Martin?" tanya Alex pada pria yang sedang duduk sambil menatap layar monitornya.
Marco menatap seseorang yang dibicarakan oleh Alex, dia tak menunjukkan reaksi apapun yang cukup berarti. "Kalau pun aku tahu, aku tak akan mengatakannya padamu," tegasnya lalu kembali fokus pada monitor di depannya.
"Sialan! Mentang-mentang dia temanmu," kesal Alex pada pria di sampingnya. "Yang ku dengar Martin pernah menjadi anggota pasukan khusus, benarkah itu?" Alex terlihat sangat penasaran dan juga tidak sabar untuk mendengar jawaban dari Marco. Selama ini dia sempat mendengar banyak kabar tentang Martin, tentang kehebatannya dan juga kemampuannya dalam membantu Adi Prayoga dalam menjalankan bisnis.
Marco pun merasa sangat risih dan juga kesal mendengar Alex yang sejak tadi hanya terus mengoceh tanpa henti. "Bisakah kamu menutup mulutmu itu? Aku sedang fokus memeriksa keamanan di sekitar sini. Jika kamu ingin tahu siapa Martin, tanya saja pada Bos sendiri!" kesal Marco pada Alex yang masih berdiri di sampingnya. "Jangan mengikuti aku!" tegas Marco lalu pergi meninggalkan pria itu ke tempat yang lebih nyaman.
Marco sedang duduk seorang diri di depan layar komputer miliknya. Pria itu masih sibuk dengan pengamanan untuk atasannya. Hingga tanpa sadar seseorang yang cukup dikenalnya sudah berdiri sambil memandang layar monitornya.
"Ada apa dengan wajahmu?" Suara Martin yang tiba-tiba datang dan berdiri di sampingnya.
Marco langsung menatap ke arah suara itu dan mengerutkan keningnya begitu melihat Martin di sampingnya. "Kak! Sejak kapan berada di sini?" tanyanya sambil terus memandangi pria di sampingnya.
"Sejak kamu membuka kamera pengawas di ruangan tempat mereka mengadakan momen sakral itu," jawab Martin. "Mengapa wajahmu terlihat sangat kesal?" tanyanya. Martin benar sangat waspada jika tanpa disadarinya ada seseorang yang mengetahui kehadirannya.
"Lihatlah pria yang tadi bersamaku! Namanya Alex, dia sangat ingin tahu tentangmu. Dan aku menjadi kesal karena Alex terus menerus bertanya tentangmu," jelas Marco sambil melirik pria yang menjadi tangan kanan Davin Mahendra itu. "Lihatlah, sejak tadi Alex terus memandangi kita berdua. Sepertinya dia sudah terjerat dalam pesona mu." Setelah mengatakan hal itu, Marco justru terkekeh geli mendengar perkataannya sendiri. Dia tak menyangka akan mengatakan hal konyol tentang Martin.
Martin langsung melepaskan kacamata hitamnya dan memandang Alex yang sejak tadi menatapnya. "Rasanya aku sangat ingin berduel dengan temanmu itu," ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari Alex. "Apakah pria itu sangat hebat dalam bertarung?" tanyanya sambil tersenyum sinis pada pria yang terus memandangnya sejak tadi.
"Dia pernah mengatakan jika Imelda lebih hebat darinya," jawab Marco dengan sangat ragu. Karena selama ini, dia tak pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Alex sedang bertarung. Marco lebih banyak bekerja di balik layar daripada di lapangan.
Martin pun tersenyum penuh kemenangan melihat Alex yang belum mengalihkan pandangannya. "Sepertinya aku lebih hebat darinya." Pria itu kembali memakai kacamata hitamnya. "Aku harus pergi sebelum Davin Mahendra keluar dari ruangan itu. Berhati-hatilah!" Martin pun langsung menghilang dengan sangat cepat. Bahkan Marco belum sempat mengucapkan salam perpisahan untuknya.
"Selalu saja menghilang tanpa jejak," keluh Marco pada pria yang baru saja meninggalkan dirinya begitu saja. Pria itu selalu dibuat kesal setiap kali bertemu dengan Martin. Seolah Martin datang dan pergi sesuka hatinya. Dan hanya meninggalkan kekesalan di hati Marco.
Tak berapa lama, Alex kembali menghampiri Marco yang sudah duduk seorang diri. Dia terlihat sangat tidak sabar untuk bertanya tentang seseorang yang baru saja menemui temannya itu. "Apa yang kamu bicarakan dengan Martin?" tanyanya sangat penasaran.
Marco tersenyum sinis pada pria di sampingnya itu. "Bagaimana kamu bisa sangat yakin jika itu Martin?" Sebuah pertanyaan langsung dilemparkan Marco pada rekan setimnya itu.
"Aku bukan orang bodoh! Bahkan aku sangat yakin jika Martin dan kamu adalah pasangan kakak beradik. Apakah kamu juga akan menyangkal hal itu?" terang Alex dengan wajah yang terlihat sangat serius. "Haruskah aku membawa hasil DNA kalian berdua?" kesalnya sambil terus menatap Marco yang terlihat cukup terkejut dengan ucapannya.