Happy Reading
Martin masih sibuk di depan layar besar di hadapannya dengan wajah yang sangat serius. Tak ingin mengganggu pekerjaan tangan kanan ayahnya, Brian mengajak Imelda menunggu di luar ruangan itu. Wanita itu pun memilih untuk melihat kondisi Adi Prayoga daripada harus duduk tanpa melakukan apapun. Begitu pintu ruang medis terbuka, terlihat Kevin sedang memeriksa selang infus yang terpasang di tangan sang bos mafia. "Bagaimana keadaan Om Adi?" tanya Imelda pada Kevin.
"Keadaannya cukup stabil. Bahkan Om Adi sempat terbangun dan mencari kalian berdua. Tetapi Martin mengatakan jika Brian sedang membantu istrinya untuk mandi," jelas Kevin sambil senyum-senyum memandangi pasangan yang berdiri di depannya.
"Apa!" Brian dan Imelda meneriakkan sebuah kata yang sama pada seorang dokter yang menangani Adi Prayoga. "Sial Berani-beraninya Martin mengatakan hal yang tidak benar," kesal Brian sambil melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Baru saja membuka pintu, Martin sudah berada di depan pintu ruangan itu.
Pria itu menatap tajam Brian yang sedang memelototi dirinya. "Kenapa kamu meneriakkan namaku? Aku masih belum tuli, kamu bisa memanggilku dengan lembut," goda seorang pria yang baru saja akan masuk ke ruangan itu. Martin langsung melangkahkan kakinya menuju ke sebuah ranjang yang di pakai oleh Adi Prayoga. "Dokter Kevin. Jika Bos bangun ... tolong hubungi aku!" Martin pun langsung keluar dari ruangan itu sambil melirik Brian yang terlihat masih sangat kesal terhadapnya.
Brian beranjak mengejar Martin yang kembali ke ruang kendali. Pria itu langsung saling memandang satu sama lain seolah memercikan kebencian yang sangat besar. "Ada apa dengan tatapan matamu?" tanya Martin pada Brian.
"Apa alasanmu mengatakan pada Kevin jika aku sedang mandi bersama Imelda?" Bukannya menjawab, Brian justru melemparkan pertanyaan pada pria di depannya. Lelaki itu terlalu kesal dengan sikap Martin yang terlalu arogan dan seenaknya sendiri.
"Aku tak bilang jika kamu sedang mandi bersama. Bukankah tadi kamu mengatakan jika akan membantu Imelda mandi?" terang Martin dengan senyuman sinis yang terlihat begitu menyebalkan di mata Brian.
Brian hanya bisa menahan segala kekesalan di dalam hatinya. Dia tak ingin jika amarahnya justru memperburuk suasana. Karena selama ini Martin cukup membantu keluarganya dan juga bisnis yang dijalani oleh ayahnya. "Untuk apa Papa mencariku?" tanyanya sangat penasaran.
Martin langsung duduk di depan sebuah layar monitor yang memperlihatkan sebuah tempat yang sudah didesain sangat cantik. Sebuah ruangan yang tidak terlalu besar dengan altar yang dihiasi sangat indah. "Besok pagi kalian akan menikah di tempat ini. Aku sudah mengurus segalanya termasuk petugas catatan sipil. Bos ingin agar kalian segera meresmikan pernikahan baik secara hukum dan agama. Sebuah pernikahan tertutup dan akan terlihat sangat sakral," jelasnya pada pria yang terus menatap dirinya penuh arti.
"Apa Om Davin sudah menyetujui rencana ini?" Brian terlihat sangat ragu dengan dirinya sendiri. Dia tak yakin jika ayah Imelda itu akan menyetujui sebuah pernikahan yang benar-benar sederhana untuk seukuran keluarganya.
"Tentu saja. Bahkan Davin Mahendra yang mengusulkan tempat ini. Kamu tak perlu mengkhawatirkan apapun, yang terpenting jelaskan pada Imelda tentang rencana ini. Jangan membuat wanita itu terkejut, itu bisa mempengaruhi bayinya." Martin pun bangkit dari tempat duduknya dan melangkahkan kakinya ke arah pintu di ruangan itu. "Malam ini aku akan menginap di sini, jangan berpikir macam-macam tentang diriku. Aku tahu jika kamu sangat tidak suka jika aku berada di tempat ini," ledek Martin sambil senyum-senyum meninggalkan Brian yang masih berdiri di samping layar monitor.
Brian pun mengejar Martin lalu menarik tangannya. "Apa maksud dari ucapanmu?" Pria itu berteriak cukup keras karena semakin kesal dengan sikap seorang pria yang menjadi orang kepercayaan ayahnya. Seolah Brian hampir saja kehilangan akal sehatnya menghadapi Martin yang terus memprovokasi dirinya.
"Apa kamu suka jika aku mendekati Imelda? Tidak kan!" Martin melanjutkan langkahnya tanpa memperdulikan Brian yang masih berdiri di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun.
Tak berapa lama, Imelda keluar dari kamarnya untuk mengambil minuman di dapur. Dia melihat Brian berdiri di tengah ruangan tanpa bergerak sama sekali. Wanita itu pun memutuskan untuk menghampiri calon suaminya itu. Dari sisi belakang, Imelda menepuk pundak Brian dengan cukup keras. "Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah tadi kamu menemui Martin?" tanya Imelda dengan suara lembut.
Pria itu cukup terkejut dengan kedatangan Imelda di belakangnya. Brian pun membalikkan tubuhnya lalu berhadapan langsung dengan wanita yang besok pagi akan dinikahinya itu. Sebuah tatapan lembut penuh arti dilemparkan Brian pada wanita cantik di depannya itu. Dia pun memberanikan diri untuk menyentuh jemari lembut milik Imelda. "Ada hal penting yang ingin ku katakan kepadamu," ucapnya dengan pandangan mata yang penuh cinta.
"Katakan saja sekarang!" sahut Imelda tanpa basa-basi. Wanita itu cukup penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh Brian kepadanya.
Brian pun mengambil sebotol minuman lalu mengajak Imelda ke kamarnya. Dia sangat tahu jika setiap malam Imelda hanya akan keluar saat mengambil minuman saja. Pria itu mendudukkan Imelda di sofa besar di kamar itu lalu duduk di sampingnya. "Besok pagi kita akan melangsungkan pernikahan secara tertutup bahkan mungkin secara rahasia," jelasnya dengan wajah yang terlihat cukup senang namun juga khawatir.
Tidak ada ekspresi keterkejutan yang ditunjukkan oleh Imelda pada pria di depannya. Bahkan wanita itu terlihat begitu tenang mendengar rencana pernikahan yang disampaikan oleh Brian kepadanya. "Aku sudah mendengar hal itu dari Papa," jawabnya.
"Apa! Kenapa kamu tak memberitahukan hal itu kepadaku?" protes Brian pada calon istrinya.
Imelda terlihat bingung mendengar perkataan Brian kepadanya. Wanita itu tersenyum kecil pada pria di sampingnya. "Ku pikir kamu sudah mengetahui hal itu, makanya aku tak mengatakannya kepadamu," sahutnya sambil tersenyum pada pria di depannya.
"Apakah kamu benar-benar sedang tersenyum padaku?" Brian masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Baru pertama kali dia melihat Imelda tersenyum kepadanya. Biasanya wanita itu selalu serius setiap kali berbicara kepadanya. Seolah senyuman Imelda telah menjadi angin segar bagi Brian.
Wanita itu langsung menahan senyumannya. Dia tak mau jika Brian menjadi besar kepala terhadap dirinya. "Apa menurutmu aku sedang tersenyum?" tanyanya sambil bangkit dari sofa. "Aku mau istirahat dulu, kamu boleh keluar." Imelda langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang cukup besar untuk dipakai tiga orang sekali pun.
"Apa aku boleh menemanimu tidur? Aku sangat merindukan anakku." Brian menghimpun segala kekuatan dan juga keberaniannya untuk mengatakan hal itu pada Imelda. Walaupun dia cukup khawatir jika Imelda akan menolaknya, Brian tetap mencobanya. Tentu saja dengan sebuah harapan yang besar agar Imelda tak menolak dirinya.