Mentari belum menampakkan sinar nya. Kini adzan subuh berkumandang membuat sang pemilik kamar menggeliat. Ia tak mengulur waktu untuk menunaikan kewajiban nya. Setelah sholat, ia menuju kedapur untuk memasak nasi goreng.
Namun pikiran nya terbesit oleh Rangga. Dia berfikir untuk memasak juga untuk sang doi. Lama berkutat di dapur, akhir nya sebuah nasi goreng pun matang.
"Hftt...mandi dulu mungkin, lalu baru makan" gumam gadis itu.
Lama ia berkutat dengan alat mandi, akhirnya ia sudah siap dengan seragam batik hitam dengan rok hitam nya. Setiap hari sabtu, jadwal seragam adalah batik.
Gadis berkuncir kuda itu turun untuk sarapan dan menyiapkan bekal untuk sang pujaan hati. Hati yang seakan di penuhi dengan bunga bermekaran membuatnya tak henti henti nya tertawa.
Namun kenangan masalalu nya masih tersimpan rapi. Ia tak tahu apakah Rangga juga akan mencintai nya atau malah membenci nya. Ia juga tidak tau apakah masalalu nya itu membencinya ataukah masih mencintai nya. Dia selalu berpagang teguh pada kalimat,
ikuti alur nya dan nikmati prosesnya. Tuhan tahu kapan kita harus bahagia.
Kini Rasya sudah selesai sapan dan masih menyiapkan bekal untuk Rangga. Ia berharap semoga saja di terima. Pagi ini Rasya berangkat menggunakan motor matic. Entahla, ia hanya pengen saja.
Sampai di sekolah dia langsung memarkirkan motornya dan langsung ke kelas. Tampak kelas sudah ramai dan kedua teman nya lagi asik mengghibah.
"Eh nyet, sejak kapan lo duduk di situ?" Pasal nya Rasya langsung duduk dan tak menyapa kedua teman nya terlebih dahulu. "Hehehe. Baru aja" katanya diiringi cengiran khas nya.
"Eh tumben lo bawa bekal" tanya Rere saat Rasya meletakkan kotak nasinya di loker meja. "Bukan buat gw ini"
"Lalu buat siapa? Kita yak?" Vivi dengan pd nya. "Enak aja lo. Buat Rangga nih."
"Lo ga sakit hati dengan Rangga? Kan lo udah dikatain kek gitu" khawatir Rere kepada teman baru nya ini. "Tenang. Gw udah lamaga ngerasain sakit hati" jawab Rasya dengan wajah tenang.
Rere dan Vivi tercengang dengan jawaban gadis itu. "Eh, lo gaada jawaban lain apa. Kok lo jawab kek gaada dosa sih"
"Tau nih. Kelamaan di tinggal doi kali. Hahah" Rasya hanya menanggapi dengan tersenyum tipis dan tak ingin memperpanjang hal ini.
Kriingg..
"Udah ah! Jangan ghibah mulu" finish Rasya sambil mengeluarkan alat tulis nya. "Yaelah"
Pelajaran dimulai namun Rasya melewatinya dengan ogah ogahan. Sampai akhirnya bel istirahat yang paling ditunggu pun berbunyi.
"Sya, yok ke kanti" Rere mengajak Rasya yang tampaknya gadis itu sedang merapikan buku nya.
"Sabar napa" gadis itu sudah selesai dengan kegiatannya dan mengeluarkan kotak bekal nya. "Yok"
Sampai di kantin mereka menemukan meja Rangga dkk dengan cepat. Ya karena mereka bertiga langganan bangku pojok. "Eh kalian kesana aja dulu. Gw pesenin kayak biasa" usul Vivi.
"Yaudah. Makasi ya ovovivipar." Kata Rasya sambil mencubit pipi Vivi. Dan sang empuh pun kesal dibuat nya. "Ihh!!" Kesal Vivi
Jika Vivi pergi pemesan makanan, Rere dan Rasya menghampiri meja Rangga dan tentu nya Rasya menyembunyikan kotak makan nya dibalik punggung nya.
"Boleh gabung ga Ris?" Rere tersenyum. "Boleh dong" Faris mempersilahkan. "Eh bebeb gw mana?" Dika mencari keberadaan Vivi tapi dia tak menemukan nya.
"Oh dia, noh lagi mesen makan" Rere menunjuk Vivi yang berada di stand batagor. Hampir saja lupa, Rasya menyodorkan kotak nasi goreng nya. "Ngga? Ini buat kamu. Aku masak sendiri lho"
"Ga sudi"
"Ih. Setidak nya terima dong" Rasya masih menyodorkan kotak bekal itu. "Gw ga sudi menerima barang apalagi makanan dari bitch kayak lo" ucap Rangga setengah teriak. Karna hal itu semua penghuni kantin menatap nya jijik.
"Nggk ngga. Aku bukan kayak yang kamu bilang" Rasya menyangkal apa yang di ucapkan Rangga. Penghuni kantin mulai berbisik bisik. "Ini ngga setidak nya terima"
Karena merasa jengah, Rangga mengambil kotak makan itu dari tangan Rasya. Dan,
Bruuk
Rasya tak percaya apa yang dia lihat barusan. Rangga menerima kotak makannya. Namun cowok itu malah membuang nya ketempat sampah sehingga tempat makan itu terbuka memperlihatkan nasi goreng yang berserakan di tong sampah itu.
"Ngga! Lo ga seharusnya ngelakuin ini. Setidaknya lo harus hargain dong." Faris berkata setengah kesal.
"Dia udah repot-repot buat makanan sampah itu buat gw. Ya, gw terima kan? Jadi gw berhak dong buat apain tuh sampah! Sampah itu pantas nya di tempat sampah!" Rasya menunduk saat mendengar ucapan Rangga.
"Lo brengsek ngga!" Rangga tak menyahutu ucapan Rere. "Lo ga pantes disebut cowok jika lo ga ngehargain perempuan!" Vivi kini angkat bicara.
"Gw bakalan hargain perempuan kalo perempuan itu bukan jalang kayak dia!!!" Ucap Rangga sambil menunjuk kearah Rasya.
Rasya hanya bisa menahan air matanya. Hati nya begitu sakit saat Rangga menuduhkan hal yang tidak benar. "Kenapa lo diem?! Bisu lo? Oh, atau itu memang benar?!" Rangga tersenyum miring dan melihat gadis itu menunduk.
Rasya mengangkat kepalanya. Tampaknya gadis itu berhasil menahan diri agar tidak mengeluarkan air mata. "Aku bukan jalang yang seperti kamu bilang! Emang aku salah ya? Jika aku berteman dengan laki-laki? Karna aku merasa dilindungi dan mereka bukan seperti yang kamu pikir Rangga!"
"Kenapa lo berteriak seperyi itu?! Apa orang tua lo ga ngajarin sopan santun?!" Ucap Rangga dengan wajah meremehkan. "Ok! Kau boleh menghinaku. Tapi jangan bawa orang tua ku!"
"Oh, atau memang benar nyokap lo jalang dan bokap lo koruptor?!!" Tuduh Rangga. "Gk! Itu salah! Kau saja tak pernah bertemu dengan mereka"
Perdebatan mereka berdua menjadi tontonan seisi kantin. Sebenarnya Rasya sudah jengah dengan semua ini. Tapi ia harus sekuat tenaga mengontrol emosi jika tak mau kantin ini pecah tak berbentuk.
Sebenarnya Rasya sangat sulit jika disuruh mengontrol emosi. Namun ia harus sekuat tenaga menjaga kepalanya agar tetap dingin. "Rangga, plis jangan pancing emosi ku dengan membawa-bawa orang tua ku." Mohon Rasya.
"Kenapa? Bener ya?" Jawab Rangga dengan senyum miringnya. Rasya pikir dengan tidak menjawab terlalu banyak cowok itu akan berhenti. Tapi ia salah. Cowok itu malah maju terlalu jauh.
Rangga pov
Saat gw ngehina dia, gw ga liat cewek itu nangis atau mengeluarkan air mata nya. Gw terus pancing dia, karena gw pengen liat apa yang bisa dia lakuin.
"Rangga, plis jangan pancing emosi ku dengan membawa-bawa orang tua ku." Mohon cewek itu.
"Kenapa? Bener ya?" Gw ngeremehin cewek itu dan membuat nya semakin naik pitan.
Tunggu, dia tidak menangis dan gw liat tidak ada ekspresi apapun di wajah nya. Sebenarnya sih gw agak takut jika dia sudah menunjukkan wajah datar nya. Tunggu,
Bugh
Bugh
Dia bogem gw pas di kedua sudut bibir. Gw pikir tuh cewek bakal nampar kayak kebanyakan cewek pada umum nya. Kedua sudut bibir gw memar dan berdarah. Gw liat muka tuh cewek tetep datar. Sementara Faris, Dika, Rere, dan Vivi terlihat kaget.
Gw menyeka darah di kedua ujung bibir dengan tangan. Gw pikir tuh cewek bakal pergi setelah bogem gw. Eh salah, cewek itu malah minta maaf.
"Sorry ngga. Aku refleks. Gw bantu obatin di uks yok" dia malah minta maaf. Padahal gw yang udah ngehina dia. "Ga usah! Gw bisa sendiri." Tolak gw.
Namun tuh cewek malah bersikukuh dan menarik lengan gw. Gw mau nolak tapi tenaga nya kayak cowok cuy. Kini gw udah sampai di uks dengan diseret cewek yang habis gw hina. Dia berhinin bibir gw dengan telaten.
"Rangga, Aku minta maaf. Aku ga sengaja" cewek itu menunduk.
***