Suasana malam yang sunyi semakin membuat keadaan menjadi tegang. Hanya kekehan jangkrik yang menemani keadaan malam itu. Sungguh jika itu benar - benar polisi Ardian akan batal berangkat besok pagi. Ia akan mendekap di penjara sehari penuh. Dan sudah di pastikan ia akan di-omeli ibunya habis - habisan.
Ardian keringat dingin begitu juga Vino yang tak kalah takut dari Ardian. Ia pasti dipukuli dengan sang ayah. Walaupun ia bisa mengelak atau pun membalas, tetapi tetap saja ia masih memiliki kasih sayang dan sikap sopan terhadap orang tua.
Brukk!!
"Yaaakkk..... Apaan siih!!"Allex menahan balok kayu yang hampir saja mendarat di kepalanya. Reyhan terkekeh pelan melihat ekspresi terkejut dari pemuda itu. Ardian sendiri hanya menghembuskan napas yang sejak tadi ia tahan.
"Brengsek!! Kalian pikir itu lucu huh? Gue hampir jantungan bangsat!!"kesal Vino lalu membuang balok kayunya asal.
"Hahahaa... bukan gue ya.... bukan gue. Noh si Reyhan punya kerja."Allex mencoba membela diri sambil menahan tawanya.
"Ada barangnya?"tanya Ardian setelah ia lihat Vino ingin membalas kembali.
"Ada dong..."Reyhan mengangkat kantong plastik yang ia genggam sejak datang tadi.
"Gue udah lama banget gak minum - minum njir,"lanjutnya kemudian meletakkan seluruh katong plastik itu di meja.
"Sama nyet!!"gumam Vino seraya menatap antusias botol - botol yang di keluarkan Ardian.
"Monyet kok ngomong monyet,"ucap Reyhan pelan dengan nada sinis.
"Apa lo bilang tadi?"
"Hm? Gak ada."
Ardian menuangkan air di botol itu ke gelas - gelas kecil. Lalu mengambil beberapa bungkus rokok di dalam plastik. Sedangkan Allex sedang asik dengan radio usang yang sudah lama terletak di rumah itu. Ntah bagian apa yang ia perbaiki, suka - suka dia.
"Lex, ayo?"ajakan Ardian membuat Allex menoleh. "Bentar, dikit lagi selesai!"Allex terus memukul radio tua itu hingga benda usang itu mengeluarkan bunyi keras.
"Akhirnya bisa juga lo rad - rad." Gumamnya. "Ngomong sama siapa lo Lex? Radio? Pliss lha Lex, gue gak mau punya temen gila,"kesal Reyhan.
"Gue gak gila njir!!"elaknya merasa tidak terima. Kemudian ia ikut mendudukan diri di dekat ketiga temannya. "Habisnya, radio lo ajak ngomong."
"Kerasin sikit lha volumenya!"titah Vino seenaknya. Allex mendengus pelan, "Lo lha yang berdiri gue sudah PW."
"Idih Vin kayak emak - emak aja lo, sok - sok PW-an."
"Bangsat lu nyet!!"
Ardian hanya menatap datar ketiga temannya. Ardian yang paling pendiam dan tidak banyak bicara. Tetapi kalau sudah marah Ardian juga yang paling menyeramkan. Menurut Allex, Ardian adalah orang yang sangat tidak pandai dalam mengontrol emosinya.
Pernah sekali Allex tidak sengaja menjatuhkan ponsel kesayangan Ardian ke dalam genangan air. Dan saat itu juga Allex mendapatkan hadiah berupa hiasan wajah yang bukan main rasa sakitnya, mana peduli di depan umum atau tidak.
Itu menjadi kenangan buruk untuk Allex, dan setelahnya Ardian mendiamkan dirinya selama satu minggu lebih. Ah sudahlah, mengapa jadi bahas itu. Sekarang mereka harus menyelesaikan party menyenangkan ini.
"ARVA!!!!"Vino mengangkat gelas yang sudah terisi dengan minuman serta putung rokok sudah di selip diantara jarinya. Tunggu dulu, Apa itu ARVA?
ARVA itu sebutan untuk komplotan mereka. Ardian yang membuat nama aneh itu. Jadi, kalau orang - orang kerepotan manggil nama mereka satu persatu manggilnya pakai nama kelewat aneh itu saja.
Tingg
Bbb Semua gelas milik masing - masing menyatu dengan gelas lainnya. Merayakkan malam itu dengan sangat bahagia tanpa ada rasa beban. Lambat laun minuman alkhohol itu mulai menguasai tubuh mereka.
♡♡♡
Pagi yang cerah, di sambut semangat dari suara kicauan burung saling saut - sautan. Mentari pagi mulai naik dari ufuk timur. Seorang lelaki masih enggan untuk beranjak dari kasur king size miliknya. Bau alkhohol menguak di ruangan serba putih itu. Ia tidak melepas sepatu atau berganti pakaian sejak malam tadi.
Ketika pulang Ardian langsung menghempaskan tubuh atletisnya ke kasur. Sejak malam tadi tubuhnya tidak bertukar posisi barang seinci. Ntah karena tubuhnya lemas atau karena terlalu kelelahan. Jadwal penerbangannya tepat pukul 03.30. Masih cukup waktu untuknya tidur beberapa jam lagi.
Drttt drrtttt
Dengan sialnya suara ponsel mengganggu tidur nyenyaknya. Jika ponsel itu ia ibaratkan sebagai manusia, mungkin ponsel itu akan berakhir mengenaskan. Decihan kuat keluar dari bibir tipis miliknya. Ardian menutup telinga dengan kedua tangan untuk menghindari suara yang telah menggangunya. Setelah itu hanya terdengar suara dengkuran halus.
Drrtt drrrtt
Getaran ponselnya kembali terdengar setelah beberapa menit sunyi. Dengan gerakan malas Ardian mengulurkan tangan, meraih ponsel miliknya yang berada di atas nakas. Kemudian jempolnya menggeser tombol hijau di layar.
"Ardian, kenapa telpon Mama tidak kamu angkat? Kamu tahu kan 3 jam lagi penerbangannya?"
"Iya Ma, Iyan tahu. Bentar lagi ya Ma Iyan masih ngantuk banget nih."ucapnya dengan nada serak, khas baru bangun tidur. Sang lawan bicara mendengus pelan mendengar alasan putra sulungnya.
"10 menit lagi kamu harus bangkit dari tempat tidur Iyan, habis itu siap - siap! Jangan lupa sarapan juga! Nanti Mama sama Papa yang jemput kamu di bandara. Hubungi Mama kalau pesawatnya udah mendarat ya sayang. Bye Iyan...."
"Bye Ma..."
Ardian kembali meletakkan ponsel miliknya di atas nakas. Kemudian ia bangkit dari tempat tidur, merasakan kepalanya sedikit pusing Ardian memijat pelan kepalanya guna menghilangkan rasa pusing itu. Ia tahu ini akibat alkhohol yang ia konsumsi malam tadi bersama ketiga temannya. Tapi biarlah sebentar lagi juga pasti hilang pusingnya. Sudah terbiasa untuk Ardian.
Ardian membawa tubuhnya memasukki kamar mandi untuk membersihkan diri.
Pemuda itu memikirkan bagaimana nanti jika ia bertemu dengan adiknya? Apakan ia bisa menerima bocah berusia 5 tahun itu?
Pasti anak umur segitu sangat nakal dan susah di atur. Ibunya pasti kewalahan mengurus bocah nakal itu. Awas saja kalau kedapatan Ardian, anak itu membuat Ibunya marah dan mengganggu ketenangannya.
♡♡♡
Matanya memperhatikan banyak orang yang berlalu - lalang di hadapannya. Wajar saja bandara sangat banyak di penuhi oleh manusia. Mulai pekan depan sudah masuk waktu libur panjang. Banyak keluarga yang memilih liburan di luar kota atau ke kampung halaman mereka. Begitu pun juga Ardian.
Ardian sudah selesai check in, sekarang tinggal menunggu informasi selanjutnya. Pemuda itu meraih ponsel yang berada di saku jaket. Hanya memeriksa apakah ada notifikasi masuk atau tidak. Merasa tidak ada notifikasi apapun ia kembali memasukkan benda pipih itu kedalam saku jaket.
"Para penumpang pesawat xxxx penerbangan Jakarta-Bandung harap segera memasuki pesawat sekarang, Sebentar lagi pesawat akan lepas landas."
Ardian segera menyandang tas ransel yang ia bawa, kemudian berlari kecil agar segera sampai.
Membawa dirinya memasuki pesawat, lalu ia melihat tiket pesawat di genggaman tangannya. Bangku 8F, mengedarkan pandangan mencari kursi itu. Setelah ia rasa menemukannya, Ardian memasukan tas ransel yang ia bawa ke dalam bagasi kemudian mendudukkan diri di bangku yang tidak terlalu belakang ataupun depan itu.
Pemuda itu membuang hembusan nafas kuat, ia bisa melanjutkan tidur yang tadi sempat tertunda. Merebahkan tubuhnya kebelakang guna mencari posisi nyaman saat tidur. Mata indah miliknya terpejam damai, menikmati tidur malamnya yang sempat terpotong.
♡♡♡
"Mas bangun mas, pesawatnya udah mendarat. Mas...."wanita itu mengguncang tubuh Ardian pelan. Pesawat ini baru saja mendarat beberapa menit yang lalu. Wanita bertubuh gemuk ini kebetulan duduk disamping Ardian tadi, sekalian saja ia membangunkan.
Tetapi tidak ada respon dari Ardian, pemuda itu tetap diam dalam posisinya. Mungkin terlalu kelelahan, batin wanita itu.
"Maasss...!!"ia kembali melakukannya. Sepertinya berhasil, dilihat dari Ardian yang menggeliat kecil. Wanita gemuk itu tersenyum lebar. "Pesawatnya udah mendarat mas..."jelasnya setelah ia lihat kelopak mata itu terbuka.
Ardian mengusap wajahnya kasar, lalu membalas senyum wanita itu. Anggap saja sebagai tanda terimakasih dari seorang berandalan sekolah. Setelahnya wanita itu pergi, Ardian mengacak surai coklat tuanya. Mengusap wajahnya kembali, lalu merogoh saku jaket miliknya mencari benda pipih yang berfungsi sebagai alat komunikasinya.
Kakinya melangkah keluar pesawat seraya melihat ponsel, mencari kontak ibunya. "Halo Ma, Iyan udah sampai. Mama dimana?"ucapnya setelah ia rasa panggilan itu tersambung.
"Mama di pintu Timur sayang, Mama gak bisa masuk....ramai banget ini duh.....aduh mbak pelan - pelan dong mbak....jangan dorong - dorong...Halo Iyan Mama tunggu ya di pintu Timur ya sayang...Mama tutup ya Iyan...."
Setelah panggilannya terputus Ardian sedikit memepercepat langkahnya, tidak perduli dengan umpatan banyak orang yang ia tabrak. Ardian hanya tidak suka merepotkan Ibunya, pasti Ibunya kewalahan menunggunya di depan.
Ia semakin mempercepat jalannya, kemudian berbelok ke kanan. Membawa tubuhnya ke pintu yang Ibunya sebutkan tadi. Ramai orang berdesak - desakkan untuk menjemput keluarga masing - masing. Mata elangnya mencari - cari keberadaan ibunya. Seseorang di sana, Ibu Ardian melambai saat ia mendapati putra sulungnya. Ardian mengangguk singkat, kemudian berlari dimana Ibunya berada.
Ardian berhambur kedalam pelukan sang Ibu, setelah hampir setahun tidak bertemu. Melepas kerinduan seorang anak pada Ibunya. "Iyan kangen Ma,"gumamnya masih dalam posisi yang sama. Sang Ibu mengusap - usap punggung putranya dengan lembut.
"Iyan kayak anak kecil ih....nangis,"goda sang Ibu diikuti kekehan kecil.
"Mana ada Iyan nangis...."rengeknya dengan nada menggemaskan. Jika dilihat Ardian ini memiliki perilaku sedikit manja jika berada di dekat orang tuanya. Pemuda itu terbiasa saat kecil dimanja oleh kedua orang tuanya. Jika teman -teman sekolahnya yang lain melihatnya seperti ini pasti mereka tidak percaya kalau pemuda tampan berusia 16 tahun ini 'berandalan sekolah' yang menakutkan.
"Papa mana Ma?"tanyanya setelah pelukan itu terlepas. "Papa tadi izin ke toilet sih, tapi belum balik - balik. Nahh.....itu Papa...!!"tunjuk Ibu Ardian kepada seorang lelaki paruh baya yang sedang berjalan kearah mereka.
Pria setengah tua itu terlihat sangat berwibawa, dilihat dari cara berpakaian dan cara berjalannya. Jika di teliti lebih dalam garis rahang dan tulang hidung tingginya sangat mirip dengan sang putra.
Sang Ayah merentangkan kedua tangannya, langsung saja pemuda itu berlari memeluk sang Ayah. "Jagoan Papa sudah besar rupanya hm...?"
"Sudah dong Pa..Masa kecil terus..."jawab Ardian membuat kedua orang tuanya tertawa kecil.
"Ayo kita pulang,"ajaknya mendapatkan anggukan dari suami dan putranya.