Tak banyak yang ia ceritakan kepada orang tuanya tentang keadaannya di sekolah. Ardian hanya menjawab seadanya apa yang di tanyakan kedua orang tuanya. Selama perjalanan Ardian memainkan ponsel dan membalas pesan dari ketiga temannya. Tuan Alana fokus menyetir sedangkan Nyonya Melly sibuk dengan tablet di genggamannya.
Ardian tersenyum tipis membaca grup chat mereka yang konyol, menurutnya. Biasalah Reyhan, suka mengawur tanpa sebab. Terkadang Ardian memikirkan tentang, kenapa ia bisa bertemu dengan Vino, Alex dan Reyhan? Mereka bernasib sama, walau nasibnya tidak separah ketiga temannya.
Merasakan percakapan sudah tidak penting, Ardian mematikan ponselnya. Memasukkan benda pipih itu kembali ke dalam saku jaket kemudian pandangan miliknya ia jatuhkan ke luar jendela. Memperhatikan setiap gedung yang di lewati. Tidak banyak yang berubah di kota ini menurutnya, walau sudah berlalu 5 tahun tetapi semua masih tetap sama. Mobil di kendarai Tuan Alana berhenti perlahan, lampu bertiang tinggi itu menunjukkan warna merah.
Ah di sana, taman mini dengan peralatan bermain yang lengkap. Ardian ingat sekali dulu saat ia masih berumur 6 tahun, merengek meminta bermain di luar dengan Ayahnya. Tuan Alana selalu mengajak ia dan Ibunya bermain di taman itu. Ardian selalu merengek dan menangis meminta perhatian dari orang tuanya yang sibuk bekerja. Walau harus meninggalkan pekerjaannya sebentar, keduanya selalu menyediakan waktu untuk putra sematawayang mereka.
Lama Ardian menatap taman itu sampai Ibu Ardian menyadari kemana arah tatapan putranya. Sang Ibu tersenyum, "Masih ingat taman itu Iyan?"
Ardian menoleh ke arah sang Ibu lalu mengangguk singkat dilengkapi senyum manis. "Tamannya sempat di renofasi, kapan -kapan kamu main kesana nak."
"Boleh juga."
♡♡♡
Ardian menatap rumah besar yang sudah ia tempati sejak kecil. Rumah yang ia tinggalkan sejak 5 tahun yang lalu. Sedikit ada perubahan dari segi penataan bunga - bunga hias di teras.
Rumah dengan warna putih dan coklat yang mendominasi. Air pancur yang mengalir di teras, lapangan basket di samping kiri sengaja Alana buat untuk sang putra. Asal kalian tahu Ardian itu sangat jago dalam bermain basket di sekolah. Biasanya para kaum hawa akan berteriak histeris ketika melihat Ardian bermain basket. Keringat yang mengalir akan membuat ketampanannya bertambah dua kali lipat. Belum lagi cara bermainnya yang keren dan cool. Nah, cara bermainnya itu Ardian dapat dari Papanya ini.
"Ayo masuk?"ajak Alana kepada sang putra. Ardian mengangguk pelan sebagai jawaban. Ketika pintu utama di buka oleh para pelayan Ardian dapat melihat seluruh isi rumahnya.
Ardian dapat melihatnya, mading berwarna wijau itu terletak di sebelah kiri bersebelahan dengan meja belajarnya waktu kecil. Dulu sekali, Ibunya sangat rajin menempelkan hasil gambarannya saat ia masih Taman kanak - kanak.
"Rakaaa..."Ardian menoleh ke arah sumber suara, Alana sang pelaku memanggil nama seseorang yang tak ia kenal. Mungkin pembantu baru di rumah ini pikirnya.
Tak lama dari teriakan itu menggema, seorang bocah berlari kecil menuruni anak tangga. Kaki kecilnya yang mungil mempercepat langkahnya ketika pandangannya bertemu dengan Alana.
Ardian merasa heran, ia tidak kenal dengan bocah ini. Berbagai pertanyaan memenuhi pikiran Ardian. Keningnya terus terlipat kecil memperhatikan anak kecil yang dipanggil oleh Alana tadi.
Alana tersenyum lebar, lalu mengacak surai kecoklatan milik bocah kecil itu. Si kecil kegirangan melihat kepulangan orang tuanya yang sudah ia tunggu sedari tadi.
"Mama-Papa udah pulang? Kata bibi Mirah, Mama sama Papa mau libur 3 hari ya?"tanya si kecil dengan pandangan mata penuh harap kepada Alana dan Melly.
Melly berjongkok menyamai tingginya dengan bocah kecil itu. Meraih bahu si kecil kemudian menatap sang putra bungsu lengkap dengan senyum, "Aka mau main sama Mama-Papa ya? Hmm...?"si kecil mengangguk antusias. "Oke, besok kita main ya..... tapi sebelum itu Aka kenalan dulu sama Abang Aka,"bocah kecil itu menatap Ibunya dengan tatapan tidak mengerti yang justru terlihat polos.
"Abangnya Aka?"tanyanya lagi dengan wajah polos yang menggemaskan. Sang Ibu tertawa gemas melihat tingkah putranya. Melly mengangguk meyakinkan, lalu menatap Ardian yang hanya diam sedari tadi masih tak mengerti dengan keadaan sekitarnya.
"Mama yakin kamu udah dewasa buat memahami semuanya, dan bisa untuk menerima Raka."Ardian masih diam, tubuhnya mematung mendengar penjelasan dari sang Ibu.
"Ayo Aka,"pinta sang Ibu. Si kecil mengangguk ragu, ia takut melihat wajah dingan Ardian. Raka memberanikan diri mengulurkan tangannya walau sedikit gemetar, "N-nama panjang Aka, Raka Alana putra. A-abang bisa manggil Aka a-aja,"ucap Raka memperkenalkan dirinya.
Ardian tidak membalas uluran tangan adiknya dan hanya menatap dingin kearah si kecil. Alana geleng - geleng kepala melihatnya, sepertinya ia harus merencanakan sesuatu agar Ardian mau menerima kehadiran Raka. Akan ia bicarakan dulu dengan sang istri nanti.
Merasa tidak mendapat balasan, Raka menarik kembali lengannya. Kepalanya ia tundukkan, semakin takut melihat tatapan dingin Ardian. Melly mendengus pelan, memberikan tatapan memohon kepada putra sulungnya. Ia tidak tega melihat Raka ketakutan seperti ini.
"Ardian Alana putra, panggil aja Iyan."jawabnya dengan terpaksa. "Ma-Pa Iyan ke kamar,"pamitnya, setelah itu melenggang pergi meninggalkan kedua orang tuanya dan Raka.
Alana mengembangkan senyumnya, lalu menyamai tingginya dengan si kecil. Tangannya terulur untuk mengangkat kepala si bungsu yang terus menunduk sedari tadi. Menatap iris mata Raka, "Mungkin abanya Aka belum terbiasa, jangan sedih ya? Semangat!!"seru Alana meyakinkan putra bungsunya dan berusaha menghiburnya. Dan berhasil, Raka tersenyum mengerti lalu menganggukkan kepala lucu. Ah, menggemaskan sekali.
"Balik ke kamar, tidur siang Aka,"titah sang ibu, Raka menuruti perintah Melly dan mulai berjalan ke kamarnya.
Sekarang hanya tinggal Melly dan Alana di ruang tamu, Alana menatap sang istri kamudian merangkul pinggang langsing Melly. "Kayaknya harus buat ide deh sayang buat satuin mereka, gimana?"sarannya penuh ke-khawatiran.
"Setuju sih, tapi gimana caranya?"Melly bertanya balik pada suami.
"Kayaknya aku punya ide deh sayang."
♡♡♡
Ardian membaringkan tubuhnya di atas kasur tanpa melepas sepatu terlebih dahulu. Menatap langit - langit kamar, bingung dengan semua yang terjadi. Pasti akan merepotkan sekali 2 minggu disini. Saat orang tuanya pergi bekerja ia harus mengurus adiknya.
Ah kan ada pengasuhnya, jadi ia tak repot kan? Kalau bocah itu merengek atau menangis kencang, mengganggu ketenangannya bagaimana? Awas saja kalau sampai terdengar tangisan ata rengekan dari bocah nakal itu, ia akan langsung menyumpal mulut bocah itu, saat itu juga.
Ardian tak ingin mengambil pusing semuanya, biarlah berlalu pikirnya. Ardian meraih ponselnya membuka grup chat mereka. Sudah sangat penuh dengan obrolan tidak penting dari Allex,Vino, dan Reyhan. Suka ngawur tidak jelas.
Terkadang ia berpikir, Berandalan sekolah seharusnya menakutkan kan ya? Tapi sikap mereka malah seperti anak TK sedang bertengkar. Yah, walau sih sikap itu hanya saat mereka berempat saja. Jadi orang lain tidak tahu bahwa geng Berandalan sekolah ini gesrek-gesrek otaknya. Jemari Ardian menscroll percakapan grup sampai bawah.
Berandalan gesrek:
Reyhan: Abang Iyan, kayak mana adik barunya? Ganteng?
Allex: Oh iya Iyan, gimana? Udah sampai di rumah lo kan?
Pasti adek lo merengek terus ya? Atau lo di suruh ganti pempesnya adek lo? Sabar ya Iyan, Fighthing!!
Vino: Gimana Iyan? Mana sih nih anak menghilang muluk.
Ardian Alana putra anak bapak Alana!!
Ardian: Berisik!!
Allex: Nah baru muncul nih anak.
Ardian: kalian dimana?
Vino: gue rumah nyokap.
Allex: Gue di rumah nenek, males gue pulang. Mereka berantem muluk, panas kuping gue dengernya. Mending gue di rumah nenek kan ya? Adem tentram.
Reyhan: Gue di rumah, kenapa?
Ardian: Gue suntuk nih di rumah,
Vino: Lah mau kayak mana? Kita beda kota cuy.
Ardian mendengus pelan, benar juga yang dikatakan Vino. Mereka berbeda kota. Ardian lebih memilih mematikan ponselnya lalu memejamkan mata guna beristirahat sebentar.
♡♡♡
Sudah memasukki waktu malam, Ardian masih tetap betah tertidur. Seluruh anggota keluarganya sudah siap - siap untuk makan malam. Melly membantu para pelayan menyiapkan makan malam. Kapan lagi ia bisa memasak untuk keluarganya. Terlalu banyak pekerjaan yang harus ia hadapi, membuat Melly jarang sekali mengurus keluarganya.
Kadang ia merasa bersalah karena tidak bisa menjadi istri ataupun Ibu yang baik untuk suami dan anak - anaknya. Tapi ia bekerja juga untuk keluarganya. Untung saja suami dan putra - putranya mau mengerti keadaannya. Ia bersyukur memiliki keluarga yang mau mengerti keadaannya.
"Rina, tolong panggilkan yang lain,"titahnya tanpa beralih dari acara 'memasak' nya. "Baik Nyonya,"patuh Rina kemudian menjalankan tugasnya.
Rina, sang pelayan berjalan ke kamar Ardian. Mengetuk pintu ber-cat coklat tua itu. "Tuan Ardian, saatnya makan malam tuan,"panggilnya dengan sangat sopan. Tidak ada respon dari dalam, membuat Rina kebingungan harus bagaimana memanggilnya. Kalau masuk tidak sopan, "Tuan Ardian, makan malamnya sudah siap."panggilnya sekali lagi.
"Iya."jawaban seseorang dari dalam membuat Rina bernapas lega. Pelayan itu meninggalkan kamar Ardian lalu berjalan ke kamar Raka.
Pintu kamar si kecil di biarkan terbuka, terlihat ia sedang asik belajar menghitung menggunakan jari tangannya. Terlihat menggemaskan, Rina tersenyum melihat tingkah anak majikannya satu ini.
Tok tok tok
"Tuan muda boleh Mbak Rina masuk?"tanya Rina. Si kecil menoleh, mengagguk antusias, tak lupa senyum manisnya.
"Tuan muda ngapain? Belajar?"tanya Rina lagi berniat basa - basi. Raka mengangguk kecil, tetap melakukan kegiatan sebelumnya. "Tuan muda makan malamnya sudah siap ayo turun? Mama Melly sudah nunggu di bawah," Rina menjelaskan tujuan awalnya. "Belajarnya di lanjutin nanti boleh? Makan malam dulu, Mama Melly yang masak loh?" Si kecil menoleh dengan bersemangat.
"Mbak Rina gak bohong? Mama yang masak?"tanya Raka, membuat Rina mengangguk meyakinkan. "Ayo turun Mbak Rina?"ajak si kecil menarik - narik lengan Rina bersemangat.
♡♡♡
Seluruh anggota keluarga di rumah mewah itu sudah berkumpul di meja makan. Sudah terlihat lengkap sekarang. Ardian mengambil posisi di sebelah Alana sedangkan Melly di samping si kecil. Raka tak berhenti tersenyum bahagia sejak turun dari kamar tadi, saat mengetahui fakta bahwa Ibunya yang memasak.
Iya sampai bertanya beberapa kali kepada Rina saat berjalan menuju dapur tadi. Merasa tidak percaya kalau Ibunya yang memasak makanan malam ini. Rina dengan sabar menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan si kecil.
"Aka senang Mama yang masak,"antusias si kecil. Melly tersenyum menanggapi, Ardian hanya diam memperhatikan.
"Aka senang?"Raka menganggguk semangat. Keluarga lengkap itu memulai makan malam mereka dengan keheningan. Itu yang selalu di ajarkan Alana kepada kedua putranya, tidak banyak bicara saat sedang makan.
Satu persatu dari mereka menyelesaikan makan malam. Alana sudah memberi tahu kepada istri dan kedua putranya, bahwa ada yang ingin ia bicarakan setelah makan malam selesai. Jadi, tidak ada satupun yang beranjak dari kursi setelah makan selesai.
"Jadi Papa mau memberitakan hal mendadak sekali,"Alana memantapkan keputusan yang sebelum sudah ia rencanakan dengan sang istri.
"Papa sama Mama mendapatkan panggilan mendadak dari cabang kantor di Banten, mendengar kabar di sana terjadi masalah yang cukup besar. Tidak bisa ditangani oleh kepercayaan Papa di sana. Jadi, Papa sama Mama yang harus kesana."jelas Alana panjang lebar. Ia dapat melihat raut kecewa dari Raka. Bocah itu menunduk, merasa sedih dengan kabar yang di dengarnya.
Alana sebenarnya tidak tega melakukan hal ini, ini demi menyatukan kedua putranya. Alana merasa bersalah sekali dengan si kecil, tadi siang ia begitu antusias melihat kepulangannya dan sang istri. Sangat bahagia saat mendengar kabar bahwa Alana dan Melly akan libur tiga hari. Ia malah membuatnya kecewa.
Melly menyentuh lengan si kecil dengan lembut, Raka merasakan sentuhan lembut itu. Melly menatap putra bungsunya dengan rasa bersalah. "Maafin Mama ya Aka, gak bisa temanin Aka main liburan kali ini."sesal sang Ibu. Melly khawatir si bungsu akan marah dan kecewa mendengar semua ini.
Raka menggeleng pelan, dan berusaha tersenyum di depan Alana dan Melly. "Gak pa-pa kok Ma, Aka bisa main sama Mbak Mirah."si kecil mencoba meyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia tidak keberatan dengan ini. Ia mengerti keadaan orang tuanya, toh Alana dan Melly melakukan ini juga untuk dirinya.
Melly mendekap tubuh mungil putra bungsunya dengan erat. Menyalurkan kasih sayang besar dalam pelukan itu. Ia bahagia punya anak sebaik Raka dan mau mengerti keadaannya. Walau Raka masih kecil ia bisa berpikir layaknya orang dewasa.
Ardian masih saja diam, ia bingung harus bagaimana. Ia hanya diam melihat kejadi di hadapannya sekarang. Ia heran dengan bocah yang ada dalam pelukan Ibunya itu. Bisa begitu menerima semuanya. Padahal ya, kalau boleh jujur ia dulu selalu merengek dan menangis meminta orang tuanya untuk menemaninya bermain. Tapi bocah ini mau mengerti semuanya tanpa ada tangisan atau pun rengekkan.
"Aka gak pa-pa Mama-Papa tinggal sendiri di rumah?"tanya Melly dengan nada khawatir.
"Gak pa-pa Ma,"Raka kembali mencoba meyakinkan sang Ibu.
"Ardian kamu harus bisa jaga Raka, selama Mama-Papa gak ada di rumah."
"Aka udah kebiasa sendiri kok Ma, gak perlu di jagain."
Melly menggeleng pelan, "Abang Iyan akan jaga Aka, Abang Iyan mau kan?"
"Iya Ma,"jawab Ardian terpaksa.