Nakula masih memandang dengan penuh pengharapan ke arah Liffi. Nakula menunggu jawaban Liffi dengan debaran yang tak terdeskripsikan. Baru kali ini ia begitu berdebar hanya karena menunggu sebuah jawaban cinta dari seorang gadis. Nakula berharap Liffi menerimanya karena memang Liffi adalah mate-nya.
Kumohon jangan tolak aku, pikir Nakula dalam hatinya.
Liffi masih tercengang dengan pertanyaan Nakula. Tak menyangka bahwa Nakula akan memberikan pertanyaan yang begitu to the point padanya. Liffi sendiri juga kebingungan, kalau memang benar mereka juga mate, berarti Nakula harus berbagi dirinya dengan Sadewa? Dan Liffi pun harus hidup di antara dua orang pria? Bukankah hal itu adalah sesuatu yang tabu dikalangan masyarakat?
"Em... Naku, kenapa kau begitu yakin aku adalah mate-mu?" Liffi kembali bertanya, ia menghentikan proses makannya.
"Sudah aku bilang, Liffi. Aku merasakannya aku mengenali aromamu, aroma yang begitu manis untukku. Tak ada wanita lain yang punya aroma mate selain dirimu," jawab Nakula.
"Kau yakin itu bukan karena parfum yang ku pakai?" Liffi masih terus bertanya.
"Aku bahkan sembuh setelah berciuman denganmu. Hanya kekuatan mate yang bisa menguatkan jiwa seorang werewolf, Liffi." Nakula mendekatkan wajahnya.
"Aku..." Liffi teringat ciumannya dengan Nakula malam itu. Memang benar dia sangat tertarik dengan aroma dan rasa manis dari bibir Nakula. Vanila yang manis dan memikat, Liffi begitu terbius sampai membalas ciumannya begitu dalam.
"Aku betul-betul menyukaimu, Liffi. Cobalah menerimaku sebagai mate-mu. Karena memang itulah kenyataannya." Nakula menggenggam tangan Liffi.
"Maafkan aku, Naku. Aku sudah punya pacar, dan aku tak mungkin mengkhianatinya." Liffi bangkit dan menyahut tasnya meninggalkan Nakula.
Nakula menjambak rambutnya pelan. Biasanya mate begitu terikat dan tertarik antara satu dengan lainnya. Kenapa Liffi tidak? Apakah benar kejadian malam itu hanya sebuah kebetulan? Atau bukan karena Liffi ia sembuh? Mungkinkah belum tentu Liffi adalah mate-nya?
oooooOooooo
Liffi berjalan melintasi jalanan sepi menuju ke apartemennya. Hatinya terasa begitu aneh, ada rasa penyesalan yang sangat dalam saat melihat Nakula bersedih. Sebelum Liffi meninggalkan restoran ia memang sempat menoleh sepintas ke arah Nakula. Nakula tampak kecewa dan sedih.
"Harusnya aku tidak goyah, harusnya hatiku tidak sakit, tapi kenapa sesakit ini?" Liffi menggenggam erat baju di depan dadanya yang terasa perih.
"Apa aku sudah gila?! Mencintai dua orang secara bersamaan??!" Liffi berjongkok, benar-benar rasa yang menyesakkan ini sangat menyiksa batinnya.
"Jangan galau, Liffi, kau sudah punya Sadewa!! Jangan menyakitinya." Liffi kembali bangkit dan berjalan pulang.
"Liffi!" Suara panggilan Sadewa terdengar.
"Sadewa? Kenapa kau kemari malam-malam?" Liffi kaget melihat kehadiran Sadewa di depan apartemennya.
"Aku merindukanmu. Kesibukanku di kantor dan penyelidikan tentang werewolf itu, membuatku tak bisa menghubungimu." Sadewa langsung memeluk tubuh Liffi, membuat hati Liffi merasa jauh lebih nyaman.
"Aku juga merindukanmu...." Liffi memejamkan matanya, menikmati aroma white musk yang keluar dari balik outfit Sadewa.
"Kau dari mana saja? Ponselmu tak bisa ku hubungi?"
"Ah... maaf batrenya habis. Aku dari kampus." Liffi melepaskan dekapannya, ia berbohong. Tak mungkin Liffi berkata pada Sadewa ia baru saja bertemu dengan pria lain. Bertemu pria yang sama-sama mengaku sebagai mate-nya.
"Aku takut ada apa-apa denganmu." Sadewa mengelus rambut hitam sebahu milik Liffi.
"Ayo masuk, kita bicara di dalam." Liffi menggandeng Sadewa masuk ke dalam kamarnya. Sadewa mengangguk setuju dan mengikuti kemana pun langkah kaki gadis itu membawanya.
Sadewa langsung menggendong tubuh Liffi begitu pintu tertutup, "Aku sangat merindukanmu."
"Tunggu, Sadewa!! Aku mandi dulu." Liffi terkikih geli dengan ciuman Sadewa yang bersarang di lehernya.
Sadewa melepaskan Liffi kali ini, ia mengijinkan gadis itu mandi terlebih dahulu sebelum mengajaknya bercinta. Uap air panas menyalurkan aroma Liffi yang kuat membuat Sadewa tak mampu menahan hasratnya.
"Ah, brengsek!" Sadewa mengumpat pada dirinya sendiri. Tak mampu mengendalikan dirinya yang terbuai pada feromon manis milik mate-nya itu. Sadewa melepaskan bajunya dan menyusul masuk ke dalam.
"Hei!!" teriak Liffi.
"Sorry, baby, I can't wait!"
Protesan Liffi dihentikan dengan ciuman oleh Sadewa. Liffi akhirnya mengalah, menikmati cumbuan demi cumbuan dan belaian hangat dari Sadewa yang mengajaknya bercinta di kamar mandi.
"Aku sudah membeli sebuah apartemen mewah, tak jauh dari kampusmu." Sadewa menikmati guyuran air hangat yang keluar dari shower.
"Kenapa?" Liffi bertanya, ia masih melingkarkan lengannya pada leher Sadewa.
"Untukmu, pindahlah ke sana." pinta Sadewa.
"Uhm..." Liffi melengguh saat Sadewa menggigit pelan pundaknya.
"Pindahlah, Liffi. Apartemen ini terlalu sempit dan kecil."
"Ng... Ah... No, Sadewa, aku suka di sini." Liffi menolak.
"Kenapa?" Sadewa kaget.
"Uhm ... aku sudah nyaman tinggal di sini, Sadewa, aku juga sudah mengenal lingkungannya. Dan juga, semua ini milikku sendiri. Mengingatkanku siapa diriku." Liffi masih menolak tawaran Sadewa untuk pindah.
"Kau akan menjadi istriku bukan? Kau mate-ku Liffi." Sadewa mengencangkan pelukannya dan mengangkat Liffi ke pangkuannya dalam sekali sentakan.
"Hee?? Menikah?!" Liffi kaget, ia bahkan belum berpikir ke arah sana.
"Tentu saja, setelah semua masalah ini berakhir kita harus menikah."
"Aku sama sekali belum berpikir sampai ke sana Sadewa, argh..." Liffi menahan perihnya gesekan yang terjadi di bawah sana. Pemikiran tentang menikah saja belum masuk ke dalam otaknya, apalagi menikahi seorang werewolf.
"Aku mencintaimu, Liffi. Dan aku pasti menikahimu, siap atau tidak siap." Sadewa berbisik di telinga Liffi, menyiratkan hasrat dan kepemilikkannya pada gadis itu.
Liffi menutup matanya, memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini? Liffi hanya ingin menjalani kehidupan normal, menyelesaikan kuliahnya dan pulang kembali ke Indonesia.
Liffi mengakui bahwa ia begitu mencintai Sadewa. Tapi benar-benar semua ini di luar pemikirannya. Membayangkan bagaimana kehidupannya kelak setelah menikahi seorang werewolf? Bagaimana ia bisa menjalaninya? Liffi hanya manusia biasa.
"Aku mencintaimu, Liffi." Sadewa mengulum lembut bibir Liffi, melumatnya dengan penuh gairah. Liffi sepintas melupakan lamaran dari Sadewa dan memilih untuk menikmati aroma citrus yang mulai mengambil alih kesadarannya itu.
"Argh!!!" rancau Liffi, merasakan kenikmatan yang diberikan oleh Sadewa.
ooooOoooo
"Ini ambillah." Sadewa memberikan beberapa kartu tanpa limit pada Liffi.
"Apa ini?" Liffi tercengang.
"Kalau kau tak mau pindah, setidaknya belilah beberapa barang yang kau butuhkan, Liffi." Sadewa memakai kembali bajunya.
"Oh ... aku tak memerlukannya, Dewa. Aku tak bisa memakai uangmu." Liffi kembali menolak.
"Simpan saja. Kau pasti akan membutuhkannya. Pakai berapa pun yang kau butuhkan." Sadewa berjongkok di depan Liffi, menggenggam erat tangannya.
"Aku bukan tipe wanita yang suka menghamburkan uang dari pacaranya." Senyum Liffi.
"Aku tahu. Sudahlah, pakai saja." Sadewa bangkit dan mencium kening Liffi.
"Kau mau pulang?"
"Iya, Ayah memanggilku."
Liffi melepas kepulangan Sadewa dengan seulas senyum manis dan kecupan ringan.
oooooOooooo
Hallo, Bellecious
Jangan lupa vote ya 💋💋
Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️
Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana