"Kamu hari ini pulang cepat kan?" tanya Daniel sambil memakai sepatu sekolahnya.
"Iya, kenapa?"
"Kakak ga mau lihat ada makanan makanan itu di atas meja!"
"Ih, kenapa sih? Kan kakak bisa makan juga!"
"Kalo nanti masih ada waktu kakak pulang, kakak buang semua makanan itu," ancam Daniel.
Suasana di sekolah hari ini cukup damai dan tentram. Kolam renang yang kemarin dibersihkan Daniel dan Erick sudah digunakan kembali untuk aktivitas belajar mengajar. Erick kembali menemui Anna di kelasnya untuk bertanya apakah Anna sudah baik-baik saja.
"Kayaknya kamu ada salah makan deh, waktu kita makan di toko Paman Dodo. Ya kan?"
"Aku ga terlalu perhatikan apa yang masuk ke mulutku. Semua makanan di sana enak-enak. Apalagi gratis, dua kali nikmatnya," jawab Anna.
"Kamu perlu ke dokter, supaya tahu kamu alergi apa,"
"Iya, kapan-kapan aja."
"Baiklah, aku ke kelas dulu ya. Kalau ada apa-apa bilang ke aku,"
"Iya. Bawel banget kayak kakak," jawab Anna sebal.
"Ada hal yang mau aku tanya. Kamu ga pernah mau jawab," tanya Erick.
"Apa?"
"Kenapa kamu ga panggil aku kakak? Aku kan dua tahun lebih tua dari kamu?" tanya Erick.
"Oh, maksud kamu sama dengan kakak aku, Daniel?"
"Ya, siapapun namanya,"
"Masih perlu jawaban?"
"Ya," jawab Erick berharap.
"Karena RAHASIA!!"
Teman-teman Anna kembali mendatangi Anna yang secara sengaja tadi memisahkan diri ketika Erick datang menghampiri Anna.
"Eh, Anna, kamu kenapa bisa dekat sekali dengan Kak Erick?" tanya salah satu teman Anna.
"Dia kan teman kakak aku,"
"Tapi, kakakmu dan kak Erick kan bermusuhan?"
"Siapa bilang mereka bermusuhan? Mereka justru bersahabat," ujar Anna.
Teman-teman Anna mengernyitkan dahi, karena apa yang mereka lihat selama ini berbanding terbalik dengan apa yang mereka lihat. Pada kenyataannya, Daniel dan Erick memang selalu bertengkar bahkan tidak segan degan untuk bermain tangan.
"Ann, bisa pulang sendiri kan? Tapi, jalan biasa lagi diperbaiki, kamu harus berkeliling lewat jalan kecil di belakang komplek," kata Daniel.
"Iya, aku tahu. Aku pulang duluan ya! Rajin rajin belajarnya! Ingat, udah kelas 3!"
"Udah sana pergi, dasar, anak kecil!"
Anna berjalan melewati jalan kecil di belakang komplek. Agak sunyi dan sepi. Jika memang jalan depan diperbaiki, seharusnya jalan ini agak terlihat ramai bukan?
Anna menepis pikiran negatif yang hendak menghampirinya. Anna mengambil headset dari tasnya, kemudian menyalakan musik dari ponselnya.
"Dik, kamu rumahnya di mana?" tanya ibu warung.
"Di komplek D, Bu," jawab Anna sambil memakan keripiknya.
"Oh, pantas saja, Ibu tidak pernah melihat adik,"
"Iya, Bu. Aku juga baru kali ini lewat sini. Biasanya lewat depan, cuma sedang perbaikan jalan,"
"Oh, hati-hati di jalan ya dik, di sini agak sunyi dan sepi,"
"Baik Bu."
Anna segera meninggalkan warung itu dan melanjutkan perjalanannya. Anna harus berjalan sedikit lebih jauh dari biasanya karena harus berkeliling komplek.
Tubuh Anna bergidik seperti merasa ada yang mengikutinya. Sekeliling Anna kini hanya ada pabrik kosong dan ilalang. Tak jauh dari tempat Anna berdiri, terdapat simpang yang bisa membuat kendaraan lalu lalang. Anna berpikir, bahwa ia harus berlari menuju keramaian itu untuk menghindari hal yang tidak ia inginkan.
"Jangan lari!!"
Anna terhenti.
Segerombolan anak laki-laki berseragam itu menghampiri Anna.
"Kamu memasuki daerah kekuasaan kami! Bayar biaya perjalananmu kepadaku!"
"Heh! Ini bukan jalan yang dibuat oleh nenek moyangmu!" balas Anna penuh semangat.
"Apa kamu bilang?!" salah seorang dari segerombolan itu menghampiri Anna.
"Ini bukan jalan nenek moyangmu! Ini jalan umum!" bela Anna.
"Haaahh, boleh juga anak ini! Anna. Nama yang cantik."
"Pergi kalian!"
"Kami? Pergi?"
"Iya! Kalian pergi!"
"Wah," anak anak itu tidak habis pikir dengan keberanian yang Anna miliki.
"Tangkap perempuan itu! Kita ambil semua apa yang dimilikinya! Sepertinya dia orang kaya," perintah salah satu anak laki-laki, kemungkinan dia adalah pemimpinnya.
"Baik Bos!" ujar anggotanya yang sedikit agak lemah.
Anna mengelak, berusaha melawan dengan sekuat tenaga. Hati kecilnya merasa takut, namun tidak ada pilihan selain membela diri karena ia kini sedang sendiri.
"Rick, kayaknya adik kelas yang sering kamu datangi itu sedang diganggu dengan anak preman dari sekolah lain," suara lelaki itu berbisik untuk menelpon Erick di balik pohon.
"Thanks bro, aku ke sana sekarang," jawab Erick.
"Jangan sampai Anna kenapa-napa," ujar Erick dalam hati.
Erick segera menancapkan sepeda motornya ke tempat di mana Anna berada. Melewati jalan kecil untuk menghindari kemacetan jalan raya.
Erick sampai dan melihat Anna yang kini tengah menangis dan terduduk menyaksikan isi tasnya dirogoh kasar oleh anak-anak berseragam itu.
"Jangan diambil, itu uang jajan aku," mohon Anna kepada anak anak itu.
Anna menangis karena uang jajan yang diambil anak-anak itu adalah uang yang ia sisihkan untuk membeli kado. Dua minggu lagi Daniel ulang tahun. Anna ingin memberikan kado yang spesial.
Erick kini telah berada di tempat kejadian. Melihat Anna yang menangis membuatnya semakin marah.
"Apa yang kalian lakukan!" teriak Erick sambil membanting helmnya.
Semua orang yang ada di situ mendadak menoleh menuju arah suara. Begitu lantang dan tegas.
"Ah, ada tawanan baru teman-teman. Hajar dia!"
"Berani sekali kalian mengganggu perempuan! Kalian ga lebih dari sampah!" Erick berteriak sambil memuluskan pukulan tangannya kepada anak-anak yang ingin melumpuhkan Erick.
Alhasil kalah. Ya, anak-anak itu yang kalah. Lima orang itu kalah tergeletak di jalan sambil meringis kesakitan. Kini hanya tinggal seorang pimpinan yang hanya bersembunyi di balik lima anggota yang lemah.
"Panggil semua teman-temanmu, akan aku Hajar kalian semuaaaa!!!!" Erick menampar anak itu sambil mengeluarkan sedikit darah di sudut bibirnya.
"Bangsat!" anak itu marah.
Erick tampak santai menghadapi anak itu. Sepertinya, anak-anak ini hanya preman, tidak memiliki seni bela diri dan hanya menganggarkan suara kuat saja.
"Sudah?" tanya Erick.
"Wah, kamu mempermainkan ku!"
Erick sudah tidak sabar lagi. Cukup meninju perutnya. KO
Erick segera menghampiri Anna yang menangis sambil mengumpul isi tasnya yang berceceran di jalan.
"Sudah, jangan menangis. Apa saja yang mereka ambil?" tanya Erick.
"Mereka mengambil uangku!"
"Ayo kita periksa satu satu. Kita ambil apa yang ada pada mereka,"
Anna mengangguk.
Uang itu semua ada pada anak yang terakhir menantang Erick. Erick mengambil semuanya dan menyerahkannya kepada Anna.
"Ini, sudah, jangan menangis lagi."
"Terimakasih."
"Mau aku antar pulang?"
"Boleh jika tidak menggangu waktumu."
"Ya sudah, ayo."
Anna kembali menangis. Bersyukur karena ada yang mau menolongnya dari segerombolan anak preman itu.
"Sudah, jangan menangis. Aku yakin, jika kamu melewati jalan ini besok, mereka tidak akan mengganggumu lagi,"
"Kamu yakin?"
"Ya, aku sangat yakin. Jadi jangan menangis lagi!" kata Erick sambil mengusap kepala Anna.
"Oke, kita akan meluncur ke rumah! Pegangan erat-erat!!"
⏭️