Chereads / The Other Side Of Him / Chapter 6 - ENAM

Chapter 6 - ENAM

Audrey mengambil tasnya tergesa-gesa dan langsung berlari menuju halte bus untuk pergi ke rumah Aldwin. Audrey tak bisa berpikir jernih setelah mendapat telpon dari Aldwin dengan suara yang terdengar kesakitan. Audrey tak peduli walaupun sudah tengah malam, yang ia pikirkan adalah semoga Aldwin baik-baik saja sampai ia datang. Tadi di telepon suara Aldwin seperti merintih menahan sakit dan memohon Audrey untuk cepat datang.

Audrey menekan kode pintu dengan tangan gemetar dan langsung meneriakkan nama Aldwin di dalam rumah. Karena tak mendapat jawaban, akhirnya Audrey menuju kamar Aldwin dan benar saja, Aldwin sedang duduk di sofa kamar sambil memegang perutnya yang penuh darah.

"yaampun.. Aldwin.. apa yang terjadi denganmu??" tanya Audrey panik sambil menekan dan menutup luka Aldwin supaya darahnya bisa berhenti. Aldwin sudah sangat lemas dan tak mampu menjawab. Audrey pun dengan cepat memapah tubuh Aldwin menuju mobil dan membawa ke rumah sakit terdekat. Selama mengemudikan mobil, Audrey tanpa sadar menangis sambil sesekali menoleh pada Aldwin yang kini tak sadarkan diri. Audrey sangat mengkhawatirkan keadaan Aldwin.

Audrey duduk di ruang tunggu IGD sementara dokter sedang menangani Aldwin. Audrey tak berhenti berdoa untuk keselamatan presdirnya itu, ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Aldwin.

"permisi.. Anda wali dari Aldwin Aloysius?" tanya seorang perawat dan diajawab anggukan kepala dari Audrey. Kemudian Audrey pun menuju ruang dokter untuk mendengar penjelasan. Beruntung luka robek di perut Aldwin tidak terlalu dalam sehingga tak melukai organ dalam. Hanya saja karena lukanya yang cukup lebar sehingga mengeluarkan banyak darah dan butuh dijahit cukup banyak. Namun tidak membahayakan keselamatan Aldwin. Audrey menghembuskan napas lega dan segera menuju Aldwin yang masih terbaring lemah namun sudah sadarkan diri.

Audrey menggenggam tangan Aldwin dengan masih gemetaran. Aldwin mengarahkan tangannya untuk mengelus pipi Audrey halus.

"kau menangis?" tanya Aldwin lirih. Audrey menatap Aldwin tanpa menjawab sama sekali.

"hey.. aku belum mati. Apa yang kau tangisi" lanjut Aldwin berniat untuk mencairkan suasana dan itu berhasil membuat Audrey tersenyum. Sebenarnya Audrey malu untuk mengakui kalau dia memang menangis, malu mengakui kalau ia sangat khawatir. Jujur saja.. selama 2 bulan ini, Audrey sudah mulai menikmati bekerja sebagai asisten Aldwin, dan ia merasa Aldwin juga pribadi yang menyenangkan.

"terimakasih kau sudah membawaku ke rumah sakit"

"kau yang bodoh. Terluka seperti itu bukan malah telpon 911 tapi meneleponku. Bagaimana kalau aku tadi tidak mengangkat teleponmu, bagaimana kalau aku sedang tidak dirumah, bagaimana kalau..." Audrey menghentikan kalimatnya karena air mata kembali memenuhi pelupuk matanya dan ia tak sanggup melanjutkannya.

"tapi kau datang.. kenyataannya kau datang dan menyelamatkanku, Audrey" sela Aldwin dan balas menggenggam jemari Audrey untuk menenangkan wanita yang sedang terisak itu.

Setelah beberapa saat, akhirnya Aldwin sudah diperbolehkan pulang namun tetap disarankan untuk beristirahat di rumah dan jangan terlalu banyak gerak karena itu akan membuat jahitan diperutnya rusak. Audrey mengemudikan mobil dalam diam dengan Aldwin disebelahnya.

Audrey bergelut dengan pikirannya sendiri, kenapa tadi di rumah sakit ia harus menggenggam tangan Aldwin? Kenapa ia membiarkan dirinya hilang kendali sampai berani menyentuh Aldwin? Kenapa ia membiarkan Aldwin tahu kalau dirinya sangat mempedulikan Aldwin?. Audrey menggelengkan kepalanya singkat untuk mengusir pikiran-pikiran itu dan berusaha fokus mengemudi.

"apa yang kau pikirkan, Audrey?"

Sial.. ternyata Aldwin sadar dengan sikap aneh Audrey.

"bukan apa-apa" jawab Audrey singkat walaupun mendapat tatapan penuh selidik dari Aldwin.

"kau tadi menggenggam tanganku" ucap Aldwin dan itu membuat Audrey spontan menginjak rem mobil membuat mobil dibelakang membunyikan klakson keras. Audrey berusaha menormalkan kembali situasinya dan berusaha meminimalkan wajah terkejutnya itu. Aldwin tersenyum singkat dengan tingkah Audrey yang salah tingkah.

"hey.. tak ada salahnya kan mempedulikanku?" tanya Aldwin berniat membuat Audrey lebih gugup lagi dan sudah pasti itu berhasil.

"Aldwin.. tadi itu hanya reaksi spontanku ketika melihat seseorang yang terluka" jelas Audrey lancar namun jelas merupakan sebuah kebohongan. Aldwin tak berkata apapun lagi, yang ia tahu hanyalah Audrey yang sangat mengkhawatirkannya dan itu membuat Aldwin bahagia.

Audrey membantu Aldwin dan membaringkan di ranjang kamar. Kemudian Audrey menuju dapur untuk membuat bubur walaupun dengan susah payah mengingat kemampuan Audrey yang buruk dalam memasak. Setidaknya Audrey harus melakukan sesuatu untuk membantu Aldwin.

'tok..tok'

Audrey membuka pelan pintu kamar Aldwin dan melihat pria itu sedang terbaring di ranjang dengan ponsel ditangannya. Audrey pun masuk dengan membawa nampan berisi bubur buatannya dan segelas teh hangat. Audrey mendudukkan diri disebelah Aldwin dan mulai menawarkan diri untuk menyuapi pria itu. aldwin pun memposisikan dirinya duduk dengan punggung bersandar pada ranjang.

"sebenarnya kau terluka karena apa?" tanya Audrey sembari menyuapi Aldwin pelan.

"kau yakin ingin tahu alasannya?" tanya Aldwin dan hanya dijawab dengan anggukan mantap dari Audrey.

"seseorang bersenjata menerobos masuk rumah dan menyerangku. Aku berusaha melawan tapi karena keadaan kamar yang gelap, jadilah perutku tergores oleh pisaunya" jelas Aldwin namun berhenti dan menatap Audrey mencoba menanyakan apakah ia perlu melanjutkan ceritanya. Audrey yang paham dengan maksud Aldwin pun kembali menganggukkan kepalanya.

"tapi orang itu pergi setelah aku mengatakan beberapa kalimat padanya" lanjut Aldwin dengan sedikit menghembuskan napas pelan sebelum kembali meneruskan kalimatnya.

"pria itu kehilangan adiknya karena ulah anak buahku. Jadi dia kesini untuk balas dendam".

Audrey menghentikan gerakan tangannya dan menatap Aldwin dengan penuh tanya. Sudah dua bulan Audrey menjadi asisten Aldwin dan setiap hari datang ke rumah Aldwin, tetapi Audrey masih belum bisa mengerti sebenarnya apa yang Aldwin kerjakan selain menjadi pemimpin perusahaannya itu. memang, selama dua bulan itu juga Audrey pernah melihat sisi lain Aldwin yang tiba-tiba jadi sosok yang dingin dan menyeramkan. Tapi Audrey tetap belum memahami kenapa Aldwin seperti itu.

"pulanglah.. sekarang sudah malam. Kau harus istirahat" ujar Aldwin dan mengalihkan pandangannya dari Audrey.

"Aldwin.. ceritakan padaku. Siapa kau sebenarnya" desak Audrey. Aldwin menatap dalam mata Audrey tanpa mengucap apapun. Mereka hanya sama-sama terdiam saling memandang cukup lama sampai Aldwin tersenyum hangat.

"nanti, nanti Audrey.. ketika kau sudah siap mendengarnya"

-----------------

yukkk komennya biar aku tambah semangat terus donggg.

gimana ceritanya? sorry kalo ngebosenin^^