Chereads / (Un)forgettable / Chapter 27 - Chapter 26 - Reborn

Chapter 27 - Chapter 26 - Reborn

Arin: Kak

Brian membaca direct message dari Arin, ia bingung kenapa tiba-tiba cewek itu mengiriminya pesan. Ia pun segera membalas, takut Arin membutuhkan bantuannya atau ada hal penting yang ingin disampaikan.

Brian: Apa?

Arin: Maaf ganggu. Cuma iseng kak hehe

Brian: Santai aja, nggak ganggu kok

Arin: Serius maaf ganggu, cuma mau bilang makasih

Brian: For what?

Arin: For everything

Brian: It's OK. Aku pikir ada apa

Brian tersenyum, sebuah keajaiban mendapat dm dari Arin. Apakah Arin sudah membuka hati untuknya? Brian tidak mau terlalu berharap. Ia menunggu-nunggu tetapi Arin tidak membalas pesannya lagi. Sedikit menyesal, mungkin balasannya terlalu cuek pada cewek berhidung mancung itu. Padahal Arin sedang merutuki dirinya sendiri, tidak tahu harus membalas apa karena malu. Pasti Brian berpikir yang tidak-tidak, Arin tidak mau dikira agresif karena mengirim pesan duluan pada cowok.

Arin melempar ponselnya ke kasur. Ia mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap, menelungkupkan wajahnya di bantal. Jantungnya berdebar cepat, berharap ada pesan dari Brian. Biarkan cowok yang mencari pembahasan, tugas cewek hanya membalas chat. Tapi percakapan chat-nya sudah benar-benar berakhir, Brian tidak mengiriminya pesan lagi. Arin pun memutuskan untuk tidur.

***

Arin membuka matanya, sudah pagi. Ia bangkit dari ranjang dan menyingkap gorden, memandang Jakarta pagi yang masih sepi. Kini ia terbangun tanpa ada beban di hatinya, lebih damai. Biasanya setiap bangun tidur selalu termenung dengan perasaan yang kalut. Ini benar-benar hari baru, awal yang baru untuknya. Ia siap dengan segala kondisi yang ada di depannya, tidak mau lagi menghindar atau menyesali yang sudah berlalu.

Ponsel Arin berdering tanda ada pesan masuk. Ia segera membacanya.

Brian: Rise and shine... Start your day with a smile :)

Arin tersenyum, kemudian mengetikkan balasan.

Arin: U too :)

Arin meletakkan ponselnya di nakas. Kemudian bergegas mandi dan sarapan. Di meja makan sudah ada Mama dan Papa. Seperti biasa pagi ini papanya akan berangkat kerja. Ketika sarapan Papa memulai pembicaraan.

"Gimana rencana S2 kamu?"

"Lanjutin di Harvard, udah nyaman sama kampus itu." Mama dan Papa mengangguk-angguk.

"Mau mulai tahun ini atau tahun depan aja?" Mama menatapnya.

"Masih Arin pikirin."

Arin memang masih bimbang, tapi sebetulnya ia ingin cepat-cepat menyelesaikan kuliahnya dan segera bekerja. Tapi situasi membuatnya berpikir ulang, Brian melamarnya dan pergi ke Amerika berarti menjauh dari cowok itu. Sedangkan ia ingin memberi Brian kesempatan, meskipun tidak yakin lamaran itu masih berlaku atau tidak karena ia sudah berkali-kali menolak Brian. Perihal itu Arin sama sekali tidak bercerita pada orang tuanya, takut kabar itu menyebar ke seluruh keluarganya dan Arin akan diberi berbagai pertanyaan oleh mereka. Siapa cowok itu? Dari mana asalnya? Bagaimana keluarganya? Dan sebagainya. Tentu akan sangat merepotkan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Selesai sarapan, Papa berangkat ke kantor. Sedangkan Arin melajukan mobilnya ke TPU melanjutkan niatnya yang kemarin batal. Di tengah perjalanan ia berhenti di toko bunga, membeli tiga buket lili putih. Setelah itu melanjutkan perjalanan dan berhenti di pemakaman. Ia menuju pusara Renald, meletakkan bunga lili di makam Renald dan meletakkan buket sisanya di makan ibu Renald dan neneknya yang bersebelahan. Ia tersenyum, mencurahkan segala isi hatinya, rencana baru hidupnya, kemudian mendoakan mereka.

Setelah itu ia pergi ke mall, sekedar untuk bersenang-senang. Nonton di bioskop, mampir ke toko kue, membeli es krim. Kemudian ia melihat lomba fashion show anak, Arin terpukau melihat para model yang menggemaskan berlenggak-lenggok di catwalk. Mereka mengenakan pakaian adat, ada yang memakai pakaian adat Papua, Jawa, Sunda, Bali, Padang, dan masih banyak lagi. Setelah selesai, diumumkan pemenang tiga besar. Juara satu adalah anak yang memakai pakaian adat Bali, juara dua adalah anak yang memakai pakaian adat Jawa dan juara tiga yaitu anak berpakaian adat Sunda. Terdengar riuh tepuk tangan, Arin pun bertepuk tangan antusias. Sang MC memanggil para juri untuk memberikan hadiah, satu persatu juri menyerahkan hadiah pada pemenang dan didokumentasikan.

Arin mengenal salah satu juri itu, cewek berambut curly yaitu Cindy teman SMA-nya. Cindy pun melihatnya dari atas panggung, tersenyum padanya. Setelah selesai didokumentasikan dan menyalami para pemenang, Cindy menghampirinya.

"Hai, apa kabar?" Cindy tersenyum cerah.

"Baik, lo sendiri apa kabar?"

"Gue juga baik. Nggak nyangka ya bisa ketemu lagi, lo kemana aja?"

"Gue kuliah di Harvard dan jarang pulang ke Indonesia." Cindy mengangguk-angguk.

Cindy mengajaknya makan di kafetaria karena ingin mengobrol banyak dengannya. Ternyata Cindy berkarier di dunia modeling dan sukses besar. Ia sering menjadi peraga busana para desainer ternama dan menghadiri acara fashion week di belahan dunia.

"Maafin gue ya." Cindy menatapnya sungguh-sungguh.

"Gue juga minta maaf. Lucu juga ya kalau inget kita yang dulu, childish banget." Mereka pun tertawa.

Kini Cindy menatapnya serius, "Rin, gue mau ngomong sesuatu sama lo tentang Julio." Arin pun mendengarkan.

Cindy memang menyukai Julio saat pertama kali masuk SMA, pernah menembaknya tetapi Julio menolak. Cowok itu menyukai Arin. Cindy kesal sehingga balas dendam dengan memacari Farel, Julio tidak tahan melihat Arin patah hati dan menawarkan kesepakatan untuk berpacaran dengannya asalkan ia memutuskan Farel. Cindy pun menerima tawaran itu, tapi ternyata hati Julio tetap untuk Arin dan itu membuatnya sakit hati. Arin kaget mendengar penjelasan Cindy.

"Tapi tenang aja, sekarang dia udah move on kok. Dia kuliah di Oxford dan gue denger sih pacaran sama bule di sana." Arin mengembuskan napas lega, "bukan cuma dia yang udah move on. Gue juga udah kok, sekarang gue sama Lian."

"Serius?" Cindy mengangguk.

"Lucu ya, dulu gue ribut mulu sama Lian dan berkali-kali nolak dia. Tapi akhirnya bisa luluh juga sama dia." Cindy tersenyum.

Arin tidak menyangka bisa bertemu dengan Cindy hari ini dan mengobrol lama dengannya. Tidak selamanya mengenang masa lalu itu buruk, justru masa lalu harus selalu diingat untuk dijadikan pelajaran agar tidak mengulang kesalahan yang sama, tapi bukan untuk disesali. Mengenai Julio, Arin tidak mau ambil pusing. Cowok itu hanya bagian dari masa lalu, lagipula Julio sudah melupakannya—membuatnya merasa lega. Kini ia harus melanjutkan hidupnya, menata masa depan bersama orang yang tepat.

Mereka selesai makan dan segera pulang menaiki mobil masing-masing. Sampai di rumah, Mama memberi tahu Arin bahwa ada bunga paket untuknya. Ia mengambil buket red daisy dari mamanya, melihat kertas kecil di hand bouquet itu.

Be my daisy

Brian

Arin pun tersenyum, kagum melihat keindahan bunga daisy merah yang Brian berikan. Ia masuk ke kamarnya dan menaruh bunga itu di nakas. Mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Brian.

Arin: Makasih bunganya

Brian: Suka nggak?

Arin: Suka. Tapi aku bingung, kok kamu lebih milih bunga daisy dibanding bunga mawar

Sesaat setelah itu Arin mengumpat, terbawa suasana sehingga mengubah gaya bicaranya menjadi aku kamu. Benar-benar memalukan, tapi sudah terlanjur. Memang sudah seharusnya ia mengubah gaya bicaranya pada Brian.

Brian: Berarti nggak suka ya

Arin: Siapa sih yang bakal milih bunga daisy di deretan bunga mawar

Brian: Kayaknya cuma aku deh

Arin: Kamu itu bener-bener unik ya

Brian: Bunga daisy itu punya makna kecantikan yang nggak diketahui pemiliknya, ketulusan dan kesederhanaan

Arin: Gorgeous. Aku nggak nyangka bunga sederhana ini punya makna seindah itu

Brian: You're my daisy

Arin: Thank's a lot :)

Brian: I'm glad to make you happy

Arin tersenyum senang, bahagia. Brian memang selalu punya cara unik untuk membuatnya tersenyum, berbeda dengan laki-laki lain dan Arin menyukai itu. Sejak saat itu ia sering berkomunikasi dengan Brian lewat telepon.