Chereads / FIRST LOVE / Chapter 21 - FIRST LOVE | 21

Chapter 21 - FIRST LOVE | 21

Axel berjalan santai menuruni setiap anak tangga yang jumlahnya tidak terlalu banyak dan setibanya di anak tangga terakhir di dasar lantai, Axel langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruang keluarga di rumah minimalis itu mencoba mencari keberadaan Alex. Namun, pria bule itu ternyata tidak ada di sana.

Axel lebih mempertajamkan lagi indera pendengarannya ketika samar-samar mendengar suara glotakan dari arah dapur yang menyatu dengan ruang makan. Tadi Alex sempat pamit padanya ingin melanjutkan memasak, bukan? Jadi mungkin saja daddy Lova itu sedang berada di sana. Axel melangkahkan kakinya menuju ke arah dapur.

Axel hanya berdiri terdiam memperhatikan Alex yang bergerak dengan cekatan meletakkan piring-piring yang sudah diisi dengan beberapa jenis makanan di atas kitchen island. Andai ... Arrgh! Axel mengerang marah dalam hati. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat di kedua sisi tubuhnya. Shit! I hate that damn word!

Merasa sedang diperhatikan, Alex perlahan mengangkat kepalanya. Senyumnya yang sudah akan terbit seketika tertahan ketika melihat Axel yang seperti tengah ... melamun? Kening Alex mengerut samar. Alex menempelkan kedua telapak tangannya di atas permukaan kitchen island untuk menahan bobot tubuhnya yang sedang membungkuk sedikit.

"Axel?" panggil Alex dengan suara pelan. Namun, tidak langsung mendapatkan tanggapan dari Axel. Sebelah alis Alex naik. "Axel?!" panggil Alex satu kali lagi dengan nada suara yang sengaja dinaikkan satu oktaf.

"Ya?!" jawab Axel dengan suara sedikit keras karena kaget.

"Do you hear me?"

Axel langsung saja merilekskan kembali tubuh dan raut wajahnya yang tadi sempat tegang. Berdehem kecil. "Iya, uncle. Gimana?" tanya Axel sambil berjalan mendekati Alex.

Alex terkekeh pelan sambil geleng-geleng kepala. "Benar sedang melamun, rupanya." gumam Alex lirih. Namun, masih cukup bisa didengar oleh telinga Axel.

Axel meringis sambil menggaruk kepalanya bagian belakang yang tidak gatal sama sekali merasa tidak enak sempat mengacuhkan panggilan Alex.

"Apa yang kamu pikirkan begitu keras, Axel? Kamu sedang menghadapi suatu masalah, boy?" tanya Alex secara beruntun dengan nada penuh perhatian dan raut wajah khawatir.

Axel termangu. Perlahan menurunkan tangan dari kepalanya. Axel menatap Alex dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Anda-- i ... Shit! Shit! Lagi-lagi kata itu muncul! Axel menggeleng samar. You're so pathetic, Axel. Berharap sesuatu yang sudah jelas-jelas semu akan bisa menjadi nyata.

"Melamun lagi, heh?"

Suara berat Alex berhasil mengembalikan kembali kesadaran Axel yang sudah pergi entah kemana. Axel mengerjapkan matanya beberapa kali. "Gak--" Axel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Saya lagi gak ada masalah apa-apa kok, uncle. Maaf." ucap Axel dengan suara pelan di ujung kalimatnya. Merasa bersalah lagi-lagi mengacuhkan Alex, Axel menundukan kepalanya sedikit.

Alex menggeleng pelan. "Nope ... it's okay, boy. No need to say sorry." kata Alex pelan mencoba menghilangkan perasaan bersalah yang sedang bersarang di diri Axel. Alex perlahan menegakan posisi tubuhnya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya menatap Axel dengan tatapan tidak percaya.

"Are you sure, boy?"

"Yah." jawab Axel seraya mengedikan kedua bahunya. "I'm really sure."

Alex mengangguk. "Good, then." Alex celingak celinguk sebentar mencari-cari keberadaan Lova. "Where is Lova, Axel? Kenapa kamu turun sendirian? Kamu tidak membangunkan Lova?" tanya Alex beruntun ketika tidak menemukan ekstensi Lova. Alex menatap Axel bingung.

"Lova? Oh, itu--" Axel menunjuk ke arah belakangnya dengan telunjuk tanpa menoleh. "Lova sedang mandi sekarang, uncle. Saya turun duluan karena Lova usir saya dari kamarnya tadi. Lova gak mau saya tunggui." Axel nyengir lebar sambil meletakkan kedua tangan di belakang tubuhnya.

Alex tertawa kecil seraya manggut-manggut. "Kemari, Axel. Duduk di sini." kata Alex sambil menepuk bar stools kosong yang berada tepat di samping kanannya. "Tunggu Lova. Kita brunch bersama-sama." kekeh Alex pelan.

Suara kekehan Alex seperti virus yang menular. Axel tertular dan ikut terkekeh. Tak lupa menganggukan kepalanya juga. Melangkahkan kakinya menghampiri Alex dan duduk di bar stools yang dimaksud oleh pria bule itu.

Alex melirik Axel sekilas. "Is there something you want to ask me about the photos, Axel?"

Axel bergerak dengan canggung. "Emangnya ... boleh ya, uncle kalau saya tanya soal itu?" tanya Axel hati-hati. "Saya emang rada-rada kepo soal foto-foto yang ada di ruang tamu tadi, sih. Tapi ... itu, kan privasi uncle." tambah Axel sambil menatap tidak enak takut-takut ucapannya itu bisa menyinggung Alex.

Axel tertawa kecil sambil menepuk sebelah bahu Axel pelan. "Nope. It's okay. Uncle is fine, Axel." kata Alex mencoba meyakinkan Axel sambil menggeser posisi duduknya ke samping menghadap Axel. "So ... what do you want to know, boy?"

"Tapi ini ... saya minta maaf dulu, ya sebelumnya, uncle. Kalau-kalau pertanyaan saya nantinya bisa membuat uncle merasa tersinggung. Dan kalau uncle merasa gak nyaman sama pertanyaan saya, uncle gak perlu menjawab pertanyaan dari saya. Saya pasti bisa memahaminya." Axel menggeleng kecil sambil menatap Alex lekat.

Alex tersenyum lembut. Tangan kanannya terulur mengacak rambut Axel pelan. "It's okay, boy. No need to sorry. Just ask, Axel. Don't worry too much. Uncle sendiri yang menawarkan, itu artinya uncle tidak ada masalah sama sekali."

Axel berdehem kecil untuk membersih kan tenggorokannya. Tangan kanannya terulur mengambil gelas orange juicenya yang sebelumnya ada di ruang tamu kini sudah berpindah di atas kitchen island. Axel meneguknya hingga tandas tak bersisa, lalu mengusap bibirnya dengan punggung tangannya sebelah kanan membuat Alex terkekeh kecil melihatnya.

"Hal pertama yang membuat saya penasaran itu soal ... anak laki-laki yang ada di dalam foto berdua sama Lova, dia ... itu ... siapa kalau saya boleh tahu, uncle?" tanya Axel hati-hati.

Alex tertawa kecil sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Cemburu, heh?" tanya Alex sambil menatap Axel geli.

Axel berdehem pelan. "Mungkin?" jawab Axel singkat sambil mengangkat kedua bahunya tak acuh.

Alex terkekeh pelan sambil manggut-manggut. Menegakan punggungnya seraya meletakkan tangan di atas kedua pahanya. "Anak laki-laki itu bernama-- Kevin Putra Alexander Archelaus, dia ... abangnya Lova. Terlihat seumuran karena Lova dan Kevin hanya berjarak satu tahun saja."

Axel membulatkan bibirnya membentuk huruf O seraya manggut-manggut mengerti.

"Apa Lova dan Kevin tidak terlihat mirip?"

Axel hanya menggeleng.

Alex manggut-manggut. "Memang. Kevin itu cenderung menuruni gen dari saya. Sedangkang Lova, dia cenderung menuruni gen dari Jelita. Lokal. Hanya manik mata Lova dan Kevin saja yang sama, yang membuat mereka tampak seperti saudara."

Axel mengangguk-anggukan kepalanya paham. "Emm ... lalu, itu ... kalau foto aunty ... "

Kedua bahu Alex langsung melorot seolah tak bertenaga dan hal itu tak luput dari penglihatan Axel yang sedari tadi terus memperhatikannya.

"Gak apa-apa, gak perlu dijawab kalau uncle gak mau jawab."

Alex langsung berpaling pada Axel dan menatap anak laki-laki itu sejenak. Lalu menghela napas berat. "Jelita. Namanya aunty Jelita. Jelita Estefani Queisha." jawab Alex dengan suara pelan sambil perlahan menggeser posisi duduknya menghadap ke arah depan. Alex menautkan jari-jari kedua tangannya di atas kitchen island dan menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.

"Uncle dan Jelita, we got-- divorced for long ago." desah Alex berat sambil menundukan kepalanya.

"Hah!" teriak Axel keras secara reflek. Raut wajahnya langsung berubah menjadi terkejut. Axel menatap Alex tidak percaya. "Uncle ..." gumam Axel lirih.

Tbc.