Kruk ... kruk ... kruk ...
Axel seketika membuka lebar kedua matanya. Sementara Lova langsung menjauhkan pipinya dari kepala Axel ketika mendengar suara yang berasal dari perut laki-laki itu.
Lova terkekeh geli sambil menundukan kepalanya sedikit agar bisa melihat telinga Axel yang memanas serta wajah laki-laki itu yang sudah berubah menjadi merah padam efek malu. Perlahan mendorong tubuh besar Axel menjauh. Lova merubah posisi duduknya menjadi bersila.
"Maaf ya, Lova lupa. Axe sarapan dulu, deh. Baru nanti tidur lagi." titah Lova dengan suara pelan sambil sedikit memutar pinggangnya mengambil paper bag yang dia letakkan di sampingnya.
Axel berdehem pelan ikut merubah posisi duduknya seperti Lova. "Hmm,"
Lova tertawa kecil sambil mengeluarkan kotak bekal dan tumbler berisi banana smoothie dari dalam paper bag satu per satu. Membuka tutup tumbler, lalu mengulurkannya pada Axel. "Nih, minum dulu, Axe."
Axel hanya mengangguk. Tangan kanannya terulur menerima tumbler dari tangan Lova.
"Habisin sampai setengahnya, Axe."
Axel mengangguk kecil sambil melirik Lova dari balik tumbler.
"Kak Anisa gak masak emangnya sampai-sampai Axe gak pernah sarapan di rumah?" tanya Lova sambil menerima kembali tumbler dari Axel. Lova menutup tumbler, lalu meletakkannya di depannya.
"Masak."
Lova tersenyum kecil. "Kok, jadi singkat-singkat gitu ngomongnya?"
Axel hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh.
"Axe masih malu, ya?" tanya Lova halus sambil melirik Axel dan meletakkan sendok serta garpu di dalam kotak bekal yang sebelumnya sudah dia buka tutupnya lebih dulu.
"Mana ada!" sangkal Axel keras.
Lova tertawa kecil. "Santai, dong ... Axe gak usah ngegas kaya gitu." kata Lova meledek Axel sambil mengulurkan kedua tangannya menyerahkannya pada Axel. "Makan dulu, ya."
Axel mendengus keras. Mendorong kotak bekal kembali ke arah Lova.
Kening Lova mengerut dalam. "Kenapa? Axe gak mau? Gak suka sama omelet?" tanya Lova bingung.
"Aa ..." kata Axel singkat sambil membuka mulutnya lebar. Tanda jika Axel ingin disuapi membuat Lova terkekeh kecil melihatnya.
Lova geleng-geleng kepala. Tangan kanannya bergerak memotong omelet sebesar satu kali suap. Lova mengangkat wajahnya. "Aa ..." Lova membuka mulutnya sedikit yang langsung diikuti Axel, namun laki-laki itu membuka mulutnya lebih lebar.
Axel mengunyah omelet di dalam mulutnya dengan semangat membuat Lova tersenyum lembut melihatnya. "Aa ..." Axel membuka mulutnya lagi.
Lova kembali menyuapi Axel. Tangan kanannya terulur mengusap sisa saus di sudut bibir Axel dengan ibu jarinya. "Pelan-pelan aja, Axe. Ngunyahnya yang bener. Kalau gak, nanti sakit perutnya, Axe."
Axel hanya manggut-manggut sambil terus mengunyah. "Nanti pulangnya bareng gue, ya? Bilang sama uncle Alex gak usah jemput ntar." titah Axel dengan suara pelan setelah menelan semua omelet yang ada di dalam mulutnya.
Lova mengangguk patuh. "Aa ..."
Axel membuka lebar mulutnya kembali menerima suapan dari Lova dengan senang hati. Mengunyah omelet dalam mulutnya dengan pelan. Kedua matanya tak pernah lepas menatap gadis itu.
"Daddy juga gak akan bisa jemput Lova. Daddy lagi keluar kota. Ada kerjaan."
Kedua alis Axel terangkat. "Kenapa gak bilang sama gue semalam? Lo tadi pagi berangkat sama siapa?"
"Hah?" Lova langsung mengangkat wajahnya menatap Axel.
Axel memicingkan kedua matanya. Menatap Lova curiga. "Lo berangkat sama siapa, my Lov?"
"Oh itu ... Lova berangkat sama--"
"Sama ..." gumam Axel dengan suara pelan sambil perlahan mendekatkan wajahnya pada wajah Lova dan menatap gadis itu tajam.
Lova tertawa kecil. Telunjuk tangan kanannya terulur menahan kening Axel. "Apa, sih?! Lova berangkat ikut Lila sama ayah."
Axel menarik turun telunjuk Lova. Menggenggam tangan gadis itu erat. "Lo sendirian, dong di rumah? Lo berani, my Lov?" tanya Axel sambil mengusap-usap punggung tangan Lova pelan.
Lova tersenyum kecil. "Ya ... jelas gak berani dong, Axe."
Kening Axel mengerut samar. Menatap Lova khawatir. "Terus, lo--"
"Jangan khawatir. Lova nginap di rumah aunty Lova, kok." potong Lova sambil menarik lepas tangannya. Lova menepuk-nepuk pipi Axel sebelah kanan pelan dua kali.
Axel manggut-manggut. "Lo punya aunty?"
Lova mengangguk. "Punya, namanya aunty Zeva. Adik kandungnya daddy. Rumah aunty Zeva juga cuma beda blok aja sama rumah Lova. Gak jauh."
Axel beroh-ria. Kedua tangannya reflek terulur memegang kedua sisi kepala Lova ketika angin berhembus sedikit kencang mencoba menahan rambut halus gadis itu agar tidak berterbangan.
Tubuh Lova yang tidak siap menerima tindakan tiba-tiba Axel langsung beringsut sedikit. Lova terkekeh kecil yang menular pada Axel, laki-laki itu jadi ikut terkekeh kecil.
Axel yang gemas langsung saja mencium kening Lova sekilas. "Gue hari ini belum cium, lo." kekeh Axel lagi.
Lova hanya geleng-geleng kepala. "Aa ... sekali lagi Axe. Ini, yang terakhir."
Axel dengan patuh membuka lebar mulutnya kembali sambil merapikan rambut Lova dengan jarinya, lalu menyelipkan ke belakang telinga gadis itu. Mulutnya terus bergerak mengunyah. Sementara mata Axel fokus memperhatikan Lova yang kini sedang menutup tutup kotak bekal dan memasukannya lagi ke dalam paper bag.
"Udah habis belum, Axe?" tanya Lova halus. Senyum kecilnya langsung terbit ketika melihat Axel menganggukan kepala. "Dihabisin, ya minumnya." titah Lova pelan sambil mengulurkan tumbler yang sebelumnya sudah dia buka lebih dulu tutupnya.
Yang tak disadari oleh mereka berdua adalah jika ada tiga pasang mata yang sedang memperhatikan setiap gerak gerik dari mereka berdua.
-firstlove-
Di tempat lain, Lila sedang memutar kedua bola matanya malas ketika baru saja melangkah memasuki kantin langsung disambut dengan kegaduhan yang disebabkan oleh dua anak laki-laki yang sangat-sangat dia kenal itu.
"La!"
Lila mendengus keras. Berjalan pelan mengikuti di belakang Kaula, Sadie dan Sadara yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya. Tak menghiraukan lambaian tangan Abdul serta panggilan dari laki-laki dengan suara menggelegar itu. Lila duduk di meja kosong yang berada di sisi kanan kantin sedikit di tengah.
"Njir, lah La!"
"Lo dipanggil tuh, La."
Lila mengibaskan tangan kanannya tak acuh. "Halah! Cuekin aja sih, Ra. Orang gila, gitu." Lila meletakkan telunjuknya di atas kening dengan posisi miring. "Berasa di hutan kali, teriak-teriak."
"Udah-udah. Lo pada mau makan apa? Mumpung gue lagi baik, nih. Gue yang pesenin." tanya Kaula yang masih dalam posisi berdiri.
"Ulu ... ulu ... ulu ... yang lagi baik. Traktir, lah!" goda Sadie sambil mencolek lengan Kaula pelan.
"Pengeretan! Cepetan, dah. Mau pesen apaan? Bayar sendiri-sendiri. Jand kaya orang susah lo, Die. Lo baru dapet transferan, ya dari bokap lo."
"Kok, lo tau sih, Ula?"
"Makanya story lo dikondisikan! Kang pamer." sembur Kaula sambil menoyor kepala Sadie keras tanpa perasaan.
"Anjim!"
Lila menghela nafas lelah. "Heh! Udah ngapa, sih?! Gue samain aja sama lo deh, Ula. Tapi, gue mau minumnya air mineral, ya."
Kaula mengangguk paham. Lalu, berpaling menatap Sadie dan Sadara secara bergantian. "Lo mau apa, twins."
"Gue ikut sama lo deh, Ula." Sadie menoleh menatap adik kembarnya yang duduk di sampingnya. "Ra, lo samain sama gue aja, ya?"
Sadara hanya mengangguk patuh.
"Yuk, Ula." ajak Sadie sambil beranjak berdiri dari posisi duduknya. Langsung menarik Kaula.
Tbc.