Lova mengerjap pelan. Lo milik gue, apa? Lova menoleh menatap punggung Axel yang semakin kecil di depannya itu tidak percaya. Siapa yang milik siapa? Dia-- milik Axe? Lova tertawa lepas dalam hati. Ck! Yang benar saja.
Lova mengangkat kedua bahunya tak acuh dan kembali memutar posisi duduknya menghadap concert grand. Siapa juga yang ingin punya pacar, tapi hak milik bersama begitu? Lova mendumel dalam hati. Oh? Dan jangan lupakan jika dia pernah menjadi salah satu saksi hidup dari aksi brutal pacar-pacar laki-laki playboy itu!
Lova menundukan kepalanya sedikit menatap pada tuts nanar. Mood bermainnya hilang sudah. Lova menghela nafas kasar. Menutup wajahnya dengan kedua tangan sejenak lalu menyugar rambut ke belakang. Lova melirik ke atas. Menghela nafas pelan dan mengulurkan kedua tangannya merapikan poni rambut dengan jari-jarinya.
Lova pelan-pelan menutup fallboard-covers keys. Lebih baik dia menunggu daddynya itu di halte saja. Lova meraih tas dan memakainya di punggung sambil beranjak berdiri dari posisi duduknya. Berjalan pelan keluar dari ruang musik. Lova harus menuruni tangga panggung lalu menaiki tangga lorong di antara kursi penonton untuk mencapai pintu ruangan besar itu.
-firstlove-
"Loh! Non?"
Lova terkesiap sedikit. Langsung berpaling ke samping kanan menatap pria paruh baya yang sedang membawa kunci di tangan kanan dan tangan kiri memegang daun pintu. Siap mengunci pintu ruang musik.
"Pak Poldi? Bikin saya kaget saja."
"Maaf, Non. Tapi, kok Non masih di sini? Belum pulang? Untung pintunya belum sempat saya kunci, Non."
"Saya nunggu jemputan daddy saya, Pak. Ini, baru mau pulang, kok. Beruntung, dong saya tidak jadi ke kunci di dalam."
Poldi terkekeh kecil. "Alhamdulillah kalau begitu. Serem juga kalau sampai ke kunci di dalam, Non."
Lova mengangguk setuju dan tersenyum sopan. "Kalau begitu saya pulang dulu, ya Pak Poldi. Mari, Pak." pamit Lova sambil mengangguk pelan sebagai bentuk kesopanan.
"Oh, iya. Mari-mari, Non. Hati-hati di jalan."
Lova tersenyum manis. "Selamat bertugas, ya Pak Poldi." kata Lova yang langsung dibalas anggukan kepala Poldi. Lova melanjutkan kembali jalannya yang sempat terhenti.
Lova melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Lila sudah selesai latihannya belum, ya? Coba lihat, deh. Lova mengangguk samar dan mengiring langkahnya menuju lapangan basket indoor yang berada di bagian samping kanan gedung Senior High Global Cetta School.
Lova menghela nafas lelah dan menatap pintu lapangan basket indoor itu sudah di kunci nanar. Sudah selesai, ya? Lova berkacak pinggang. Pulang, deh. Lova mengangkat kedua bahunya tak acuh. Berbalik badan. Tidak jelas sekali dia. Seperti bocah hilang saja. Lova berjalan menuju gerbang sekolah.
"Non?! Mau kemana?!"
"Eh? Pak Khawas. Saya mau pulang, Pak. Nunggu daddy saya jemput di halte depan. Tolong bukakan gerbangnya, ya Pak Khawas." pinta Lova halus pada Khawas, pria paruh baya yang usianya sedikit di atas Poldi itu juga satpam Senior High Global Cetta School. Sekolah seluas itu tidak mungkin jika setiap harinya hanya mengandalkan satu satpam saja.
Khawas berjalan menghampiri Lova yang berdiri di dekat pintu gerbang. "Mending daddynya suruh jemput di pos satpam saja. Di depan sedang ada tawuran, Non. Bahaya nanti kalau Non Lova nunggu di halte. Bisa kena salah sasaran."
"Tawuran?"
"Kok, bisa di dekat sini ada tawuran, Pak?"
"Saya juga gak tahu, Non. Anak remaja zaman sekarang. Mari, Non nunggu di pos satpam saja."
"Oh, iya. Mari, Pak."
Khawas memimpin berjalan di depan Lova. "Mana sama anak Cetta itu, Non tawurannya."
Kedua mata Lova seketika melebar. "Anak Cetta, Pak? Kok, bisa?"
Khawas mengangguk singkat. "Saya kurang tahu, Non. Tadi Den Axel minta saya kunci pintu gerbang, soalnya pacar Den Axel masih ada di dalam sekolah. Gak lama Den Axel keluar, kedengeran suara ribut-ribut. Gak tahu dari mana asalnya tiba-tiba muncul anak-anak dari sekolah lain."
"Pacar?" tanya Lova tidak percaya.
Khawas mengangguk lagi. "Silahkan duduk, Non." kata Khawas sopan sambil meletakkan kursi plastik di depan pos satpam.
Lova mengangguk singkat dan duduk di kursi plastik berwarna biru itu. "Makasih, Pak Khawas. Jadi ngerepotin, saya." ucap Lova dengan raut wajah tidak enak sambil melepaskan tas di punggung dan meletakkan di atas pangkuannya.
"Sama-sama, Non. Ngerepotin apa, sih Non? Gak ngerepotin sama sekali, kok. Saya juga cuma kasih kursi plastik sudah agak buluk juga lagi."
Khawas memperhatikan Lova. "Eh? Jangan-jangan, Non lagi pacarnya Den Axel."
Uhuk, Uhuk! Lova batuk tersedak salivanya sendiri. "Bukan?! Bukan saya, Pak?!" sangkal Lova keras sambil menggeleng dan melambai-lambaikan kedua tangannya heboh.
Khawas tertawa kecil. "Saya izin cek CCTV dulu, ya Non."
Lova berdehem pelan. "Ahh. Iya, Pak. Silahkan-silahkan. Pak Khawas tidak perlu sungkan gitu kalau sama saya."
Khawas hanya tersenyum sopan dan berbalik masuk ke dalam pos satpam melaksanakan tugasnya. Sudah cantik. Sopan lagi. Puji Khawas dalam hati.
Lova membuka resleting jaket baseballnya sedikit mengeluarkan ponsel dari saku kemeja. Mengotak atik ponselnya sebentar lalu ditempelkan di telinga sebelah kanan. Terdengar suara tersambung. Di dering ketiga Alex mengangkat panggilannya.
["Ya, princess? Wait a minute. I'll be there."]
"Slow down, daddy. Pelan-pelan saja. Jangan ngebut-ngebut. Berbahaya. Lova ada di pos satpam sekarang. Kata Pak Khawas, di dekat halte sedang ada tawuran makanya Lova dilarang menunggu daddy di halte."
["Tawuran?"]
"Iya, tawuran. Perkelahian antar pelajar, daddy."
Terdengar suara kekehan pelan Alex di seberang sana. ["Thank you for your explanation, princess. Tapi sudah sangat tahu tentang apa itu tawuran. Daddy hanya merasa heran saja. Kenapa bisa di lingkungan Cetta ada tawuran?"]
"Karena satu kubu pelaku tawurannya anak-anak Cetta, daddy. Lova juga tidak tahu persis ceritanya seperti apa."
["Iya, sudah. Sebentar lagi daddy sampai. See you there, princess."]
Lova tetap menganggukan kepala walau tahu Axel tidak akan melihatnya. "Oke, daddy. Be careful."
Tut!
Lova mematikan sambungan telepon setelah Alex menjawab ucapannya. Memasukan ponsel ke dalam kantong kecil di bagian depan tasnya. Lova melipat tangan kirinya di depan perut dan bertopang dagu dengan tangan kanan. Mengedarkan pandangannya ke segala arah.
"Jangan lari, lo setan!"
Khawas berjalan tergopoh-gopoh keluar dari dalam pos satpam. Sementara Lova langsung berdiri tegak sambil memeluk tasnya erat ketika mendengar suara langkah-langkah kaki cepat bercampur dengan teriakan keras.
Lova memperhatikan lekat-lekat setiap anak laki-laki yang berlari kencang melewati sekolahnya. Axe! Kedua mata Lova seketika melebar. Lova berlari kecil ke arah pintu gerbang sekolah. Memperhatikan punggung Axel yang sedang berlari mengejar anak laki-laki yang sekilas terlihat sudah babak belur sama seperti wajah Axel. Astaga!
Tbc.