Chereads / Tangisan Rindu / Chapter 10 - Anniversary Pernikahan Bibi

Chapter 10 - Anniversary Pernikahan Bibi

Happy reading

...

Setelah olahraga tadi, aku memutuskan pulang. Di sepanjang jalan, wajah pria itu terus saja mengganggu pikiranku. Apalagi ketika dia menolongku memasang perban. Ah menyebalkan!

Aku membuka pintu. Dan mataku langsung tertuju pada seorang wanita yang tengah duduk di ruang tamu. Dia tersenyum, menghampiri lalu memelukku.

"Ayssa?" Aku heran melihatnya ada di sini.

"Iya?" Dia menjawabku sambil cengengesan.

"Kamu? Dari mana kamu tahu rumahku?"

"Maksudku, rumah bibi."

Dia kembali duduk sambil memakan cemilan. "Itu rahasia."

Aku melipat tanganku di depan dada. "Ah kamu ini."

Dia terkekeh.

"Oh iya Rein, tadi kamu dari mana aja?"

"Olahraga." Jawabku sambil membersihkan kursi yang nampak sedikit berdebu. "Kamu nunggu udah lama?" Lanjutku.

"Oh tidak." Dia menyimpan makanannya. "Aku sampai, lalu beberapa menit kamu datang."

"Ohh."

"Eh Rein." Dia menghampiriku.

"Iya?"

"Mari sini." Dia mengajakku duduk.

"Ada apa? Tanyaku.

"Bibi kamu baik ya. Aku sampai senang sekali melihatnya. Padahal baru saja bertemu, tapi sikapnya ramah seperti sudah kenal lama."

Aku tersenyum. "Memang, bibiku memang seperti itu." Tiba-tiba aku langsung teringat, "eh iya, pas sekali kamu bilang tentang bibi. Aku belum menemuinya."

"Dia sedang keluar Rein."

"Untuk?"

"Katanya beli sesuatu."

Aku membuka toples makanan. Mulai menyantapnya dan terasa nikmat sekali. Pedas manis, dibubuhi irisan daun jeruk kering di atasnya.

Cimol kering pedas manis memang cemilan kesukaan bibi. Dia selalu menyajikan cemilan ini di ruang tamu setiap hari. Ketika habis, pasti akan membeli lagi. Aku ingat ketika kecil, bibi pernah bercerita kepadaku. Pamannya sampai sedikit kesal melihat bibi yang terus saja makan cemilan itu. Bukan apa-apa, paman hanya khawatir bibi sakit perut atau lambungnya kambuh lagi. Karena bibi pernah masuk ke rumah sakit karena terlalu banyak mengonsumsi makanan ini sampai lupa makan. Dulu seperti itu, tapi ketika aku tanyakan kemarin, bibi hanya nyengir dan bilang, "pamanmu menjatah bibi untuk makan cemilan ini. Hanya ketika dia pulang bibi boleh memakannya."

Aku lantas bertanya, "mengapa bibi melakukan itu? Bukankah cemilan itu makanan favorit bibi?"

Bibi hanya menjawab, "karena bibi sudah terlalu sayang pada paman. Jadi yaa bibi turuti semua keinginannya walau dalam hati kecil bilang tidak. Tapi bibi yakin apa yang paman lakukan untuk kebaikan bibi juga."

Bibiku memang sangat menyayangi paman. Pamanku pun sebaliknya. Katanya, ketika sudah menikah nanti, cinta tak lagi diucap dalam sebuah hubungan. Hanya ada rasa sayang, saling menjaga dan saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Terlebih, cobaan mereka yang begitu sesak dalam pernikahan-belum dikaruniai anak- tak lantas saling menjelekkan, merendahkan atau menyakiti dengan ujaran kebencian kepada masing-masing pihak. Justru mereka saling introspeksi, terus merekatkan hubungan, juga meningkatkan ibadah tak pandang siang atau pun malam. Karena bibi yakin kehendak Allah memang yang paling terbaik. Walau terkadang belum sesuai rencana, tapi mereka percaya bahwa Allah mencintai hambanya yang senantiasa memohon dan berserah diri pada-Nya.

Satu lagi, dulu ibuku pernah bilang. Paman tak pernah marah sekali pun pada bibi dalam berbagai masalah. Bahkan ketika bibi marah, yang paman lakukan hanyalah diam dan mencerna semua perkataan istrinya. Tak pernah ikut berdebat, atau saling adu kekuatan suara satu sama lain. Nanti ketika suasana mulai mereda, paman akan membicarakannya baik-baik. Bibi juga tak egois, selalu mendengar apa alasan paman melakukan sesuatu yang menurut bibi salah. Aku semakin terpesona mendengar hiruk pikuk kisah cinta mereka. Apalagi, kata ibu mereka pernah diuji dengan ketidaksukaan keluarga paman yang kesal karena bibi belum bisa memberi momongan kepada suaminya dan juga mereka. Bahkan mereka ada rencana untuk memisahkan paman dan bibi. Selidik punya selidik, ternyata salah satu keluarga paman ada yang mencarikan calon untuk paman. Tapi paman bersikeras berkata tidak dan menggandeng tangan bibi sambil berkata, "hidup atau mati sudah Allah rencanakan. Pula jodoh, aku dan istriku sudah saling menyayangi. Aku tak peduli kalian akan menyukainya atau tidak. Yang terpenting, hanya akan ada satu wanita dalam hidup saya. Selamanya hanya akan ada satu, dialah istriku."

Aku mendengar semua kisah itu dari ibu. Entah benar atau tidaknya, karena kala itu aku masih kecil dan baru bisa berjalan. Dan ada peristiwa menohok yang selalu mereka ingat, kata ibu Reine kecil saat itu langsung menghampiri paman dan bibi yang saling menangis, lalu aku memegang kedua tangannya dan saling menyatukannya. Mereka kemudian pergi sambil membawaku dan berkata pada ibu, "suatu saat aku ingin mengasuh Reine dan menjadikannya anak angkatku."

Aku tersenyum dan tanpa sadar Ayssa tengah memerhatikanku.

"Hola!" Katanya sukses membuatku terkejut bukan main. "Kamu ini kebiasaan melamun terus. Ga di kantor, ga di bandara kemarin, ga di restoran, ga di rumah. Apa sih yang kamu pikirin?"

Aku tertawa sambil mencubit pipinya. Gemas sekali. "Aduh ayssa,"

"Hm?" Katanya sambil mengelus pipinya yang tampak sedikit merah.

"Terkadang kita harus mengingat masa lalu untuk dijadikan bahan kenangan atau bahan kebahagiaan."

Dia mengangguk, lalu sejurusnya menatapku. "Tapi kebahagiaan bisa dicari Rein. Ga usah sampai mengingat yang lalu, kita jalani saja apa-apa yang terjadi di hari ini."

Aku tersenyum lalu meneguk air putih. Menyimpannya lagi, dan kembali melanjutkan memakan cimol kering. "Benar sekali Ayssa. Kamu pintar." Kataku. "Tapi, ada satu hal yang biasanya sudah terbiasa membuat kita bahagia. Lalu ketika dia pergi, hidup kita seperti hampa dan kosong. Lalu bagaimana cara kita bahagia lagi seperti halnya dia ada di kehidupan kita dulu? Yaa sedikitnya dengan mengenang, mungkin semuanya tak terasa begitu perih."

"Sayangnya aku belum pernah merasakan itu Rein. Jadi aku tak mengerti apa maksud ucapanmu."

"Kamu beruntung Ayssa. Dan jangan pernah sekali-kali berharap kamu ingin mengalaminya."

"Memangnya kenapa?"

Aku mengusap sedikit air yang ada di ekor mataku. "Semuanya tak akan pernah kamu bayangkan."

Dia langsung memelukku begitu erat. "Terima kasih Rein, setidaknya kamu membuatku mengerti tentang hidup. Walau belum sepenuhnya aku mengerti, tapi kamu mau kan mengajariku?"

"Tentu sekali." Jawabku antusias.

Tiba-tiba kami mendengar ada seseorang yang datang dari luar dan akan membuka pintu. Kami segera melepas pelukan. Ketika pintu sudah terbuka, ternyata yang datang adalah bibi. Aku lekas menemuinya sambil mencium tangan kanannya, begitu pula Ayssa.

"Ayssa, Reine." Sapanya begitu ramah, "sejak kapan kamu pulang?" Lanjutnya menanyaiku.

"Baru saja tadi, bi."

Aku melihat di belakang, bibi membawa begitu banyak barang. Aku segera membantu membawakannya bersama Ayssa.  "Barang-barang apa ini bi?" Aku penasaran.

Bibi menolehku, "oh itu. Sebenarnya, bibi akan merayakan anniversary pernikahan bibi dengan paman."

"Wah itu pasti seru." Timpal Ayssa.

Aku segera menyautnya. "Benar sekali."

Bibi terlihat senang. "Dan tepat, Bibi juga akan mengundangmu Ayssa. Nanti sore ke sini ya,"

"Wah bibi serius mengundangku?" Ayssa menghampiri Bibi dengan raut yang terlihat bahagia.

Bibi mengangguk.

Mereka berdua tertawa sambil mengobrol tentang suatu hal. Sementara itu aku membereskan barang-barang, tapi di barang terakhir, aku melihatnya sedikit penyok dan kotor.

"Bibi, apa ini sudah kadaluarsa?" Tanyaku.

Bibi lantas menghampiri lalu memeriksanya. "Oh tidak, semua barangnya bagus. Tadi di jalan barang Bibi ada yang jatuh, dan-"

"Ya Allah!" Bibi seperti tengah mengingat sesuatu, dia lantas pergi ke luar sambil tengok kanan Dan kiri. Sementara itu, aku mengikutinya dari belakang.

"Ada apa bi?"

"Anak itu kemana?"

Aku bingung. "Anak siapa?

"Tadi bibi pulang dari toko. Terus pas di jalan barang Bibi ada yang jatuh, lalu ada seorang pria yang menolong bibi dan membawakan barang-barangnya sampai rumah."

"Lantas?" Timpalku.

"Bibi memintanya untuk menunggu di sini. Dan karena tadi bibi terlalu asyik ngobrol bersama kalian, dia jadi terlupakan."

Aku menenangkannya yang nampak sedikit gelisah. "Tak apa bi, yang terpenting Bibi sudah berterima kasihkan padanya?"

Bibi mengangguk. "Tapi tadi bibi suruh dia jangan dulu pulang."

"Mungkin dia ada urusan mendadak dan belum sempat meminta izin pada bibi."

Bibi nampak berpikir. "Benar juga."

Lalu aku mengajaknya masuk, "ya sudah, lebih baik kita persiapkan buat acara nanti bi."

"Tapi Rein," bibi duduk di sofa.

"Iya?"

"Bibi masih kepikiran sama pria itu."

"Bibi tak usah khawatir. Semoga suatu saat Bibi bisa bertemu lagi sama pria yang sudah menolong bibi tadi," kataku sambil memasang tali warna warni di dinding.

"Semoga. Habisnya tadi bibi kasihan lihat kakinya sedikit bengkak. Maka dari itu Bibi memintanya di sini dulu untuk diobati."

Aku langsung menghentikan pekerjaanku. "Bengkak?"

Tiba-tiba aku mendengar Ayssa yang awalnya ikut menghias dinding di sebelahku berteriak. "Kakak!" Suaranya mampu membuat aku dan Bibi terkejut lalu spontan mengikutinya ke luar.

Apa? Lelaki itu ada di sini?

Ayssa menghampirinya dengan mata berbinar. "Kakak? Kamu ada di sini?"

Bibi terkejut lalu ikut menghampirinya juga. Sementara aku memutuskan mundur dan masuk ke dalam rumah. Tapi suara mereka masih terdengar jelas di telingaku. Aku duduk di sofa sambil mendengar apa yang mereka bicarakan. Sedikitnya aku penasaran juga.

"Dia kakakmu?" Tanyanya pada Ayssa.

Dia mengangguk mantap.

"Ya Allah, ternyata dunia ini sempit ya."

Mereka terkekeh.

"Oh iya, kamu dari mana saja tadi? Saya kira kamu sudah pulang." Kata bibi.

Aku mendengar dia tertawa kecil. "Maaf bu, tadi saya ikut ke samping cuci muka dulu. Terima kasih atas airnya."

Aku mengintipnya dari dalam. Sepertinya Bibi tampak antusias sekali melihat lelaki itu. "Oh tidak apa-apa. Saya kira kamu pulang tadi." Kata bibi.

"Oh kakak Ya Allah!" Ayssa tampak terkejut.

"Apa?" Jawabnya.

"Eh sebentar. Bibi, ponakan bibi mana? Kok dia tiba-tiba ngilang?"

Sepertinya Bibi baru menyadari aku tak ada di sana. "Eh iya ya dia di mana. Sebentar Bibi cari."

Aku langsung gusar dan bingung mau melakukan apa. "Ah Ayssa, kamu menyebalkan." Gerutuku.

Aku langsung mengalihkan perhatian pada dinding dan tali tadi. Oh iya! Aku harus memasangkannya dan harus terlihat sibuk di depan Bibi ketika dia menemuiku.

"Rein?" Bibi menyapaku di belakang. Keringat mulai membasahi pelipis. Lalu kuusap dan bersikap biasa saja di depan Bibi. "Iya bi ada apa?"

"Kamu dari mana saja?"

"Aku di sini bi." Jawabku sedikit gugup.

"Oh iya," bibi menarik tanganku. "Bibi akan kenalkan kamu pada pria yang sudah menolong bibi tadi."

Aku terkesiap lalu menahan tangannya. "Tidak bi."

"Lho kenapa?"

"Em, aku sedang sibuk." Jawabku sekenanya.

"Ah ini hanya alasanmu." Bibi lantas menarik tanganku sampai ke luar. Padahal aku tak mau, tapi Bibi bersikeras membawaku. Aku tak bisa apa-apa dan lagi-lagi, aku harus menemuinya untuk yang ke beberapa kali.

Setelah sampai di teras, aku tak berani menatapnya, tapi kulihat dari ujung mata, dia seperti terkejut melihatku.

"Reine?" Dia bergumam tapi suaranya masih terdengar jelas pada telingaku.

Bibi mendongakan kepalaku. "Rein? Kamu mengenalnya?" Wajahnya terlihat senang.

Aku diam. Sementara lelaki itu tampak bingung.

Lalu Ayssa menyela, "iya bi. Mereka sudah saling mengenal satu sama lain."

Ekspresi bibi begitu senang ketika mendengarnya, dia langsung memelukku sambil berkata, "Reine, bibi tak  menyangka kamu sudah mengenal lelaki ini. Dia pria yang baik."

Aku gugup dan terasa bosan. Ketika bibi mengalihkan pandangannya pada Hamzah, aku berusaha mundur dan pergi dari mereka.

"Ka, kenapa kakimu bisa bengkak seperti ini?" Ayssa nampak khawatir.

Hamzah tersenyum sambil sedikit melihatku. "Tadi ada drama kecil di jalan."

"Lalu? Ini apa?" Katanya sambil menunjuk kakinya yang sedikit basah.

"Oh ini, tadi ada wanita yang memberiku salep ketika aku keseleo."

Dia menatapku. Aku semakin gugup dan kakiku gemetar. Ayssa dan bibi tak memerhatikanku, tapi ketika aku akan masuk, kakiku terbentur kursi hingga membuat mereka langsung menolehku. "Reine, kamu ngapain di sana?" Kata bibi.

Aku tak tahu harus menjawab apa. "A-anu bi," jawabku. "Aku akan membawakannya obat."

Hamzah langsung menyelaku, "tidak usah. Aku tak merepotkan orang yang gugup." Dia seperti tahu reaksiku.

Aku langsung menghampirinya. "Hei! Siapa yang gugup?"

Ayssa mengamatiku sambil terkekeh. "Nah kan kelihatan gugupnya."

Lantas bibi dan Ayssa menertawaiku. Sedangkan Hamzah hanya tersenyum licik ke arahku. Orang ini memang menyebalkan. Suatu saat nanti aku akan menjahilinya lagi.

Keduanya nampak mengobrol akrab dengan bibi. Sedangkan aku dalam hati, terus saja menceracau Hamzah kapan dia pulang. Rasanya malas sekali bertemu dengan orang ini. Padahal aku duduk sedikit jauh darinya sambil ngemil, tapi ucapan dan tawanya mengganggu telingaku.

Awalnya bibi menawari Hamzah untuk masuk ke dalam rumah. Tapi dengan spontan aku mengatakan tidak, sejurusnya reaksi mereka tampak aneh padaku.

"Ma-maksudku, bukan tidak boleh. Tapi di dalam sedang berantakan mau ada persiapan. Kan rasanya tidak enak kalau ada tamu, tapi kondisi rumah berantakan." Jelasku mencari alasan.

Bibi menyahut. "Benar juga."

Dan tak lama kemudian, Hamzah meminta pamit pulang pada bibi. Aku nampak lega mendengarnya. Ayssa mencium tangan bibi lalu menemuiku. "Aku lihat kamu nampak gugup pada kakak. Nanti besok mungkin kamu suka." Katanya tiba-tiba yang membuat kedua mataku melebar.

Ketika mereka akan pulang, bibi mengusap kepala Ayssa dan Hamzah sambil berkata, "nanti malam kamu berdua ke rumah ya, kita rayakan momen pernikahan bibi bersama-sama."

...

Ekspresiku ketika mendengar bibi mengatakan itu (-_-) haha:v

Assalamualaikum, gimana kabarnya?

Semoga sehat ya.

Jangan lupa beri hadiah+commentnya juga.

+++#stayathome oke.

ohiya, kalau ada kesempatan, silakan di review ya karya saya dan jangan lupa tambahkan rating juga agar menjadi motivasi saya ke depannya. terima kasih^^

Phir Milenge

Salam