Jika berdua membuatmu lelah,
sesekali boleh sendiri.
Tapi tidak untuk waktu yang panjang.
Hanya aku yang tidak tahan di sini.
............
Bagi Reev kolam belakang sekolahnya adalah tempat ternyaman untuk sekedar merenung sejenak dan menyendiri. Sebuah pohon sawo tua sudah sejak lama berada di sana. Pohon itu pendek dengan batang besar yang mungkin sengaja dikerdilkan sejak pertama kali ditanam. Dedaunanya yang lebat bahkan meranggas hingga atap gudang. Reev menganggap ini adalah sarang terbaik untuk tidur di jam kosong. Kelas terlalu berisik. Oke, ini begitu sempurna sebagai tempat pelarian sementara dari segelintir gundah di hatinya.
Dahan pertama pohon itu sudah lama ditebang, sehingga bisa digunakan untuk pijakan memanjat ke dahan yang lebih tinggi, pada dahan kedua itulah posisi terbaik untuk tidur. Selain rimbunnya bisa menyejukkan, pada musimnya pohon ini tetap berbuah banyak. Sayangnya Reev tidak terlalu suka sawo segar, getahnya membuat Reev jengkel.
Tidak ada murid-murid yang sering datang kemari selain pak Cokro yang sering membakar sampah di dekat gudang sekolah. Dan yang pasti, tidak ada cerita mistis yang mengatas namakan pohon sawo ini. Reev bukan penakut, hanya saja ia risih jika benar-benar harus berurusan dengan makhluk selain manusia. Karena jika ada keributan Reev bingung bagaimana bernegosiasi untuk menempuh jalur damai kepada mereka, itu saja. Untuk beberapa semester kedepan hanya Kareev Sengkana yang menjadi penunggu sah pohon sawo SMA Kryphton.
Banyak hal yang Reev cintai dari sekolah ini, salah satunya adalah penghuni Kryphton yang baru saja melintas di depan pohon cempaka kipas itu. Reev jelas tahu betul, hatinya menginginkan Shillan lebih dari banyak nada yang pernah ia mainkan. Shillan begitu teduh, hatinya sejuk terbawa tatap Shillan yang menghanyutkan. Tapi Shillan lebih mencintai hal lain, lebih dari Kareev Sengkana yang bahkan betah bersandar pada batang sawo hanya untuk menatap Shillan. Sayang sekali entah berada di urutan ke berapa bila Reev disejajarkan dengan rumus-rumus yang ada pada lembar tugas sekolah milik Shillan Kelana. Sial, Reev patah hati hanya dengan mengingat kenyataan itu. Terlalu cepat membuatnya padam sebelum menyala.
Bukan, Reev tentu saja sudah menyala dengan terang benderang sebelumnya. Hanya saja, Shillan mulai menyerah. Bahan bakarnya mulai menipis untuk sekedar bersama Reev dan melihatnya kembali menyala-nyala dengan api euforia kasmaran abadinya.
"Reev!"
Kareev mengumpat pelan, kesal lantaran kaget dan hampir terjungkal jatuh menuju bumi. Seketika ia membayangkan pertamina terdekat kemudian menyiram pertalite untuk membumi hanguskan manusia di bawah sana.
Gamma, bedebah zaman batu sialan!
"Woi!"
Mau tidak mau Reev melompat turun kebawah kemudian menepuk-nepuk punggungnya yang sedikit kotor karena bersandar pada pohon.
"Kenapa?" tanya Reev memberi tatapan sengit karena masih kesal. Sedangkan Gamma menahan gelaknya untuk sesaat.
"Gue ada perlu."
"Perlu semacam apa yang ngebuat lo sampai repot-repot dateng ke sarang gue."
Gamma terlihat sedikit wah dengan kalimat Reev barusan.
"Pohon sawo itu maksud lo?" Gamma bertanya seolah melihat fakta bahwa Reev memiliki kepala bercabang dua.
Reev tidak menjawab.
"Oke, lupain. Gue ada perlu sama Shillan sih sebenernya."
Reev memberikan seluruh fokusnya kepada Gamma setelah nama Shillan dibawa-bawa. "Kenapa?" ketusnya, seolah sosok Gamma saat ini adalah tersangka utama yang sangat patut di curigai.
"Ya elah, Reev. Belom juga selesai. Gini, gue mau minta kontak Shillan."
"Maksud lo apa nih?"
"Reev," Gamma menarik napas melihat Reev yang semakin menaikkan siaga, ia merapalkan sedikit ayat pendek sesempatnya dalam hati, barangkali Reev mulai dikuasai oleh memedi batang sawo tempatnya bernaung selama ini. "ini untuk kebutuhan buletin, oke. Gila ya, lo ngeliat gue kayak udah mau nelen."
Reev tidak begitu saja percaya, bahkan ketika mars sudah benar-benar menyerupai bumi sekalipun, tapi mengingat Gamma adalah ketua jurnalistik mungkin saja itu benar kenyataanya. Dengan sedikit merubah raut muka menjadi lebih nol koma lima persen bersahabat dan tanpa menurunkan ego lantas ia menjawab, "oh, minta aja sendiri."
"Ya, awalnya gue juga mau minta sendiri. Tapi Shillan sibuk terus, gue bahkan setiap kali istirahat ke kelas dia. Tapi kata temen sekelasnya Shillan ikut pak Iro buat latihan nyiapin Olimpiade."
"Ya udah tunggu aja sampai olimpiadenya selesai."
"Ya keburu basi buletin gue, kambing!" gemas Gamma. "yang mau dibahas justru olimpiadenya," tambahnya seketika spanning tak tahan.
"Oh."
"Allah... " mungkin saja jika sedang memegang tasbih Gamma akan melanjutkan dengan tahmid, dzikir dan do'a.
"Lo kan tau, Shillan nggak suka ngasih kontaknya ke sembarang orang."
"Iya, sih." Gamma mengerti. "tapi gue butuh banget loh ini. Masa lo enggak bisa bantuin," kekehnya.
"Gue bukannya nggak mau tapi emang lagi nggak bisa, sebaiknya lo sendiri aja yang minta langsung ke dia."
Terlihat Gamma sempat bingung mendengar ucapan Reev barusan, "apa susahnya sih Reev. Gini aja deh, kalo Shillan sampai marah. Gue yang bakal jelasin deh, gimana?"
Reev nampak mempertimbangkan kalimat Gamma. Tapi jelas bukan itu permasalahannya, bagaimanapun termasuk kehendaknya juga jika sampai memberikan kontak cewek itu. Terlebih, Shillan tidak terlalu menyukai kontaknya dimiliki banyak pihak. Walaupun Gamma adalah teman tapi Gamma tidak bisa dikategorikan teman yang sebenarnya menurut cewek itu. Ah, intinya keribetan yang ada pada diri Shillan sangat sulit dimengerti. Jika sedikit saja ia berbuat kesalahan maka akan memperburuk suasana diantara mereka berdua. Lagi pula tidak ada yang tahu hubungan Reev dan Shillan saat ini seperti apa.
"Nanti gue aja yang hubungi Shillan, setelahnya lo yang bakal jelasin sendiri."
Gamma menghela napas, sedikit lega.
"Yaudah deh, gimana lo aja. Tapi nanti langsung kasih tau gue kalo Shillan udah ngasih kabar."
"Ya."
Gamma menepuk bahu temannya, kemudian ia berlalu meninggalkan Reev bersama kekalutannya. Haruskah ia menghubungi Shillan terlebih dahulu.
~¤¤¤~
"Hai."
"Shillan hai."
"Hai, Lan."
"Gini, Lan."
"Shillan ayo kita baikan!"
Dan Reev mulai merasa gila.
Sepulang sekolah Reev masih setia bersama kekalutan yang ia bawa, berdialog sambil ancang-ancang tekan tidak tekan, panggil tidak panggil. Astaga! Kepalanya sudah sakit memikirkan strategi untuk menghubungi Shillan. Tinggal mendial kontak gadis itu saja jarinya seperti dibatasi tembok cina sepanjang 10.000 Li yang tidak berkesudahan. Rumit, sangat amat rumit untuk menyelesaikan labirin ego untuk menghubungi satu sama lain.
"Reev?"
Allahu Akbar!
Reev mencari sumber suara, sepertinya tidak asing. Semacam candu yang sempat hilang beberapa minggu ini, tapi dimana?
"Hallo, Reev?"
Reev melirik pada hp yang menunjukkan panggilannya untuk Shillan telah tersambung dan mengeluarkan gelombang suara dari ujung sana. "I_ya. Hallo!" oke terlalu bersemangat dan kenapa ia lemah bagai perempuan seperti pertama kali waktu pendekatan, tapi tidak masalah. Reev terlalu kaget untuk waktu yang tidak terduga.
"Aku nggak sengaja telepon kamu," ada jeda disana tapi Reev melanjutkan, "maaf." hanya maaf.
"Oh, oke. Nggak masalah." Shillan tidak langsung menjawab tapi terdengar sedikit khawatir setelah ia mengeluarkan suara. Atau ini hanya delusi Reev semata.
Lama Reev terdiam, bahkan tidak sempat untuk menjawab lagi. Dia melirik sambungan yang telah terputus satu menit yang lalu. Ada sorot yang begitu sulit untuk diartikan. Sungguh, Reev merindukan Shillan.
"Astaga, Gamma! Gue lupa."
Tubico!
Bumi Swarang, 14 Agustus 2020
Hope you have a nice day, thanks for reading.
Terima kasih sudah hadir, jangan lupa votement. Kalau kamu suka silahkan save di library.
Terus gimana kesannya setelah baca bagian ini?
Apa yang buat kamu mau baca lagi?
Atau apa yang perlu dibenahi selanjutnya dari cerita ini.
Don't forget buat mampir ke lapak pribadi aku ya, kepoin yang belom lama netes juga

Find me on :
Instagram : @in_tanns
Wattpad : dioreenote
___________
________________
____________________
D
I
O
R
E
E
N
O
T
E