Sesak itu hanyalah bagian kecil dari rasa yang saat ini timbul, ketika menghadapi kenyataan bahwa kita tidak lagi berada pada jarak sedekat dulu. Jauh.
...............................
Usai pertemuannya dengan Shillan yang sama sekali tidak ada kemajuan, hanya jalan di tempat dengan kata putus yang tidak Reev konfirmasi itu. Reev menyadari bahwa rentang jarak yang hadir diantara keduanya semakin terasa menyiksa, entah kenapa saat ini Reev memikirkan kata putus yang selalu Shillan keluarkan. Sedikit dari egonya tergores sebagai lelaki yang masih menginginkan sebuah hubungan. Tapi ketika mengingat kegigihan Shillan yang ingin putus setiap kali menemuinya membuat Reev merasa bahwa mungkin gadis itu sudah tidak lagi memiliki perasaan untuknya. Maka dari itu Reev memutuskan untuk mengirimi pesan satu jam lalu agar Shillan datang menemuinya.
Disinilah saat ini Reev berada, sebuah kafe tempat biasa mereka menghabiskan waktu berdua. Sebelum semua yang tidak pernah Reev bayangkan akan terjadi. Reev memilih untuk mengikuti keinginan gadis itu setelah lama berpikir panjang dan menemui banyak lorong buntu pada pikirannya.
"Reev."
Suara itu memecah lamunannya, menghentikan jarinya yang sejak tadi memainkan kotak kecil pada genggamannya diatas meja.
"Sudah datang, dengan siapa?"
Shillan tidak menjawab. Pandangan Reev beralih pada parkiran kafe yang bisa dilihat dari dalam karena hanya dibatasi oleh kaca besar yang tembus pandang. Orang yang sama ketika mengantar Shillan sepulang sekolah waktu itu, Reev mengingat hanya dengan melihat motornya.
"Aku kira kamu sendiri datang kemari." Reev mencoba untuk tidak menghampiri laki-laki di luar sana karena rasa kesalnya yang timbul akibat banyak dugaan yang mampir di kepala. Sementara Shillan, masih diam duduk pada posisinya tanpa kata.
"Pesanmu itu, apa kamu benar sudah memikirkannya?"
"Kemauan kamu kan, aku sudah menyerah setiap kali kita ketemu kamu selalu minta putus."
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Seakan Datangnya Shillan kemari hanya untuk melihat bahwa Reev benar-benar menyerah pada perasaannya.
"Aku pastikan setelah ini kamu tidak lagi meminta kita berakhir, karena mulai sekarang aku membebaskan kamu dari hubungan kita." entah siapa yang memulai menciptakan hening, hingga drama patah hati ini semakin menguarkan aura menyesakkan. Atau hanya Reev saja yang merasakannya.
"Reev," lirihnya. Entah yang ingin Shillan katakan, tapi menit berselang hanya itu yang keluar dari mulutnya.
"Aku harap kamu lebih bahagia setelah ini, nggak banyak yang bisa aku katakan." Reev menggeser kotak kecil di atas meja yang tadi di genggam ke arah gadis di hadapannya. "Anggap saja itu salah satu kenangan yang bisa kamu bawa, selain perasaan aku yang masih ada. Aku nggak lagi menuntut kamu untuk menjelaskan alasan dari kemauan berakhirnya kita. Karena aku yakin kamu lebih memilih untuk bungkam tanpa penjelasan."
Setelah bekata demikian Reev bangkit dari duduknya, "Aku harap, ada hari dimana kamu datang untuk menjelaskan situasi ini." Reev menatap Shillan dengan sorot mata terluka sekaligus pasrah. "Makasih sudah ada untukku dalam waktu Setahun ini."
Setelahnya Reev benar-benar beranjak meninggalkan Shillan yang masih duduk terpaku pada tempatnya. Reev keluar dari kafe itu tanpa berkeinginan untuk menoleh lagi, takut jika tekadnya untuk terus berjalan akan hilang dan kembali menemui gadis di dalam sana. Meluruhkan hati, sungguh dia benar-benar menghianati perasaannya.
•••¤¤¤•••
"Yakin?!"
Kata itu sudah terdengar mengulang yang ketiga kali di telinga Reev. Bosan dengan situasi ini Reev memilih untuk tidak menjawab lagi untuk sekedar meyakinkan.
"Nu, coba pinjem termometer di UKS. Barangkali anak ini suhu badannya menghawatirkan." Nada berucap demikian dengan mukanya yang dibuat serius, sedari tadi jarinya menunjuk-nunjuk muka Reev dengan heboh menyuarakan ketidak percayaannya.
"Enak aja, gini-gini temen gue nggak demam kali. Dia masih waras juga kok." Delta membela tapi punggung tangannya berada pada Dahi Reev yang langsung saja kena tepis. Maksudnya apa coba.
"Nah, gitu dong. Jadi aku nggak selalu nguber kamu kayak depkolektor nagih utang." suara itu jelas sangat bersemangat.
"Kalo gitu gue cabut dulu," kata Reev, kemudian pergi.
"Jagan lupa minggu sore di gedung pertemuan!" Nada mengingatkan dengan semangat sebelum cowok itu semakin jauh.
"Ya," tetap berjalan, Reev membalas tanpa menoleh.
Bersama Delta, Reev menemui Nada untuk mengkonfirmasi kesediaannya mengikuti pagelaran seni akhir tahun mengisi posisi pianis untuk Simphony angkatan 32 tahun ini. Keputusan itu ia ambil bersamaan dengan keyakinannya yang juga melepaskan Shillan. Keputusan menerima dan melepaskan ini Reev harapkan akan membuat pikirannya berangsur membaik kedepannya, semoga.
"Seneng banget ya. Finally, dia acc juga buat join."
"Iya dong, Nu. Melalui dia impianku bakal tercapai, gimana aku nggak seneng coba."
Banu meringis mendengar kalimat itu.
"Seandainya aku bisa main piano, mungkin aku ya yang akan kamu korbankan."
Sontak saja kalimat sahabatnya membuat Nada terbahak, tidak tersinggung sama sekali dengan kalimat yang mirip sindiran yang Banu lontarkan.
"Menekan kunci pada senar gitar saja jarimu sudah gemetaran, apalagi bermain piano yang alat musiknya saja tidak pernah kamu pegang." Nada menyingkirkan setitik airmata pada sudut matanya akibat puas menertawakan Banu yang dongkol dengan cemoohan gadis itu.
"Udah, kamu cukup hanya fokus dengan ayam penyet. Dan jadi juragan ayam di masa depan kelak yang punya outlet dimana-mana." lanjutnya masih dengan nada menggoda sambil merangkul Banu.
"Ck, apaan sih!" Banu menarik kuncir kuda Nada dengan kesal kemudian lari menjauhi Nada yang berang dengan aksinya.
"Heh! Kamu pikir itu nggak sakit apa. Kalau rambutku botak bagaimana."
"Ah lebay, kamu. Seharusnya berterimakasih dong, mungkin kan sama kayak bulu ketek yang di gunting terus jadi kuat."
"Kamu samain rambut ku dengan bulu ketek samson gitu!"
Nada menghentakan kakinya pada ubin lorong kelas XII, kesal lantaran ditinggalkan Banu dan tertawaan anak itu menggema sepanjang koridor.
Tidak masalah dengan Banu yang kian meledeknya. Nada sudah sangat bahagia dengan keputusan Reev yang sangat-sangat ia nanti selama ini. Mimpi apa ia semalam. Padahal selama ini cowok itu getol sekali menolak untuk bergabung.
Tapi tidak apa. Yang penting tujuannya bisa terpenuhi, walaupun ia akan dongkol setengah mati menghadapi sikap sombong Reev yang sangat ia benci.
Mulai dari detik ini langkahnya terasa seringan kapas, membayangkan suksesnya keberlangsungan Simphony tahun ini membuat hatinya berbunga-bunga. Ah, rasanya hari ini begitu cerah hanya untuk Nada seorang. Angannya terbang sangat jauh dengan hanya karena Reev. Seketika Nada merutuki pikirannya barusan. Tidak, Reev itu batu loncatannya. Ya, itu baru tepat.
Disisi lain Shillan melihat semua itu, sedari tadi ia duduk di dekat pohon cemara kipas seperti biasanya. Tapi Reev seperti tidak menyadarinya, atau sengaja mengabaikannya. Entahlah, tapi gadis itu mengulas senyum untuk keputusan Reev. Shillan juga berharap. Semoga dengan ini Reev bisa kembali seperti biasanya.