Chereads / Pak Guru Aku Mencintai Mu / Chapter 57 - Bab 57

Chapter 57 - Bab 57

Selambat gerakan jarum jam, Kedipan mata mulai melambat.

Riuh suara air mengalir menghantam batu.

Pagi yang cerah di hari Sabtu, Vila ini di sini masih asri, tak jauh dari sini sungai berair jernih mengalir, di seberang sana bukit menjulang tinggi mentari elok masih malu untuk menampakkan dirinya.

Ia masih tertidur lelap, dalam selimut tebal.

Melihat nya begitu tenang saat tertidur adalah hal yang paling aku sukai.

Mungkin kedengarannya aneh namun ini seperti hobi saja, semenjak hari itu aku mulai mengajak nya untuk jalan-jalan, menemani ku melihat indahnya dunia yang kecil ini tak perlu mengelilinginya...

Ah... Masih asri, segarnya udara pagi kadang membuat ku menghirup nya terlalu dalam.

"Ayah, ibu aku sekarang sangat bahagia, apakah kalian juga bahagia?" gumam ku, menatap langit dari balkon, Menikmati indahnya lukisan yang tuhan berikan.

Pagi berganti siang, awan mulai mendung, Tak lama hujan pun turun, aku dan ia hanya bisa duduk dan melihat air hujan yang turun dengan deras.

Kami berbincang-bincang, Secangkir teh membuat hangat tubuh ini, dan... Juga pelukan darinya

Kenapa akhir-akhir ini menjadi sulit untuk ku, aku bagai hilang gairah hidup.

Mungkinkah?

Ah... Itu...?

Sepanjang jalan ini tak bisa lagi aku menikmati keindahan latarnya. Bila begini jadinya, "jangan...!"

"Bisakah aku berbicara jujur kepadamu?"

Apa maksud dari perkataan ini, aku tak tau melainkan menyuruhnya berbicara, membicarakan sesuatu itu.

"Sebenarnya tentang kemungkinan aku sembuh adalah kebohongan, aku tak ingin lagi berbohong tentang ini. Maksudku aku tega melakukan itu, bersekongkol dengan dokter dan membohongi diri mu. Namun, setiap kali aku berbohong aku selalu merasa bersalah, tentang penyakit ini sungguh ini bagai kemustahilan untuk kata sembuh, wajar saja ini sudah pangkal/ujung dari keberadaan ku. Jika kamu mau marah silahkan, Akhirnya aku bisa berkata jujur disaat umur ku sudah menunggu detik waktu, kamu tau sekarang aku sungguh merasa sangat sakit dikepala ku, mereka menggerogoti nya, rasanya kepala ku seperti di tusuk paku. Hahaha... Sungguh menyedihkan ya? Jika perpisahan sungguh menyakitkan maka pertemuan aku anggap hal yang membahagiakan bagi kita. Kamu yang sungguh ceria, kamu sungguh bisa mencairkan bongkahan es di hatiku, kamu ubah gelap didiriku menjadi sebuah cahaya, aku sungguh terpukul akan kehilangan orang tua ku dimana disaat itu aku sudah mencapai nya, namun mereka harus pergi dan tak bisa menikmati capaian ku ini. Kamu menganggap aku adalah sebuah cahaya bukan? Namun kamu lah cahaya bagi ku sendiri. Aku sungguh mencintai mu, rasanya semua menjadi putih, aku akan segera berakhir hari ini. Jadi... Aku... Akan mengatakannya untuk pertama dan terakhir kalinya... Dalam lubuk hati ku yang paling dalam, sungguh aku mencintai mu Ania Assandra."

"PAK GURU...!"

AKU TAK BISA ! AKU SUNGGUH TAK BISA MENERIMA INI SEMUA...! ia harus pergi meninggalkan ku sendiri disini, aku tak bisa.

Tuhan tak adil, kenapa semua yang aku cintai harus pergi meninggalkan ku, meninggalkan bekas luka yang begitu mendalam, bukankah ini sungguh menyedihkan di dalam sebuah cerita hidup ku?

Jika aku memikirkan itu, aku akan selalu terbawa kenangan itu.

Mencintai guru ku sendiri, bahkan menikah dengannya.

Hidup bersama dalam kehangatan dalam dekapannya.

Ia bagai cahaya senja menembus gelapnya hati ku.

Bercanda, begitu ria.

Ciuman hangat dan kata romantis.

Sejenak membayangkan itu aku pun larut dalam kesedihan.

Air Mata tak mau mengering, setiap hari tanah ini Ku sirami.

Rumput pun menjadi subur.

Aku merindukan dirinya, aku merindukan pelukannya, aku merindukan ciuman mesra itu.

Bila malam datang, angin menembus celah ventilasi, menyentuh kulit ku.

Merasakan dingin dalam kemeranaan, aku ingin dekapannya itu.

Semenjak tuhan memanggil mu, perlahan-lahan seiring waktu aku pun menua tubuhku tak seperti dulu, rambut dan gigi ku mulai meninggalkan ku juga.

Tanganku begitu gemetaran saat aku mulai membuat kata dalam tulisan. Sepi sunyi dalam rumah tua ini, beginilah keseharian ku. Sembari menunggu detik akhir dari kehidupan ku.

Dulu aku selalu menyalahkan tuhan atas apa yang aku alami, namun aku begitu bodoh dan tak menyadari bahwa aku lah yang memilih kehidupan menyedihkan ini.

Apakah kamu juga sedang menunggu kedatangan ku? Aku harap begitu, cerita kita sungguh penuh warna, bagai mana tidak, kamu lah yang membuat warna itu, tanpa kamu mungkin hidup ku hanya terpaku kepada kekaku'an semata.

Kakak ku sudah pergi, begitu juga suaminya, sekarang giliran ku, Hahaha... Sungguh merepotkan saja.

Kenapa aku tak cepat menyusul mu ya? Entahlah mungkin tuhan punya rencana sendiri.

Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya,Tio