Chapter 2 - Awal di Dunia Baru

Waktu berlalu dengan sungguh cepat, matahari yang rasanya baru kulihat di ufuk timur, saat ini sudah berada di ufuk barat dan semakin lama, wujudnya semakin hilang dari permukaan bumi---ehm, nama planetnya kurasa sudah berubah.

"Terima kasih, atas kerja kerasmu hari ini"

"Oh! Terima kasih juga, atas kebaikanmu hari ini, paman!".

Aku melambaikan tangan kananku secara lembut, yang mana menandakan sebuah salam perpisahan ke arah pria gemuk dengan celemek, yang saat ini sedang berdiri di depan pintu sebuah toko kue.

---Yaaah, pekerjaanku sebagai karyawan toko kue, cukup melelahkan.

Entah bagaimana, hari ini lebih ramai dari biasanya.

Sepertinya kue cubit, yang menjadi menu baru di tokoku, menjadi hal yang paling diburu oleh para pengunjung. Baru juga satu jam dijual, kue cubit langsung ludes terjual.

---Fiuh, entah berapa kali, aku membuat ulang kue cubit hari ini.

Tunggu sebentar.

Sepertinya ada yang aneh.

Ada sesuatu yang mengganjal hatiku.

---Apa ya?.

Otakku dipaksa berpikir keras.

Agar bisa menemukan keanehan apa, yang mengganjal hatiku.

Lalu, aku pun merogoh saku yang ada di celanaku dan mengambil dua koin perak.

"Bodo amatlah, pulang kerja enaknya ke pemandian air panas".

Dengan langkah pasti, segera aku menuju tempat pemandian umum.

"Mandi air panas, setelah bekerja keras seharian, memang sangat nikmat, rasa pegal langsung hilang sekejap".

Aku bergumam sepanjang perjalanan menuju sebuah kedai.

Kedai yang sangatlah terkenal di kota ini, tak heran jika tempat ini selalu ramai oleh para petualang maupun warga biasa.

---Aku ingin makan ayam geprek buatan Lucy hari ini.

Sesaat setelah aku memasuki kedai, aku langsung mengarahkan pandanganku ke meja kosong sebelah pojok kiri, yang mana itu adalah tempat yang pas, untuk bisa melihat kecantikan Lucy, yang saat ini sedang sibuk memasak.

Dapur di kedai ini, memang bisa dilihat langsung oleh pelanggan.

Hanya meja panjang berbentuk huruf L yang memisahkan dapur dengan tempat para pelanggan makan.

Seorang wanita berambut pirang panjang dengan ikat rambut ponytail, datang dan menghampiri tempat dudukku.

"Ansyah-sama, apa yang kau pesan hari ini".

"Hmm…"

Aku melihat-lihat daftar makanan yang ada di daftar menu, yang sedari tadi kugenggam di tangan kananku.

Beberapa saat kemudian, jari telunjukku mengarah ke satu nama makanan yang terlihat baru saja ditulis ke dalam daftar menu.

"Tentu saja, aku ingin memesan ayam geprek, buatanmu Lucy---dan satu jus kurej untuk minumannya".

Aku mengatakan hal yang tak penting ini, dengan nada semangat.

"A-ah, satu ayam geprek dan satu jus kurej---Ok, mohon ditunggu Ansyah-sama".

Bersiul dan menggoyangkan sendok kayu yang saat ini, ada digenggaman tanganku. Selain hal itu, aku juga sedang melihat betapa cantik dan indahnya Lucy yang sedang memasak pesananku.

---Lucy, memang terbaik. Aku jadi ingin menikahinya.

"Satu ayam geprek dan satu jus kurej, sudah siap dinikmati".

Lucy meletakkan piring dan gelas yang menjadi wadah makanan dan minumanku di meja dengan hati-hati.

Segera aku melahap semuanya.

Akhirnya, cacing-cacing yang ada di dalam perutku berhenti berdemo.

Masakan Lucy, memang sangat enak. Aku tak menyesal, untuk membuang tujuh puluh persen penghasilan perbulanku, dihabiskan hanya untuk makan di sini.

Saat ini rasa kenyang menyelimuti perut dan perasaanku.

"Kau, sepertinya sangat lapar sekali ya, Ansyah-sama".

"Iywyw twntw swjw, wkw swngwt lwpwr swkwlw, wkwbwt kwrjw rwdw ywng bwrw swjw kwlwkwkwn hwrw wnw."

"…Mwnjwdw kwrywwwn swbwwh twkw kww, swngwtlwh mwlwlwhkwn, mwnw gwjwnya kwcil".

"Mengeluh perihal pekerjaanmu, tidaklah baik, Ansyah-sama"

"…Namun, yang terpenting telanlah makananmu dulu baru kamu bicara, aku hampir saja tak mengerti semua yang kamu katakan, Ansyah-sama".

Tersimpul senyuman manis di bibirnya yang indah.

Gluk.

Aku hampir saja, tersedak dibuatnya.

Sial, senyumannya indah sekali.

---Aku jadi ingin semakin menikahinya.

Tidak, tidak tidak, aku masih miskin. Wanita seindah dia, tak boleh menderita akibat kemiskinan.

"Ansyah-sama!?"

"Ah, iyaya"

Aku terbangun dari khayalan tak berguna itu.

"…Ngomong-ngomong, tumben sekali, kau menemaniku makan---dan berhentilah menatapku layaknya aku adalah seorang penjahat".

Ia mendekatkan wajahnya ke arah telingaku.

"Ini adalah imbalan untukmu, karena sudah memperkenalkan makanan ayam geprek ke kedaiku, Ansyah-sama".

Bisikan lembutnya itu, terus terniang-niang di telingaku.

---Fiuh, ini suasana yang sungguh 'panas'.

Sejauh mata memandang, terlihat rumah---gubuk lebih tepatnya, berbaris di kanan-kiri distrik ini.

Banyak orang yang menyebut distrik ini sebagai, distrik 'kumuh'

Di sini, kalian akan menjumpai banyak hunian kumuh, yang mana itu menjadi tempat para petualang miskin dan pemula, tinggal.

---Yups, selamat datang di daerah tempat tinggalku.

Sebuah gubuk berwarna coklat dan hanya memiliki satu ruangan di dalamnya. Dinding-dinding yang menjadi penyangga gubuk ini dibuat dari kayu-kayu yang sudah dianggap 'limbah'. Tak heran jika kayu yang menjadi dinding gubuk itu, terdapat banyak lubang.

---Dan, itulah tempat tinggalku.

Aku merebahkan badanku yang sudah cukup segar ini, ke kain panjang berwarna merah kusam, yang mana kain itu menjadi alasku untuk tidur.

Sembari mendongakkan kepala menatap langit-langit kayu yang penuh lubang, aku memikirkan kembali apa saja yang sudah terjadi hari ini.

"Selamat malam"

Aku bergumam kecil, lalu mencoba memejamkan mata dan perlahan-lahan kesadaranku, mulai memudar.

***

Sinar matahari kembali menerangi gubuk kecil kumuh ini. Mataku yang masih mengantuk perlahan terbuka malas. Aku mulai beranjak bangun dari lantai kayu beralaskan kain tipis berwarna merah kusam ini, tak ketinggalan aku menatap sebuah bayangan pria kurus dengan sorot mata agak tajam, yang ada di dalam kaca penuh sompelan di mana-mana, lalu mencoba merapihkan rambut hitamku yang berantakkan.

---Berapa kali ku rapikan, rambut ini tetap selalu berantakan.

Kaos berkerah berwarna merah dengan sedikit warna hitam di ujung lengan, tak ketinggalan sebuah logo bertuliskan 'Betamart' di bagian dada kiri atas.

Aku ambil baju itu dari sebuah paku yang ada di pojok kanan gubuk, sembari meluruskan bagian-bagian kusut yang ada di baju itu dengan hanya bermodalkan tangan.

Serasa sudah cukup rapi, aku langsung mengenakannya.

"Yosh, waktunya kembali bekerja".

Setelah memastikan semuanya siap.

Aku segera melangkah pergi, meninggalkan gubuk kumuh itu.

Di sebelah utara distrik kumuh, yang mana sebelum memasuki pusat kota Dea. Terdapat sebuah padang rumput yang sangat luas dan hanya warna hijau yang bisa kita temui di sana.

Nama padang rumput itu ialah Louka.

Biasanya setiap pagi, Louka menjadi tempat favorit para penggembala sapi atau domba, untuk melepaskan hewan-hewan ternaknya di sana.

Hal itu cukup wajar, karena makanan favorit para hewan ternak yaitu rumput, tumbuh subur di sana.

Oiya… udara pagi di Louka, sangatlah menyegarkan bahkan mampu menyejukan jiwa bagi siapapun yang menghirupnya.

Itulah mengapa sedari tadi aku selalu membuka mulut dengan lebar. Tak ketinggalan, aku juga mengambil dan menyimpan udara segar ini ke sebuah botol kaca bekas selai kacang.

Tak ada salahnya mengambil sebanyak mungkin, udara yang sehat ini.

Sebelum udara ini, tercemar oleh polusi.

Tiga puluh menit berlalu, akhirnya aku tiba di tempatku bekerja.

Aroma kue yang baru saja keluar dari pemanggang, menyerbak ke seluruh ruang toko.

Siapapun pasti akan menjadi lapar, jika menghirup aromanya.

Guuu~~~

Entah bagaimana, perutku selalu sangatlah sensitive dengan aroma ini.

Meski sudah sering menghirupnya, setiap pagi.

"Wahahaha Ansyah, masih pagi begini kau sudah mau makan lagi"

"Lagi? Oi, malahan aku pagi ini belum makan, paman!"

"Kalau begitu, tunggu apalagi---cepat ambil roti gandum yang baru kupanggang tadi dan makanlah"

"Twnpw kwu swrwh, wkw swdwh mwlwkwkwnnyw, pwmwn"

"Kau, ini tidak pernah berubah ya, Ansyah wahahaha"

Paman sialan ini, ia selalu saja memukul punggungku setiap kali ia tertawa.

Itulah mengapa, tadi aku hampir mati kesedak dibuatnya.

Astaga, merepotkan sekali orang ini.

Meski begitu, ia adalah orang yang sangat baik.

Ketika saat pertama kali tiba di kota ini, dia dan keluarganya lah yang mau memberiku makanan dan kemudian ia memberikanku sebuah pekerjaan, untuk membuatku bisa bertahan hidup hingga saat ini.

***

Salju terus menghantam wajahku hingga kulitku mati rasa dan tidak bisa merasakan apapun lagi. Begitu juga dengan punggungku saat ini, sebuah timbunan salju berada tepat dibawahku dan rasa dingin dari timbunan salju itu, langsung meresap ke dalam punggung.

Ditambah saat ini, aku hanya memakai kaos berkerah berwarna merah dengan bahan tipis, yang mana itu adalah seragam kerjaku di minimarket.

Sejauh mata memandang, aku tak melihat manusia yang lewat dan melintas di depanku.

---Astaga, bagaimana ini? Apa aku akan mati sebelum membunuh raja iblis.

Badanku sama sekali tak bisa digerakkan, ini semua akibat dari sihir teleportasi yang digunakan oleh kakek tua itu untuk memindahkan aku dari duniaku ke dunia Magia.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh kakek tua itu.

Siapapun yang menjadi objek dari sihir teleportasi. Maka, daya hidupnya akan terkuras sangat banyak, hingga mendekati angka 0.

Oleh karena itu, setelah berhasil melakukan teleportasi, sang objek menjadi tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya dan menjadi sangat lapar.

Satu-satunya cara untuk mengatasi efek sampingnya.

Aku harus makan sebanyak mungkin, sebelum daya hidupku menjadi benar-benar ke angka 0.

Jika, dugaanku tepat, maka aku hanya bisa bertahan hingga tiga jam kedepan setelahnya daya hidupku akan benar-benar habis, lalu aku akan mati.

---Apa aku akan kembali ke duniaku lagi atau langsung ke surga, jika aku mati sekarang.

Tidak!

Tidak!!

Tidak!!!

Aku tidak mau mati, sebelum menjadi raja harem di sini.

---Astaga, seseorang tolong aku!!

Entah sudah berapa kali, aku mencoba berteriak, tapi itu semua menjadi sia-sia.

Tanpa tenaga yang cukup, aku tak akan bisa berteriak dengan keras.

Malahan aku hanya bisa berteriak dalam batin saja dan hanya semakin merusak psikis diriku saja.

Satu jam…

Dua jam…

Dua jam tiga puluh menit berlalu…

Aku mulai pasrah terhadap keadaan.

Setiap detik yang berlalu, nafasku semakin berat.

Hingga semakin lama, rasanya aku semakin sulit untuk bernafas.

Percuma di dalam diriku ada berbagai skill sihir besar dan berguna untuk membunuh raja iblis.

Jika, itu semua tidak mampu kugunakan untuk menolong diriku sendiri, saat ini.

---Huft, sepertinya petualanganku sungguh akan berakhir di sini.

Yaa, mungkin ini emang takdirku. Menjadi seorang manusia yang selalu tidak beruntung.

Di manapun aku berada.

Entah di dunia asliku atau dunia Magia.

Sampai jumpa, impianku.

Ketika aku menganggap, semuanya sudah berakhir.

Aku merasakan sebuah benda panjang nan lembut dan memiliki aroma yang sangat lezat, masuk ke dalam mulutku.

Aku mencoba menggerakkan seluruh gigiku untuk mengunyah benda itu, dengan sedikit tenaga yang tersisa.

Kunyah, telan, kunyah, telan. Aku terus melakukannya hingga benda panjang itu tak bersisa.

Setelah selesai memakan benda itu, perlahan staminaku kembali pulih.

Aku berusaha menatap apa yang ada di depanku, dengan mata yang masih berkunang-kunang.

Seorang pria gemuk dengan setelan khas musim dingin, beserta anak perempuan yang ada di sampingnya, dan kurasa anak perempuan itu, berusia sekitar 9-10 tahun.

"T--t--e-r-i-m-a kasih atas rotinya, tuan"

Meski terbata-bata dan suaraku yang teramat pelan, aku tetap berusaha untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada mereka atas pertolongan yang mereka berikan kepadaku.

Sebuah senyuman tulus tertuang di kedua bibir mereka.

"Syukurlah, kakak baik-baik saja…hore!"

"Kau tak perlu berterima kasih, bukankah ini hal wajar, bagi sesama makhluk hidup untuk saling menolong".

***

Iya, itulah pertama kalinya aku bertemu dengan paman Hans dan anaknya, Lily.

Mulai saat itu, aku tinggal di rumah mereka.

Selama tinggal di sana, aku banyak membantu mereka.

Bisa dibilang itu sebagai bentuk rasa terima kasihku.

Mulai dari bersih-bersih rumah, hingga mencoba membangkitkan usaha toko kue yang mereka miliki.

Saat pertama kali datang ke rumahnya, toko kue yang menjadi pendapatan utama keluarga mereka, sangatlah sepi.

Pembeli yang datang ke toko mereka setiap harinya, bisa dihitung dengan jari. Itulah alasan utamaku untuk mencoba membangkitkan usaha toko kue milik mereka.

Memakai skill sihir pemberian tetua dan ilmu pengetahuan yang aku bawa dari duniaku, semakin memudahkanku untuk bisa membuat toko kue ini, menjadi ramai kembali.

Salah satunya cara yang aku gunakan ialah membawa resep kue yang ada di duniaku ke dunia ini.

Itulah mengapa kue cubit, yang mana itu adalah kue khas tempat asalku bisa dijual di sini, dan berhasil menjadi makanan favorite pembeli toko kue milik paman hans, yang akhirnya menjadi roda utama untuk membangkitkan kembali toko ini.

Namun, satu bulan terakhir aku memutuskan untuk tidak tinggal di rumah mereka lagi dan pindah ke gubuk tua yang ada di distrik kumuh.

Alasannya, aku tak mau merepotkan mereka lebih banyak lagi. Meski, mereka baik-baik saja, aku tinggal di sana dalam waktu yang lama.

"Oi, Ansyah!"

Tiba-tiba, paman hans melempar kantong yang terikat kepadaku.

Mana kantong tersebut lumayan berat.

---Ugh, ini kantong isinya batu penahan berak kali ya.

Belum sempat kubuka, paman hans kembali melanjutkan perkataannya.

"…Itu adalah pesangonmu, setelah bekerja selama tiga bulan".

Pesangon?

Tunggu…

Huh!

Aku dipecat nih!?

"Eh!! Tu-tunggu dulu, aku di pecat nih, paman? Astaga, aku makan apa nanti, saat ini pemasukanku cuma dari sini, A--aku minta maaf jika terkadang aku memakan rotimu diam-diam, aku minta maaf pernah sekali mengambil 5 koin perunggu di meja kasirmu untuk bisa makan di kedai Lucy dan aku juga sangat-sangat minta maaf pernah mengintipmu sedang 'reproduksi' dengan istrimu, jujur saat itu aku tak sengaja melakukan dan akhirnya kebablasan sampai pagi. Jadi, aku mohon paman jangan pecat aku".

Terlihat dari wajahnya, bahwa paman Hans sedikit merasa bersalah ketika melihatku terus merengek-rengek di hadapannya.

"A-anu, kamu tahu Ansyah?"

"Ya, namaku Ansyah"

"Ehm! Begini nak Ansyah, apa kau lupa dengan perkataanmu saat pertama kali datang, ke sini? Tiga bulan yang lalu?".

"Tidak, aku sama sekali tidak mengingatnya"

Meski sebenarnya, sejak kemarin aku sudah mengingat kembali tujuanku kesini. Namun, Aku tak langsung menjawabnya dan lebih memilih untuk berpura-pura tidak mengetahuinya.

Ada satu hal yang membuatku tidak ingin lagi, melakukan tujuanku itu. Yups, karena satu hal yang baru saja aku ketahui, dua bulan yang lalu.

"Benaran?"

"Iya, tentu saja, sejak tadi aku sudah mencoba mengingatnya, namun tetap saja tidak berhasil".

Seolah-olah membawa pedang, ia mengarahkan tangan kanannya ke arah punggung dan menarik sebilah pedang 'halusinasi' dari sarungnya yang juga 'halusinasi' secara vertikal, lalu ia hunuskan ke atas.

"Wuahaha!!! Misi utamaku di sini adalah menjadi ksatria suci yang bisa membunuh raja iblis dan akhirnya, menjadi seorang raja harem, yang di kelilingi wanita cantik, wuahahaha!!".

"A---Anu, bisakah kamu berhenti melakukannya, pusar yang ada di perut buncitmu, kelihatan tuh".

"Huh! O--ok".

Segera ia berhenti meniru perilaku 'chunnibyou' diriku saat pertama kali datang ke rumahnya.

Apakah kamu pernah merasakan atau terjebak di situasi, di mana dirimu yang saat ini, melihat statusmu lima tahun yang lalu, di linimasa sosial media milikmu.

Yups, rasa memalukan seperti itulah yang aku rasakan sekarang.

Astaga, aku menyesal pernah melakukan hal seperti itu.

---Bolehkah aku mati sekarang?

"Iyaya---aku ingat semua hal itu, jadi kumohon, hentikanlah meniruku".

Ia menghela nafas, dan kedua tangannya ia taruh di kedua sisi pinggangnya.

"Huft, tidak terasa musim dingin, segera berlalu"

Paman hans dengan mata yang mengarah ke arah luar jendela toko, merangkul pundakku dan meneruskan perkataannya.

"…Waktu berjalan dengan sangat cepat, ya nak. Sejujurnya, aku tak ingin melepasmu, tapi kamu telah mengemban tujuan yang mulia itu. Aku tak tahu siapa yang memberi hal semulia itu kepada orang semacam dirimu. Namun, yang pasti orang tersebut pasti tak sembarangan memilih orang dan ia melihat kamu adalah orang yang tepat untuk melakukannya. Jadi, pergilah dan hunuskan pedangmu untuk membunuh raja iblis".

"P-paman tahu dari mana, kalau ada seseorang yang memberiku tugas untuk membunuh raja iblis?".

Aku merasa heran.

Selama aku tinggal di kota Dea, tak ada satu orangpun yang pernah aku beritahu, bahwa aku ditugaskan oleh seseorang untuk membunuh raja iblis.

---Mengapa, paman hans bisa tahu?

"Tak perlu kujawab, kurasa kamu sendiri sudah tahu pasti, apa jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaanmu itu".

Kupikir-pikir dengan sedikit serius, sepertinya aku paham yang ia coba katakan.

Yah, bisa dibilang ini salahku sih.

"Oiya Ansyah, sebelum kamu pulang---bisakah kamu menunggu sebentar?"

Aku merespon permintaannya dengan sebuah anggukan kecil.

Paman Hans masuk ke dalam rumahnya, yang mana itu terhubung langsung dengan toko kuenya dengan berlari kecil.

Beberapa saat kemudian, ia kembali dan menghampiriku dengan sebuah pedang---kali ini pedang asli bukan 'halu', yang mana pedang tersebut masih terbungkus oleh sarung pedang berwarna hitam.

"Ambillah, pedang ini untukmu"

Sebelum aku menerima pedang itu, terlebih dahulu, aku menaruh kantong berisi 'pesangon' yang sedari tadi kugenggam di tanganku, ke saku celanaku yang lumayan dalam.

Ia menyerahkan pedang tersebut dengan sangat hati-hati, layaknya sebuah artefak yang bernilai tinggi.

---Ugh, benda ini sangat berat sekali

"Bolehkah, aku membukanya?".

"Ya, silahkan saja"

Perlahan aku menarik pedang dari sarungnya, dan ketika hampir seluruh pedang keluar dari sarung, muncul secercah cahaya berwarna merah dengan bentuk layaknya seekor kupu-kupu yang baru lepas dari kepompong.

Aku dan paman menyipitkan mata akibat silau yang dihasilkan oleh kupu-kupu bercahaya tadi dan ketika kami kembali membuka mata, kupu-kupu itu sudah menghilang.

"A--Apa itu dan apa-apaan dengan bentuk pedang indah ini?"

Sebilah pedang panjang berwarna merah dengan warna hitam sebagai outline, corak gerigi di atas sisi kanan bilahnya dan kenop atau pangkal pedangnya yang berbentuk bunga mawar hitam.

Entah bagaimana, saat baru pertama kali dikeluarkan dari sarungnya, pedang ini terasa sangat berat hingga tiga kali lipat dibanding saat masih bersarang di dalam sarungnya, hingga pedang itu hampir terlepas dari genggamanku.

Namun, berselang beberapa menit, secara drastis berat pedang tersebut berubah menjadi sangat ringan, layaknya sebuah ranting kayu.

"Wuah, sepertinya pedang itu sudah mengakuimu sebagai pemilik barunya".

"Maksud, paman?"

"Pedang ini adalah warisan keluargaku dari turun menurun. Meski sudah berapa kali di turunkan, tidak ada satupun yang diakui oleh pedang ini sebagai pemiliknya. Seperti yang ayahku katakan, jika ada seseorang yang menarik pedang itu dari sarungnya lalu muncul sebuah kupu-kupu yang bercahaya merah, dan berat yang seharusnya sangatlah berat hingga tak ada satupun orang yang sanggup mengenggamnya, seketika berubah menjadi ringan seperti ranting pohon. Maka sudah dipastikan bahwa pedang itu, menerima orang tersebut sebagai tuannya."

"…Kaulah, orang yang tepat memilikinya, Ansyah"

Aku yang masih tak percaya dengan hal itu.

Mencoba untuk memastikan kembali kepadanya.

"Kamu yakin dengan hal itu, paman?"

"Yups, aku yakin"

"Apakah, orangtua paman, sebelumnya adalah orang yang diakui oleh pedang ini juga?"

"Tidak, sudah sembilan generasi tak ada satu orangpun yang mampu, membuat pedang ini mengakuinya"

"…Jadi, pedang dan cerita perihal pedang ini, sudah diturunkan secara turun menurun sebanyak sembilan generasi".

"Tapi…"

"Sudahlah, Ansyah aku percayakan pedang ini, kepadamu. Lagipula gudang rumahku, sudah penuh. Jadi, keluarnya pedang ini membuat gudangku memiliki ruang kosong lagi."

"…Ingat, jangan kamu jual pedang itu. Jika kamu melakukannya akan kuhabisi nyawamu"

"A--Ah, Ok".

Menatapnya kembali sesaat, aku segera kembali memasukkannya ke dalam sarung dan kugantungkan ke punggungku

---Yups, seperti ini kaya cocoknya.

"Kamu, benar-benar terlihat sangat gagah layakanya seorang ksatria suci, wahahaha".

Ia kembali dengan tabiat buruknya, memukul punggung---pundak lebih tepatnya, saat ia tertawa lepas.

Huft, orang ini sungguh merepotkan.

Cahaya matahari sudah mulai menghilang dari permukaan dan langit berwarna jingga menyerbak ke seluruh permukaan bumi---ehm! Nama planetnya udah berubah.

Waktu yang tepat untukku beranjak dan pulang ke gubuk.

Oleh karena itu, aku berpamitan kepada paman hans.

Bisa dibilang ini akan menjadi salam perpisahan sebelum aku tak akan bisa melihat mereka dalam waktu yang lama.

Itulah sebabnya, kenapa istri paman hans dan anak perempuannya, Lily. Berkumpul di dalam area toko kue bersamaku.

"Paman Hans, Bibi Roselia dan Adik kecilku Lily. Aku dengan segala alam semesta sebagai saksi, berterima kasih kepada kebaikan kalian yang sudah kalian berikan kepadaku, orang asing di hadapan kalian. Mungkin tanpa bantuan kalian, nyawaku pada saat itu takkan tertolong, sekali lagi aku berterima kasih kepada kalian semua. Aku juga ingin meminta maaf, jika aku sudah merepotkan kalian selama ini, entah saat aku masih tinggal bersama atau ketika aku bekerja di toko kue kalian."

Aku menundukkan kepalaku ke hadapan mereka.

"Ansyah, berjanjilah kepadaku, kembalilah ke sini jika ada kesempatan dan gunakan pedang yang aku berikan kepadamu untuk kebaikan, jangan sekali-sekali menggunakan amarahmu ketika membuat sebuah keputusan dan yang terpenting, bantulah seseorang yang memang sangat membutuhkan pertolongan tanpa melihat latar belakang, karena saling tolong menolong sesama makhluk hidup adalah sebuah kewajiban, bukanlah sebuah pilihan".

"Siap paman!"

Aku memberikan salam hormat dengan sikap tegak, layaknya seorang perwira yang sedang berhadapan dengan komandannya.

"Sampai jumpa, lagi kakak"

"Sampai jumpa lagi, nak Ansyah, bibi akan selalu menantikan kunjunganmu nanti"

Air mata tanpa sadar menumpuk di pelipis mata mereka berdua, saat aku mulai berjalan maju meninggalkan toko kue itu.

Namun, saat aku sudah berjalan lima langkah dari toko,tiba-tiba sebuah tangan merangkul kedua pundakku.

"Hey, Nak. Bisakah aku meminta empat puluh persen uang pesangon yang aku berikan kepadamu, sebagai bentuk kompensasi atas pengakuan dosa yang kamu katakan tadi."

Ah. Sial

Aku menyesal mengatakannya.