Chereads / 45 Days / Chapter 3 - 45 hari..?

Chapter 3 - 45 hari..?

***

Aku berjalan tak tentu arah.

Kakiku seakan lunak saat aku pergi meninggalkan seribu memori penuh cinta dan luka.

Bibirmu berkata "pergilah, aku akan bahagia tanpamu."

Setelahnya, aku merasa menjadi seorang yang sangat hancur sehancur-hancurnya.

Dan inilah aku yang sekarang. Jadi jangan salahkan aku jika aku bersikap egois terhadapmu.

"Nulis apaan sih..?" Ku letakkan penaku di atas meja. Kepalaku menggeleng, kututup buku bersampulkan gambar Doraemon itu lalu ku masukkan ke dalam laci.

"Gak nulis apa-apa." Setelah kesepakatan antara aku dan Nathan, aku langsung berlari memasuki kelas yang kurang 5 menit lagi guru akan datang dan mengajar.

Disinilah aku, di dalam kelas yang setiap harinya diisi dengan canda tawa. Aku terdiam memikirkan perjanjian antara aku dan Nathan, ini benar-benar gila. Tapi apa boleh buat, aku sudah masuk ke dalam tantangan itu hingga kini aku membuat perjanjian dengan anak IPA yang sedari dulu tak ingin aku dekati.

Flasback on

"45 hari."

"... Di mulai hari ini..!"

"Ha..?"

"Apa..?"

"Apanya yang 45 hari..?"

Nathan berdecak, aku sebenarnya paham apa yang dia ucapkan. Hanya saja aku pura-pura tak mengerti, agar dia mau menjelaskan. Namun lelaki ini justru terdiam tanpa berniat menjawab pertanyaan ku.

"Oke-oke.. 45 hari, di mulai hari ini. Deal..?" Aku menyodorkan tanganku berniat untuk bersalaman dengannya. Ia membalasnya dengan malas.

"Tapi, ada persyaratannya dan ini seperti sebuah perjanjian." Alisnya bertautan, menunggu aku melanjutkan ucapanku.

"Pertama, lo gak boleh larang gue deket-deket sama lo. Kedua, lo harus selalu nganterin gue pulang, bahkan kalau bisa lo jemput gue sekalian. Ketiga, kalau ngomong sama gue jangan pake urat. Keempat, gue bakal selalu ada diantara lo sama Sila. Dan kelima, jangan sampai ada yang tau tentang perjanjian ini..!"

Flasback off

-

-

-

"Lo pulang bareng Bagas..?"

"Gak tau. Tapi mungkin gue bakal jalanin misi pertama deh." Balasku dengan alis yang aku naik turunkan. Naumi tersenyum paham, ya aku sudah menceritakan semua yang terjadi antara aku dan Nathan. Mulai dari aku boleh mendekatinya dalam 45 hari, sampai tentang perjanjian itu. Aku tau, aku melarang Nathan memberi tau tentang perjanjian itu pada siapapun, namun itu berlaku untuk Nathan. Dan aku..? Aku sebenarnya juga harus diam, tapi aku hanya memberitaukan pada Naumi. Karena disini hanya Naumi lah yang dapat aku percaya.

"Oke, semoga berhasil. Gue duluan." Setelahnya Naumi pergi meninggalkan aku yang masih mengemasi barang-barang ku.

Setelah selesai dengan barang-barang ku, aku dengan cepat berlari menuju parkiran. Karena aku tau hanya aku satu-satunya anak IPS yang baru keluar dari kelas. Dan itu bertanda jika anak IPA juga sudah keluar dari kelas, dan Nathan pasti sedang berada di parkiran sekarang dan tentu dengan Putri Solonya itu. Sila.

Sesampainya aku di tempat yang aku tuju, aku langsung mencari keberadaan manusia itu. Mataku langsung tertuju pada pria yang berdiri dengan seragam yang masih rapi. Hampir saja aku melangkah, namun sebuah tangan menahan lenganku. Aku menoleh, Bagas dengan wajah tanpa ekspresi nya itu tengah menahanku seakan tak ingin aku pergi. Wahahaha lebay.

"Apa..?" Tanyaku sarkas

"Ayo pulang, jangan keluyuran..!" Bagas berucap dengan nada tegas. Jika sudah begini, biasanya Bagas sedang dalam mode badmood.

"Ini juga mau pulang. Jadi lepasin." Aku melepas tangannya yang masih menempel pada lenganku.

"Ya udah ayo pulang, ngapain disini." Tangannya kembali meraih lenganku. Dan kali ini lebih erat.

"Gue mau pulang bareng Nathan." Pegangan tangannya mulai mengendur. Tatapan matanya juga berubah tajam, jujur aku takut jika melihat Bagas seperti ini. Aku hanya menggaruk tengkuk ku yang tidak gatal. Merasa bersalah jika sudah begini.

Tanpa kata, dia pergi begitu saja.

"Dasar gak jelas, lagi PMS apa ya." Aku mendumel tak jelas, dan langkahku kembali maju ke arah Nathan berdiri. Sampai di depan mereka. Ya, mereka, Nathan dan para teman-teman nya. Aku langsung mendapat sapaan dari para fans- ku.

"Hai mantan." Ha..? Mantan dia bilang..?

"Mantan..? Siapa..?" Aku bertanya pada orang yang baru saja melayangkan ucapan itu.

"Lo lah, siapa lagi mantan gue kalau gak Nayara." What..??

"Gue mantan lo..? Sejak kapan..? Emang kita pernah pacaran..?" Aku tertawa bingung dengan apa yang pria ini katakan.

"Udah Nay, orang ini emang bege. Biarin aja." Timpal Abas. Pria itu sejak tadi sangat mencuri perhatian ku. Aku sepertinya terpesona dengan wajah damai pria itu.

"Dia udah mimpiin lo sekitar 6 kali, dia bilang kalau lo tuh pacarnya dia. Tapi lo ninggalin dia dan milih cowok lain yang lebih ganteng dari dia. Ya makanya dia kayak stress gini." Jelas Tian, dan kalian tentu tau siapa yang menganggap ku sebagai Mantan. Ya, si pria bermata sipit yang terlihat seperti Idol korea. Cukup tampan lah untuk kalangan anak SMA.

"Hahaha gak lucu." Aku tertawa terbahak-bahak, sampai mataku mengeluarkan airmata.

"Gak lucu tapi ketawa. Cantik-cantik aneh lo ternyata." Cibir Tian. Aku tak peduli dengan cibiran yang Tian lontarkan padaku. Tawaku masih terdengar, dan hanya aku disini yang tertawa. Jadi aku putuskan untuk berhenti tertawa tak jelas.

"Haha.." aku mengakhiri tawaku dengan menyeka sudut mataku yang berair.

"Oh iya Nathan, anterin gue pulang ya. Soalnya gue gak ada tumpangan pulang." Aku memulai drama ini disini. Dan aku wajib mendapat penghargaan akting terbaik jika drama ini telah berakhir suatu saat nanti.

"Bukannya lo pulang bareng Bagas..? Tadi lo disamperin sama dia." Sila ikut menimpali.

"Emm dia, ada latihan sama Band-nya. Tadi dia cuma pamitan sama gue." Balasku tenang.

"... Bolehkan Nathan gue numpang pulang..?" Nathan mengangguk pelan.

"Di belakang. Gue duluan" Nathan berpamitan pada para cucunguknya, lalu masuk kedalam mobil, diikuti Sila yang masuk dan duduk di samping kursi kemudi. Tak hanya itu, Abas, Tian dan Raka juga berpamitan untuk pulang.

Aku menghela nafas lelah, ku rasa tak mudah membuat batu itu pecah. Ada Sila yang selalu membayangi hidup Nathan. Kemana-mana selalu aja nempel sama Nathan. Oke aku akan buktikan kalau Nayara Putri Federica akan menang dalam sandiwara ini.

Tin.. tin..

Lamunan ku buyar saat mendengar suara klakson mobil yang begitu keras. Aku tau orang di dalam sana sudah mulai kegerahan karena tingkahku yang merugikan mereka. Dengan cepat aku masuk ke dalam mobil dan duduk dengan tenang.

"Gue serasa jadi penumpang." Ucapku asal.

Sila berdesis, "Ya udah kalau sadar cuma numpang."

"Dih, gak sadar diri." Aku balik berdecih. Ya, sejak awal memang ia tak menyukai keberadaan ku. Mungkin aku hidup pun seperti merugikannya. Hem, inilah hidupku teman. Tak ada hidup yang selalu indah, tak ada pula hidup yang selalu menyedihkan. Jadi, tenanglah dalam menjalani hidup. Eaaa, apakah aku sudah cocok berperan sebagai Najwa Shihab..? Hahaha.

Aku sibuk dengan ponselku sendiri, tak peduli dengan dua manusia yang sibuk bercengkraman. Mereka terlihat santai, mengobrol tanpa peduli ada satu manusia yang teronggok tak berguna di kursi belakang. Dan tentu aku masa bodoh dengan tingkah mereka, kita sama-sama masa bodoh satu sama lain. Ini bukan saatnya aku berperan, aku masih menunggu sutradara berkata action.

Mobil berhenti tepat di depan rumah yang menjulang tinggi, tak terlalu tinggi lah, hanya 2 lantai. Bercat putih di luarnya, dan aku tak tau apa cat di dalamnya. Aku menunggu Putri Solo itu keluar, entahlah aku suka memanggilnya Putri Solo. Padahal panggilan itu hanya jiplak tadi saat aku berlari menuju parkiran.

Setelah ia keluar, aku dengan cepat juga ikut keluar. Dan membuka pintu bagian depan, namun belum sempat aku memasukkan seluruh tubuhku. Seorang pria paruh baya keluar dari rumah mewah itu, dengan pakaian kantoran. Aku terdiam menatap pria itu, kenapa hati kecilku berkata seolah aku mengenalnya. Seakan-akan aku sudah lama mengenalnya dan aku seperti mengenal mata itu.

"Nak." Aku kembali tersadar, bibirku melengkung membalas senyum darinya.

"Temennya Sila..?" Kepalaku mengangguk.

"Saya ayahnya, nama saya Irfan." Aku membalas jabatan tangannya, tatapan matanya membuatku rindu pada seseorang. Tapi aku tak tau siapa yang aku rindukan.

"Oh, nama saya Nayara Om." Senyum yang awalnya merekah kini mulai surut.

"Nayara..?" Aku mengangguk.

"Siapa Ibumu..?"

"Mama saya namanya A___"

Tin.. tin...

"Saya pulang dulu ya Om, anak singa udah rewel. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam Nayara."

***