***
Langkahku seperti orang mabuk, berjalan sempoyongan menyusuri trotoar dengan ditemani matahari yang begitu menyengat kulitku. Harga diriku hancur di depan pria gila itu. Dengan ketidakmanusiaan, ia menyuruhku untuk turun dari mobilnya.
Flasback on
"Rumah..?" Aku menoleh, dahiku mengkerut. Rumah..? Ini bahkan belum memasuki area perumahanku.
"Rumah..?" Tanyaku balik.
"Jalan."
"Gue naik mobil, nggak jalan." Balasku polos.
Aku melihat ia sedang menahan emosi, aku memang sengaja melakukan itu agar pria ini sadar bagaimana cara bertanya dengan baik.
"Alamat rumah..?"
"Ohh, nah gitu dong gue paham. Udah tau yang diomongin orang bege, pake di potong-potong segala."
"__ Jalan Pitaloka."
Cittttt...
"Aww.." ringisku saat kepalaku dengan anggunnya menyentuh dasbor mobil pria ini.
"Lo mau bunuh gue hah..? Gila, kalau ngerem tuh jangan mendadak gitu pliss."
"Turun..!"
"Ha..? Lo pikir gue cewek apaan, diturunin di pinggir jalan kayak gini. Kayak udah gak ada gunanya aja gitu___"
"Turun..!!" Aku tersentak, suara Nathan membuatku membeku. Ia seperti sedang menahan emosi yang meluap-luap di dalam sana.
"Gue gak mau turun."
"Gue bilang turun..!!" Matanya melotot tajam, aku sempat takut padanya. Namun rasa takut itu sebisa mungkin tak ku perlihatkan padanya.
"Rumah gue masih jauh."
"Gue gak peduli. Turun..!"
"Enggak."
"Jauhin gue atau turun..?"
"Ya sama aja, kalau gue turun disini berarti lo udah ingkar janji. Nganterin gue pulang termasuk janji, jadi lo harus anterin gue pulang."
"Oke fiks, jangan deketin gue lagi."
"GAK..!!"
"Turun..!!"
"Terus kalau gue turun, lo gak tau dimana rumah gue. Kalau lo jemput gue gimana..?"
"Hapus perjanjian gila itu..!"
"___gue ijinin lo deketin gue, tapi hapus perjanjian konyol itu..!"
"Turun sekarang..!!" Aku melongo, pria ini benar-benar membuatku gila.
Flasback off
Tin..tin..
Aku menoleh saat sebuah motor sport berhenti di sampingku. Keningku berkerut, siapa gerangan manusia ini..? Mungkin karena melihat aku yang kebingungan, orang itu membuka helm fullface nya dan terpampanglah wajah manusia yang membuatku gila karena gagal move on.
"Hei, sendirian..?" Aku memalingkan wajahku, rasa berharap yang sudah hampir punah kini dengan gesitnya tumbuh kembali.
Aku berdehem, mencoba bersikap biasa saja.
"Lo diciptain punya dua mata tuh buat liat..!"
"Iya buat liat lo kan..?" Aku melanjutkan langkahku, tak ingin obrolan itu berlanjut. Namun manusia itu justru mengikuti ku dengan menaiki motornya perlahan.
"Oi, ayo gue anter." Langkah ku semakin ku percepat, dan dia juga mempercepat laju motornya agar tetap setara dengan langkahku.
"Ra, rumah lo masih jauh. Ayo gue anter."
"Berisik lo."
"Udah lama gak liat lo marah-marah. Hahaha" Apanya yang lucu..? Kenapa dia tertawa..? Oh dia orang gila rupanya.
"Ngapain si lo ngikutin gue..?"
"Gue anter pulang. Lo gak takut kulit lo berubah warna..?" Aku memejamkan mataku, ia masih ingat dengan ucapanku beberapa bulan yang lalu. Bahwa aku takut dengan sinar matahari yang akan membakar kulitku. Ok intinya aku takut hitam.
"___ Kenapa diem..? Udah gak usah malu-malu, biasanya juga malu-maluin. Ayo naik." Aku menatapnya, ada sedikit perubahan pada wajahnya. Ya, dulu ia sangat jarang dengan yang namanya tersenyum padaku. Tapi kini..? Ia sedari tadi tersenyum, entah bibirnya lelah atau tidak membentuk lengkungan seperti itu sedari tadi.
Setelah ku putuskan, aku pun menaiki motornya. Aku lihat dia tersenyum sebelum memakai helmnya itu. Diam-diam bibirku juga tertarik membentuk lengkungan, sudah lama rasanya aku tak membonceng manusia ini. Aroma tubuhnya pun masih sama seperti dulu, bau mint yang menghangatkan hati. Ingin rasanya tanganku ku kaitkan pada pinggangnya, namun sungguh memalukan jika sampai aku melakukan hal gila itu. Sudah cukup harga diriku hancur di depan pria setan itu. Hah, memikirkannya justru membuatku ingin menjambak rambut klemisnya itu.
"Ra udah nyampe woi. Pegangan teross.." aku tersadar dan dengan cepat aku menarik tanganku. Sejak kapan aku berpegangan padanya..?
"Emm, makasih. Gue masuk." Belum sempat berbalik, Arfan menghentikan pergerakan ku.
"Ra.."
"Apa..?"
"Nyokap lo dirumah..?"
"Enggak, Mama belum pulang. Kenapa..?"
"Gak papa, cuma mau ketemu sama mertua aja." Mataku melotot mendengar penuturan pria ini.
"Sejak kapan lo jadi menantu nyokap gue..?" Tanyaku ngegas, dia hanya tertawa. Tak ingin berlama-lama dengannya, aku pun memutuskan untuk segera masuk ke rumah. Namun lagi-lagi, suaranya menghentikan ku.
"Ra.."
"Apa lagi..?"
"Video lo viral."
"Video apaan..?"
"Video lo nembak cowok." Aku terkejut bukan main, jangan bilang jika itu video aku menembak Nathan tadi siang. Oh My God, siapa yang menyebarkan video memalukan itu..?
"Gu--gue, gue nembak cowok..?"
"Iya, nih gue punya videonya. Satu sekolah udah pada nonton."
"Parah si ini. Gila, anjir ah." Batinku menjerit, apa-apaan ini..?
"Nih." Aku dengan cepat mengambil ponsel itu dari tangan Arfan.
"Gue suka sama lo."
-
-
-
"Gue gak."
Ini benar diriku dan Nathan, aku membaca caption yang tertera pada unggahan itu.
Im byarrr mas hati adeg.
"Siapa yang udah nyebar nih video..?" Aku menggeram kesal, aku berbalik, melangkah cepat sampai pada pagar rumahku. Namun untuk ketiga kalinya, panggilan Arfan menghentikan ku.
"Ra.."
"Apa sih Arfan..!!" Aku berteriak bagai orang kesetanan.
"Handphone gue." Ucapnya datar. Aku melihat benda yang masih ku genggam. Aku tak sadar jika ponsel milik Arfan masih ku bawa.
"Nih. Udah sana pulang."
-
-
-
Aku mengecek ponselku, setelah adegan aku menembak Nathan. Aku tak membuka handphone sama sekali. Dan soal video itu, Naumi tak memberitau ku. Aku juga tak berpikir jika kejadian tadi siang di rekam oleh seseorang. Namun jika dipikir-pikir, sudut pengambilan video itu menunjukkan bahwa orang yang merekam berada dekat dengan ku dan Nathan berdiri.
Banyak notif dari berbagai sosial media ku. Terutama Instagram, banyak orang mengirimiku pesan. Namun aku tak peduli dengan pertanyaan mereka, toh mereka begitu hanya karena kepo.
"Halah, udahlah biarin aja. Mau nyebar tuh Video sampai Amerika juga gue gak peduli lah. Siapa tau dari situ gue diangkat jadi tokoh utama film-film Hollywood."
Ponsel yang tak bersalah itu ku lempar ke atas ranjang. Aku tak kuasa jika ponsel itu ku lempar ke lantai, harganya tak murah. Jadi aku masih sayang untuk melakukan atraksi gila itu.
Ting.. tong..
Suara bel rumahku terdengar saat aku hendak mengambil pakaian. Aku dengan cepat berlari ke arah pintu utama.
"Permisi, paket..." Tanganku meraih gagang pintu, dan saat pintu terbuka tampaklah seorang lelaki berkumis, sedang membawa kotak persegi panjang yang dibungkus dengan kertas berwarna coklat muda.
"Paket..?"
"Iya, dengan Saudari Nayara..?" Aku menahan tawa, sebenarnya dia ini tukang pengirim paket atau polisi..?
"Iya, saya Nayara."
"Ada paket untuk mbak." Baiklah, tukang kirim paket ini ingin mengajakku bercanda.
"Paket..? Tapi saya gak pesen apa-apa." Jawabku polos.
"Ini paket dari seseorang untuk mbak Nayara." Bibirku membentuk huruf O.
"Dari siapa mas..?"
"Pengirim berinisial N mbak. Kalau begitu ini paketnya, dan mbak tanda tangan disini." Dia menyodorkan selembar kertas dan pulpen, aku menerima paket itu tanpa bertanya siapa orang berinisial N itu. Ku tuliskan tanda tangan terbaikku pada selembar kertas itu.
"Terimakasih, saya permisi." Aku hanya mengangguk sambil terus memperhatikan kotak persegi panjang ini. Langkahku ku percepat, hingga aku duduk di sofa dan mulai membuka bingkisan kotak itu. Mataku membulat kagum, soft case handphone berwarna biru tua dengan gambar bintang-bintang kecil dan huruf 'N' di bagian tengah. Yang diposisikan miring.
Dan juga terdapat kalung dengan liontin huruf N, lagi-lagi huruf itu yang muncul. Aku jadi berfikir jika Nathan yang memberi paket ini untukku. Nathan Nayara, sama-sama N bukan..?
Aku memasang casing itu di ponselku, dan hasilnya sungguh cantik. Oh, sangat manis. Dan pas dengan ponselku. Senyumku begitu merekah, mungkin ini permintaan maafnya yang telah menelantarkan ku di jalan tadi. Ah Nathan, sungguh lucu nak dirimu.
Senyumku merekah, sebelum aku sadar sesuatu. Yah sesuatu yang terasa mengganjal di otakku.
***