Aku menatap plafon putih khas rumah sakit dengan tatapan panjang, entah apa yang harus aku lakukan kedepannya. Aku benar-benar belum ada rencana sama sekali dan sekarang aku berada di rumah sakit karena sebuah tabrakan kecil dengan sepeda onta. Untungnya si pengendara sepeda segera membawaku ke rumah sakit karena aku langsung pingsan setelah ditabraknya, sekarang entah di mana laki-laki itu. Sejak sadar dari pingsan aku belum melihat laki-laki yang membawaku ke sini.
Bisa-bisanya aku dan istri Trias hamil dalam waktu bersamaan dan yang membuatku sedih, Trias lebih memilih istrinya. Ah iya, anak itu anak sah dalam perkawinan sedangkan anakku hanya sebatas anak hasil perselingkuhan. Anak yang nggak akan diakui oleh keluarga Trias terutama ibunya.
Anakku, entah akan seperti apa masa depannya. Apakah aku harus mempertahankannya? Mempertahankan berarti ia akan dicap sebagai anak haram, membunuhnya hanya akan menambah dosaku yang sudah menggunung.
Aku benar-benar putus asa.
"Mbak e," sapaan medok khas laki-laki kampung membuatku menoleh ke arahnya, "mbak e, dokter bilang kandungan sampeyan untungnya nggak kena sepeda saya. Maaf ya mbak e, saya nggak tau kalau sampeyan lagi hamil," lanjutnya.
Dia kah malaikat penolong yang dikirim Tuhan agar aku bisa lari dari kenyataan yang menyakitkan ini?
"Kamu siapa?" Tanyaku.
"Saya Sultan mbak e, nama sampeyan siapa ya? Tadi sampeyan saya tabrak dan ..." Ujarnya menjelaskan.
Aku langsung memegang tangannya.
"Nama aku? Nama aku siapa mas?" Tanyaku balik, Sultan menatapku bingung.
Kayaknya ia nggak pernah nonton sinetron tentang hilang ingatan deh.
Ya inilah caranya, pura-pura hilang ingatan agar ia mau menjagaku sampai aku melahirkan. Melihat gaya serta gerak geriknya, sepertinya ia orang lugu dan baik hati.
"Mbak e nggak ingat namanya? Serius? Kok bisa yo, kayaknya saya cuma nabrak sampeyan dikit aja kok bisa jadi hilang ingatan kayak gini," Sultan menatapku dengan tatapan menyelidik.
Pertemuan kami mungkin sudah ditakdirkan Tuhan. Aku membuang napas dalam-dalam sebelum memulai rencanaku.
"Mas, aku ini istrimu kan? Aku hamil anak mas kan? Mas ini suami aku kan? Kok aku nggak ingat apa-apa ya?" aku memegang kepalaku agar Sultan percaya aku hilang ingatan karena tabrakan itu walau sebenarnya nggak masuk akal banget.
Mana ada orang hilang ingatan karena ditabrak sepeda.
"Heh, yo nggak lah mbak e. Oalah, sampeyan ini jangan ngadi ngadi loh. Saya ini nggak kenal sampeyan, kita ketemu karena kecelakaan dan sekarang alamat sampeyan di mana? Saya akan antar sampeyan ke suaminya," Laki-laki bernama Sultan menggaruk kepalanya.
Aku menitikkan airmata agar para pengunjung yang sedang ramai di ruang UGD melihatku sedikit berakting.
"Suami aku ya kamu mas, tega sekali mas tidak mengakui aku. Jangan pikir karena aku hilang ingatan mas bisa mencampakkan aku yang sedang hamil anak mas ini, huuuuuu." Tangisku cukup keras dan beberapa ibu-ibu menatap Sultan dengan tatapan jijik.
Sultan menggerakkan tangannya untuk membela diri.
"Oalah, nggak kok bu. Mbak e ini hilang ingatan dan dikipir eh dipikirnya saya yang menghamili, yo nggak mungkin lah. Saya ini masih perjaka dan belum ngerti bikin anak," ujarnya membela diri.
Aku berusaha menahan tawa mendengar gaya medoknya dalam menjelaskan ke ibu-ibu yang masih menatapnya tajam.
"Huuuuuuu, mas tega banget sih sama aku. Kalo bukan mas ayahnya terus siapa? Mas jangan bohong deh sama aku, aku ini hilang ingatan tapi aku bisa merasakan ikatan dari janin ini."
"Ih mas kok tega sih, istri lagi hamil juga. Ingat pamali loh nggak akui anak kandung sendiri, nanti saya kutuk impoten baru nyaho." Salah satu ibu membelaku dengan berani.
Astaga, bar bar sekali ibu itu.
"Mbak e, sungguh saya bukan suami sampeyan."
"Nggak mau tau! Pokoknya aku maunya mas tanggung jawab sama aku!"
Sultan menatapku dengan bimbang dan aku masih bersikap pura-pura hilang ingatan agar Sultan percaya aku benar-benar tidak mengingat siapa diriku.
*****
Aku mengikuti Sultan setelah dokter mengizinkan aku keluar dari rumah sakit, untungnya Sultan mau membayar tagihan rumah sakit karena aku benar-benar tidak membawa uang satu sen pun.
"Mbak e benar-benar nggak ingat nama sendiri?" Tanyanya masih dengan tatapan menyelidik.
"Nggak mas, aku nggak ingat apa-apa. Ih bawel ya, mas pasti lagi nyusun rencana untuk bisa ninggalin kami kan di sini? Pokoknya aku nggak mau jauh dari mas, bayi kita pengen aku dekat papah nya," aku memegang tangan Sultan tapi ia berusaha menghalau tanganku.
Sultan menghela napasnya dengan berat.
"Gimana mau pulang kalau sampeyan megang saya terus, mau jalan kaki?" Ujarnya dengan ketus.
Aku menggeleng pelan.
"Kasihan dedeknya, pah." Aku sengaja memanggil Sultan dengan panggilan itu agar Sultan semakin tidak bisa mengelak dariku.
"Saya bukan papahnya!" Teriaknya dengan suara tertahan.
Sultan mengambil sepeda ontanya yang diletakkan di dekat pos satpam dan menyuruhku duduk di bagian belakang sepeda.
"Untuk sementara saya akan ajak sampeyan ke rumah saya, tapi ingat saya nggak bisa biarkan sampeyan tinggal lama di rumah saya, ngerti?" Katanya dengan tegas.
Aku mengangguk pelan.
"Yo wes, sekarang mbak e pegang pinggang saya. Jangan sampai jatuh, nanti dedeknya kasihan kalau jatuh lagi," katanya dengan lembut.
Sultan membawaku pergi entah ke mana, hanya saja untuk pertama kalinya sejak menjadi wanita kedua dalam pernikahan Trias akhirnya aku bisa bernapas bebas tanpa harus takut dengan hubungan terlarang kami diketahui orang lain.
"Mbak e, ini rumah saya."
Lamunanku buyar saat sepeda Sultan berhenti di depan sebuah rumah sederhana di gang sempit dan ramai warga lainnya.
Namanya boleh Sultan tapi hidupnya jauh dari kata 'Sultan' tapi biarlah mungkin ini tempat terbaik saat ini.
"Mas Sultan, bawa siapa sih?" Tanya ibu yang sedang menggendong bayi dengan baju daster kupu-kupu tanpa lengan serta diwajahnya terpasang bedak beras yang sudah mengering.
Pertanyaan berbalut rasa kepo.
"Aku? Aku istrinya mas Sultan."
Aku memberanikan untuk memperkenalkan diri ke tetangga agar nanti kami tidak digrebek satpol pp.
"Heh, kapan mas Sultan nikahnya? Kawin siri ya?" Tanya ibu itu lagi.
"Iya iya, sekarep mu lah mbak. Mikir seenak sampeyan aja, saya capek banget." Sultan meletakkan sepedanya dan memasang rantai besar agar sepedanya tidak dimaling orang.
Lucu banget.
"Mbak, nanti kita lanjut ya."
Aku melambaikan tangan ke arah ibu itu yang mulai bergerombol sesamanya. Aku yakin mereka pasti langsung bergosip tentang aku, Sultan membuka kunci pintunya dan ternyata tidak saja rumah sederhana tapi benar-benar sangat sederhana. Tidak ada kursi tamu, karpet serta televisi. Hanya ada lantai dingin tidak beralas apa-apa serta meja kecil di atasnya ada rice cooker yang tidak dicolokkan.
"Mbak e, masih mau tinggal sama saya? Saya bukan Sultan yang bisa kasih kemewahan loh, saya hanya Sultan miskin dan hidup ala kadarnya," ujarnya.
Aku mengangkat bahuku acuh.
"Yang penting aku tinggal sama mas, mas kan papah anakku."
"Iya iya, mbak e pasti belum makan. Saya beli makanan dulu di warung, mbak e istirahat dulu di kamar saya. Maaf kasurnya cuma kapuk biasa bukan springbed." Ujarnya merendah.
"Iya, santai aja mas. Walau kapuk tapi dedek diciptakan papah di sana kan?" Godaku.
Sultan memelototkan matanya.
"Mbak e! Jangan ngadi ngadi!"
****