Hari ini menjadi malam pertama aku tidur di rumah Sultan. Tidak ada AC, disfuser kesukaanku, musik klasik penenang tidur dan yang lebih menyedihkan aku harus mendengar nyamuk sedang menyenandungkan nyanyian menyayat hati di telingaku.
"Mas Sultan," panggilku pelan.
"Hmmm, mbak e belum tidur?" Sultan yang memilih tidur di luar langsung membalas panggilanku. Sepertinya ia tidak bisa tidur juga sepertiku.
"Belum mas, mas nggak mau tidur sama dedek apah? Dedek kan pengen tidur dekat papahnya," aku masih berusaha menggodanya agar Sultan masuk dan berbaik hati mengipasiku dengan kertas atau apalah agar nyamuk dan rasa panas ini hilang, aku jadi bisa tidur karena mata ini benar-benar sudah sangat berat.
Aku mendengar Sultan berdeham pelan, mungkin salah tingkah dengan ucapanku barusan.
"Mbak e, kita itu belum menikah. Mana boleh tidur satu kamar, dosa loh."
Aku berusaha menahan tawa.
"Tapi kan mas itu papahnya dedek, berarti kita udah gituan. Gimana sih mas, kok nggak akui aku lagi sih! Mas itu suaminya aku loh, berarti mas berhak tidur dekat aku. Sekarang aku pengen mas bobok sama dedek, dedek pengen papahnya," balasku dengan suara mendayu-dayu agar Sultan iba dan masuk ke dalam kamar.
Tebakanku benar, tidak sampai lima detik pintu kamar dibuka. Sultan menatapku dengan wajah bimbang antara ingin masuk atau tidak.
"Sini, duduk dekat dedek pah."
Sultan mengacak rambutnya dan beberapa kali mendengus kesal.
"Oalah, sampeyan iki ora mudeng ya. Saya bukan papahnya dan kita nggak pernah gituan. Haduh, mbak e kapan balik sih ingatannya." Ada nada putus asa dibalik suaranya.
Aku mengangkat bahu pelan.
"Terus kok aku bisa hamil gini, ya pasti mas kan pelakunya."
Sultan menggelengkan kepalanya beberapa kali, sepertinya ia mulai nggak bisa melawanku yang terus menuduhnya sebagai ayah dari janinku.
"Pah, dedek nggak bisa tidur nih. Banyak nyamuk lagi konser di telinga mamah. Papah nggak mau kipasin aku?" Aku mengambil koran bekas dan menjulurkan ke arah Sultan.
"Haduh, orang yang buntingin eh aku yang repot." Ocehnya pelan bagai cicitan tapi aku bisa mendengar dengan sangat jelas.
"Mas ngedumel? Ini anak mas loh! Dedek, papah jahat ... Sudahlah nggak mengakui kita sekarang nggak mau juga berkorban untuk dedek, hikssss." Aku melirik Sultan sambil menggerakkan koran tadi agar segera diambilnya.
Sultan kadung kesal dan menyambar koran tadi dengan gerutuan tidak jelas, ia memilih tetap berdiri di samping kasur kapuk dan mulai mengipasiku.
Lumayan, walau tidak berasa anginnya tapi yang terpenting nyamuk sialan itu berhenti berisik di telingaku, aku mencoba untuk tidur tapi bayangan tentang hubunganku dengan Trias tiba-tiba kembali menari dipikiranku.
Apakah Trias sudah tau tentang hilangnya aku?
Apakah Trias berusaha mencariku?
Apakah Trias bahagia setelah istrinya hamil?
Ini karma buatku.
****
Pagi-pagi aku mendengar suara berisik dari arah luar, aku mengedipkan mata beberapa kali dan setelah itu aku keluar dari kamar. Aku melihat di meja makan tersedia sepiring nasi goreng dan segelas susu.
"Mas Sultan," panggilku.
"Saya di luar, mbak e," balasnya.
Aku membuka pintu depan dan melihat Sultan sedang sibuk memperbaiki sepeda onta nya.
"Ngapain?" Tanyaku.
"Ban nya bocor, saya mau kerja jadi telat kan. Haduh, kenapa saya sial dalam dua hari ini ya. Kemarin saya nabrak mbak e dan dituduh menghamili sampeyan dan sekarang sepeda saya rusak," ocehnya dengan nada kesal.
"Ya ampun, mas ini masih juga bahas itu. Kalo nggak ikhlas jagain aku dan dedek bilang aja, aku juga nggak mau hilang ingatan gini. Dedek, papah kambuh lagi kan sikap nggak bertanggung jawabnya. Tenang saja ya dek, nanti mamah carikan papah baru!" Aku menangis tersedu-sedu fan untungnya ada tetangga rese kemarin lewat.
"Mas, kok istri sirinya nangis. Nggak dikasih uang belanja ya?" Ujarnya dengan tatapan mengejek.
"Huuuuu, nggak kok mbak. Bukan masalah uang belanja tapi mas Sultan meragukan anak yang ada dikandungan saya ini," aku sengaja memberitahu tetangga agar aku punya bekingan kalau Sultan nanti mengusirku.
Bola mata tetangga itu mulai membesar dan aku yakin ia sedang kepo akut untuk cari tau tentang kehamilanku.
"Astaga, mas Sultan MBA toh? Pantasan nikah siri tapi mbok ya jangan nggak akui anak sendiri loh. Pamali loh mas, walau anak diluar nikah tetep anaknya mas kan."
Sultan kehilangan kata-kata dibombardir oleh dua ibu-ibu drama akut seperti aku dan tetangga itu.
"Salah terusssssss aku ini," bahkan Sultan tidak berusaha membela diri, ia memilih pergi begitu saja dan meninggalkan aku yang sibuk menahan tawa.
Setelah kepergian Sultan tetangga tadi langsung menghampiriku.
"Berapa bulan?"
"Kayaknya masih muda, belum sempat cek kandungan," jawabku dengan jujur.
"Oh iya perkenalkan nama saya, Mulan. Nama panjang saya, Siti Maemunah." Ujarnya mengenalkan diri.
Ya elah, darimana nama Mulan mbak ini ambil sih. Nama Siti Maemunah, panggilan Mulan. Hidupku sungguh berwarna tinggal di pemukiman ini.
"Ooo, mbak Mulan. Nama saya ..."
"Mbak E kan? E ti atau E li atau E neng?" Tebaknya asal.
"Estianti, Maya Estianti. Mbak kan Mulan nah saya Maya Estianti panggil aja Esti, mbak Mulan jangan jadi pelakor ya," bisikku pelan.
Kami tertawa dan lumayan juga dapat teman ngobrol saat sultan sedang tidak ada di rumah.
****
Setelah mbak Mulan pulang aku pun berniat mandi tapi aku tidak punya baju ganti. Aku membuka lemari pakaian yang ada di kamar Sultan, hanya ada beberapa kaos serta celana training.
"Daripada nggak ganti baju," aku mengambil baju kaos berwarna putih serta training hitam.
Setelah itu aku pun mandi, pelan-pelan aku membuka pintu menuju dapur dan baru kali ini aku lihat dapur sekecil kamar mandi yang ada di rumahku.
Hanya ada kompor minyak tanah, kotak plastik berisi beras serta beberapa peralatan makan seadanya. Di ujung dapur ada ruangan tidak berpintu. Aku pun masuk ke ruangan itu dan ternyata di situ letak kamar mandinya.
"Heh, gimana mau mandi kalau pintunya nggak ada?" Aku mencoba mencari pintu tapi tetap nggak ada.
Untungnya Sultan nggak ada di rumah jadi aku bisa mandi walau pintu kamar mandinya nggak ada. Aku mulai membilas tubuh dengan air yang ada di dalam bak.
Segar dan bikin nyaman setelah seharian kemarin aku tidak mandi.
"Mbak e, aku lupa ninggalin uang belanja ... Astaghfirullah," aku langsung kaget mendengar seseorang sedang mengucap dari arah luar.
Aku berhenti menyiram tubuh dan aku melihat Sultan berdiri sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, aku melihat ke arah tubuhku dan baru sadar aku nggak pakai sehelai benang pun.
"Arghhhh, mas Sultan! Ngintipin aku mandi ya! Dasar mas mas mesum!" Teriakku.
Aku langsung menyambar handuk dan menutup tubuhku yang telanjang.
"Astaghfirullah, nggak mbak e. Saya pikir sampeyan lagi cuci piring eh taunya telanjang eh maksud saya mandi," aku memasang kaos untuk menutupi bahuku.
"Ini kenapa kamar mandinya nggak pake pintu, sengaja ya biar bisa ngintip saya mandi?"
Sultan menggeleng cepat.
"Nggak lah, selama ini kan saya tinggal sendiri jadi nggak masalah kamar mandinya nggak pake pintu. Lupa kalo sekarang ada sampeyan di sini, yo wes nanti pulang kerja saya pasangkan kain. Jadi saya nggak lihat sampeyan telanjang lagi," balasnya.
Aku keluar dari kamar mandi dan melewatinya.
"Awas ya ngintip aku lagi," ancamku.
"Mbak e ini lucu toh, andai kata saya ini memang papahnya dedek dan juga suaminya sampeyan seperti yang sampeyan koar koarkan ke semua orang berarti saya boleh dong lihat sampeyan telanjang," ujarnya dengan senyum aneh.
Oalah, aku kejebak sendiri kan.
"Iya sih, tapi kan tadi itu aku kaget mas nongol tiba-tiba kayak dept collector lagi nagih hutang," ujarku berkilah.
"Iya sih, maaf ya. Tadi saya lupa ninggalin uang belanja. Takutnya saya lembur malam ini," Sultan merogoh saku celananya dan mengeluarkan uang 50ribu dan menyerahkannya ke tanganku.
Aku memegang uang itu dan melihat Sultan menyimpan kembali uang ribuan ke dalam saku celananya.
Ternyata aku bertemu manusia sebaik Sultan yang rela memberiku uangnya dan hanya menyimpan uanh kecil di sakunya.
"Nggak usah mas, mas pasti butuh uang ini kalau nanti sepeda mas berulah lagi di jalan," aku mengembalikan uang tadi.
"Tapi ..."
"Aku sudah kenyang kok tadi makan nasi gorengnya, nanti aku buat nasi goreng lagi aja."
"Mbak e, kok baik sih sama saya tapi kalo udah ngaku-ngaku hamil mbak e berubah jadi nenek lampir," balasnya.
Aku tertawa lepas.
Hidupku mulai berwarna sejak bertemu Sultan, tidak ada lagi rasa was was sebagai wanita kedua atau takut skandalku dengan Trias diketahui semua orang. Kini aku hanya cukup membuat Sultan percaya aku hilang ingatan sampai aku melahirkan nanti.
****