Pukulan yang mengarah ke muka Dukagjin itu bergerak bagai slow motion. Dukagjin tahu persis raksasa Tiongkok itu akan jatuh dalam detik ketiga jika ia bereaksi. Namun Dukagjin punya pertimbangan lain. Ardjan dan Bogdan harus diselamatkan terlebih dahulu.
BUUUKKKKKKK!!!!!!
Pukulan itu mendarat di wajah Dukagjin. Kemudian disusul dengan pukulan-pukulan berikutnya. Dukagjin tidak membalas. Ia berdiri melindungi Ardjan dan Bogdan yang berusaha menyingkir dari ruang tengah menuju ruangan dibelakang mereka.
Dukagjin terdorong selangkah ketika tongkat baseball itu menghantam muka dan tangannya. Dadanya kemudian dihantam tendangan bertubi-tubi oleh raksasa Tiongkok itu. Ia mundur dua langkah. Sedikit merasa nyeri karena sedari tadi tidak melawan. Ia menoleh kebelakang. Bogdan nampak sudah menyeret Ardjan masuk ke ruangan belakang itu. Belum waktunya. Pikir Dukagjin.
Tiba-tiba wajahnya dihantam tendangan lutut si raksasa yang berlari ke arahnya. Darah mengalir dari bibir Dukagjin. Ia mundur kembali dua langkah. The Great Wall itu tertawa puas. Harus segera berakhir. Pikirnya.
Aku sudah lapar.
Sang raksasa Tiongkok itu pun lalu naik keatas pikap. Bersiap terbang untuk melakukan tendangan pamungkas ke arah Dukagjin. Ia terlihat mengambil ancang-ancang. Tidak ada yang selamat dari amuk raksasa Tiongkok itu. Kemudian ia berlari dan melompat. Terbang dengan kaki siap dihantamkan ke kepala botak bertato Elang itu.
Dukagjin menutup mata.
Ia menghela nafasnya dalam dan menghembuskannya perlahan. Kemudian ia menunduk. Kaki raksasa Tiongkok itu semakin mendekat. Desiran angin terasa diwajah Dukagjin. Kemudian ia bergerak kekiri. Kaki itu terasa lewat berapa milimeter didepan wajahnya. Lalu masih dengan mata tertutup ia memajukan bahunya sedikit dan menggerakkan tangan kanannya untuk mencekik leher raksasa Tiongkok yang meluncur kearahnya. Dukagjin tidak menggunakan tenaganya untuk membanting. Ia hanya mengarahkan kepala itu untuk jatuh ditempat yang ia inginkan.
Ke tanduk banteng kap mobil pikap itu.
Kepala raksasa Tiongkok pun meluncur deras kebawah. Matanya terbelalak. Sepersekian detik kemudian kepalanya tertancap lancipnya tanduk besi itu. Tembus sampai kehidung. Bola matanya yang terbelalak lebar langsung mencelat keluar.
Dukagjin membuka mata. Puluhan moncong senjata serentak mengarah kepadanya.
"WAIT!!!" seru seseorang sambil keluar dan menodongkan pistol kearah wanita yang dicekiknya dari belakang.
"Robert...DON'T!" teriak Alex.
"Let me out or I'll kill your asset!" bentaknya kepada para preman didepannya. Matanya bergerak liar. Ia bergerak perlahan menuju pintu keluar.
DOOORRRRRRRR!!!!!!!!!!!!!!
Peluru itu menembus kepala pria itu yang langsung roboh kelantai. Angel terlepas dan langsung lari keluar bangunan sambil menjerit histeris. Dari balik mobil nampak seorang preman tersenyum puas bidikannya tepat mengenai sasaran. Sedetik kemudian para preman itu memberondongkan tembakan kesegala arah. Dukagjin merunduk didepan pikap. Namun pikap itu justru bergerak maju. Menabrak dan berusaha mendorong Dukagjin yang berada didepannya. Dukagjin berteriak keras berusaha menahan laju pikap itu. Badannya terdorong sampai kedinding pojok ruangan itu. Dinding pun mulai bergetar. Darah segar mulai mengalir dari bibir Dukagjin. Ia tidak tahu berapa lama dapat bertahan.
Sementara itu Ardjan berusaha menolong Dukagjin dengan terus menembakkan senjatanya ke pikap itu. Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Mereka juga terus memberondongkan peluru yang membuat Ardjan kesulitan untuk membalas tembakannya. Bogdan kembali tertembak pahanya saat berusaha keluar ruangan sementara Enver dikepung tiga preman yang merangsek masuk ruangan tempatnya bersembunyi.
Namun disisi kanan dari ruangan belakang terlihat sosok Abi mengendap pelan. Ia berguling kearah pohon kaktus ketika segerombolan orang merangsek masuk ruangan tempat Enver bersembunyi. Kemudian ia maju perlahan menuju pikap itu. Ia berdoa agar Dukagjin sanggup bertahan. Abi pun terus maju.
Akhirnya ia berjongkok tepat disamping pintu kemudi. Abi menarik nafas. Dadanya bergemuruh hebat. Ia menutup mata sambil menunduk sangat dalam. Ia belum pernah menembak orang. Belum pernah membunuh orang. Ia takut. Namun perlahan ia membuka matanya.
Kemudian sinar matanya menyala terang.
Ia berdiri. Mengarahkan pistol yang dicurinya dari Bogdan dan kemudian menembak kepala pengemudi itu. Otak si pengemudi tercerai berai membasahi kaca depan mobil pikap itu. Abi kembali menembak sosok pria disamping pengemudi dan menarik si pengemudi keluar dari kursi. Setelah itu Abi naik dan duduk dibalik kemudi lalu memindahkan kopling mundur. Abi pun menekan gas sedalam mungkin.
Dukagjin sontak roboh kedepan sambil memuntahkan darah segar. Terdengar suara dentuman besar saat pria berbobot 200 kg itu roboh.
Namun Abi tidak ada waktu untuk memperhatikan Dukagjin. Ia memundurkan pikap itu dengan kecepatan penuh. Orang-orang yang berada dibelakang pikap terjatuh dan kemudian ditembaki oleh Ardjan serta Bogdan. Pikap terus meluncur keluar sampai akhirnya Abi melihat keriuhan lain di basemen lantai 5 itu.
Puluhan orang dari tim Ang Bun nampak mengepung beberapa puluh preman Fifth Element yang berdiri ditengah sambil mencekik dan menodongkan pistol ke arah seorang pria Arab.
Sekeliling mereka nampak puluhan korban mati dari kedua belah pihak. Kemudian beberapa preman dibelakang pikap itu lari turun dan bergabung dengan teman-temannya ditengah basemen itu. Sekali tembakan saja bisa memicu efek domino adu tembak berikutnya.
Semuanya hening. Namun semuanya waspada.
Abi menoleh ke depan. Dilihatnya Ardjan dan Bogdan merayap keluar bangunan sambil memegang senjata. Mereka nampak payah. Wajah mereka tertutup abu mesiu dengan tubuh berlumuran darah. Ardjan terlihat mengalami beberapa luka tembak dan Bogdan hanya bisa berdiri dengan satu kaki. Ia terlihat terengah-engah.
"Guys..." ujar Maleek dengan suara orang tercekik.
"Whatever happens..." ia berhenti sejenak mencoba mengendurkan cekikan dilehernya.
"Do not let Ismael shoot this asshole" lanjutnya kemudian sambil mengerang. Namun si preman itu mencekik Maleek lebih kuat sambil menekan ujung pisau itu ke lehernya.
"Nooo nooo nooooo!!!"
"I didn't mean it! I didn't mean it! You're not an asshole! You're not!!! Arrrgghhh!!!" jerit Maleek ketika pisau itu makin menusuk lehernya. Darah segar pun keluar.
DOOOORRRRRR!!!!!!
Pria yang mencekik Maleek itu roboh ke lantai. Maleek pun ikut roboh sambil memegangi lehernya. Enver yang menembak dari lantai dua itu mendesah lega. Ia memang mantan sniper di militer Albania. Namun ia dianggap desersi. Ia terpaksa kabur karena menerima ancaman pembunuhan dari beberapa komandannya. Wajar saja. Ia meniduri dua istri komandannya. Secara bersamaan.
Tembakan Enver itu memicu kedua belah pihak melancarkan serangan demi serangan. Semua orang mencari tempat perlindungan sambil menembakkan senjatanya. Beberapa orang preman nampak menghampiri pikap dan menyeret Abi keluar.
Abi dilempar kelantai. Wajah Abi dipukuli tiga orang bertubi-tubi. Abi hanya meringkuk tak dapat melawan. Tubuhnya dihajar dari berbagai arah. Namun kemudian terdengar rentetan tembakan yang merobohkan para preman yang menendanginya itu. Sekejap pengeroyokan itu berakhir. Mereka mati bergelimpangan darah. Abi akhirnya membuka matanya yang berdarah.
"Papa!!" tangis Abi menghambur ke arah bapaknya yang juga mengalami luka tembak. Bapaknya lalu terjatuh karena pendarahan hebat di kakinya.
Namun tiba-tiba tubuh kedua ayah dan anak itu seperti ditimpa pohon jati. Mereka berdua terhempas. Ternyata Dukagjin yang menabrak sambil memeluk mereka berdua. Dari belakang terdengar suara rentetan tembakan peluru yang ditahan punggung Dukagjin.
Raksasa Albania itu hanya diam sambil terus memeluk Alex dan Abi. Lalu kemudian raksasa itu roboh. Abi menjerit sambil meraih senjata ditangan bapaknya. Abi menembak preman dihadapannya itu dengan kalap. Penembak itu pun roboh.
Abi segera menghampiri Dukagjin yang nampak sudah tidak bergerak. Abi memeluknya sambil menggoyang-goyangkan tubuh besar itu sambil menangis histeris. Tiba-tiba mata raksasa itu terbuka.
"Mama..." lirih Dukagjin menatap Abi.
Itu adalah pertama kalinya Dukagjin mengucapkan sebuah kata setelah sekian lama membisu. Suaranya mirip anak kecil. Tidak sesuai dengan tubuhnya yang raksasa.
Abi menatapnya perasaan hancur. Airmata deras menetes dipipinya. Ia terus membelai wajah Dukagjin yang nampak sangat lemah itu.
"Don't leave. Please don't leave" lirih Abi menggoyang-goyangkan wajah Dukagjin.
Dukagjin tersenyum. Namun kemudian menatap nanar. Air mata Abi semakin deras mengucur. Ia menjatuhkan kepalanya ke dada Dukagjin. Ia berusaha membangunkan pria raksasa itu. Sayangnya ia tetap diam.
Abi langsung merasa hening ditengah rentetan suara senjata. Ia merasa sepi. Desingan peluru terdengar samar ditelinga. Tidak lama kemudian Abi mengangkat muka. Dilihat sekelilingnya. Bapaknya terlihat terkulai lemas. Ia nampak meringkuk memegang kakinya. Ardjan terkulai dipojok gedung. Senjatanya terlepas dari genggamannya. Ia terluka parah. Mungkin sudah pingsan.
Sementara itu Bogdan masih memegang senjata namun tidak dapat berbuat apapun. Tubuhnya penuh luka tembak. Ia hanya bisa melihat pertempuran didepan matanya. Enver sendiri masih sibuk menembak dari lantai dua. Namun ia kewalahan setelah orang mengetahui persembunyiannya. Berkali-kali rentetan tembakan demi tembakan mengarah ke tempat ia bersembunyi. Lalu terlihat Maleek terduduk dipojok parkir sambil memegang lehernya yang berdarah.
Kematian mereka tinggal menunggu waktu.
Tiba-tiba Abi melihat keanehan. Mendadak beberapa tubuh kawanan preman Fifth Element itu nampak memiliki kesamaan. Ada sinar merah yang berkedip ditubuhnya masing-masing. Lambat laun para preman itu menyadari. Kemudian mereka berhenti menembak. Mereka saling lihat. Beberapa malah menurunkan senjatanya dan mengangkat tangan. Menyerah. Raut ketakutan tiba-tiba terlihat dari muka para preman itu.
Abi bingung.
Tiba-tiba mereka rubuh dalam waktu bersamaan. Terdapat luka tembak persis dititik merah itu. Tubuh mereka terbakar. Tembus dari depan sampai belakang. Meninggalkan lubang.
Bolong dan hangus.
Bahkan ada yang tewas terpanggang karena bajunya mengeluarkan api yang berkobar. Jeritan mereka terdengar merana. Tak ada yang berani menolong. Semua menjerit ketakutan. Beberapa lari lintang pukang.
Angel terlihat menjerit histeris ketika pengawalnya kehilangan kepala. Jatuh didepannya dengan wajah hangus terbakar. Beberapa pria dari tim Ang Bun lalu menghampiri dan memborgolnya. Kemudian beberapa preman yang selamat diminta untuk membawa mayat-mayat yang terbakar itu untuk ditunjukkan kepada teman-teman yang lain agar mundur. Perang sudah selesai. Begitu pesannya.
Abi terperangah.
Ia memutar kepalanya. Lalu dilihatnya Ismael keluar dari lift dipojok basemen itu. Berjalan menghampiri mereka semua. Dibelakang Ismael menyusul para pria berjumlah 15 orang berseragam hitam dengan senjata besar yang aneh ditangannya. Seperti bazooka. Namun lebih kecil. Mereka keluar dari mobil-mobil yang terparkir jauh diujung basemen.
Ismael mendesah lega melihat perang yang usai itu. Lalu Ismael mendatangi teman-temannya yang sedang terkapar. Bogdan hanya mengangguk pelan ketika tangan Ismael menepuk pundaknya. Ardjan yang terluka nampak berusaha berdiri dibopong Maleek. Ismael hanya mengedipkan matanya kearah Enver yang berteriak penuh kegirangan dilantai dua bangunan itu.
Namun matanya menyipit ketika melihat Dukagjin. Genangan darah terlihat mengembang dibalik jaket kulitnya. Abi nampak memeluknya sambil menangis.
"Don't get fooled by this monster" ujar Ismael tersenyum menenangkan Abi yang menangis tersedu-sedu.
"He won't die in thousand years" lanjut Ismael pelan.
Namun perasaannya tidak enak. Dilihatnya banyak darah membasahi lengan Abi. Wajah Dukagjin juga sudah memutih. Lalu dengan tangan gemetar Ismael menyentuh pipi seseorang yang dianggap adiknya sendiri itu. Seorang anak kecil bongsor yang dulu diajari matematika olehnya. Seorang remaja yang sering ia pukuli pantatnya karena sering berkelahi. Seorang adik. Ismael pun berbisik lirih..
"Mladshiy brat..."
Raksasa itu tetap diam. Ismael kembali mengusap pipi raksasa itu. Air mata mulai membanjiri pipi Ismael.
Namun raksasa itu tetap diam.