Chereads / The Secret of Bad Boy / Chapter 8 - AWAL SEGALANYA

Chapter 8 - AWAL SEGALANYA

AWAL SEGALANYA

Sesuai janji Peter, pulang sekolah kami langsung pergi ke Pastaria. Waktu gue makan siang bareng Peter di Pastaria, saat itu juga gue mulai tau sisi Peter yang belum pernah dia tunjukkin ke siapa pun. Saat itu juga gue tau, kalau Peter banyak menyimpan rahasia sendiri di balik senyum sengahnya.

Peter berhasil mengubah pandangan gue tentang dirinya.

Mulai saat itu, kami jadi akrab. Terutama karena Peter yang menjadikan gue sebagai teman curhatnya.

Entahlah. Sejauh itu gue merasa tidak ada yang aneh. Tanpa gue tahu, kalau rasa yang gue beri untuk Peter bukan hanya sekedar rasa empati dan kasihan. Tanpa gue tahu, gue juga menyimpan rasa lain.

Dan semua itu terjadi begitu cepat, berawal dari cerita dia.

# # #

Nama gua Hans Peter Rafael. Anak pertama dari dua bersaudara. Gua rasa, gua adalah manusia paling bahagia didunia. Kasih sayang orang tua gua bener bener komplit. Ade cewe gua, Chelsee, jadi orang kedua yang paling gua sayang setelah bonyok gua.

"Mama sama papa sayanggggg baanget sama Peter!"

"Peter juga sayang sama mama sama papa. Mama sama papa jangan pernah ninggalin Peter sendiri ya!"

"Ga akan pernah Peter sayang. Mama bakal selalu ada disamping Peter, ya kan Pa?"

"Iya, papa juga bakal selalu jaga Peter!"

"Janji?"

"Janji!"

.

.

.

Ya. Tapi itu dulu..

.

.

.

Semuanya hanyalah omongan kosong belaka.

.

.

.

Tidak ada bukti nyata nya.

.

.

.

Waktu gua umur 9 tahun, kelas 4 SD. Nyokap gua meninggal karena kanker darah.

Gua yang masih anak ingusan saat itu bener bener ga ngerti. Kenapa ini semua harus terjadi?

"Mama!" panggil Peter seceria biasanya.

"Mama bangun!" Peter menggoyang goyangkan lengan ibunya, "liat deh. Peter minggu depan bakal ikut lomba basket!" Peter menyodorkan sebuah lembaran putih, berisi pengumuman tentang lomba basket.

"Ma? Mama bangun!" Peter menggoyang goyangkan tubuh ibunya sekali lagi.

"Stt. Jangan berisik ya Peter, ini lagi di Rumah Sakit. Nanti mengganggu," pinta Rafa, ayah Peter.

"Tapi pa! Mama ga mau bangun! Peter kan mau nunjukkin ini!"

Rafa berjalan mendekati putra dan istrinya.

"Hannah?" Rafa mencoba membangunkan istrinya itu.

Tititit! Tititit! Tititit!

Tiba tiba benda yang Peter tidak tahu apa gunanya, berbunyi dengan nyaring. Rafa memencet sebuah tombol dengan kencang dan berulang kali.

Lalu dokter beserta para susternya dengan terburu buru memasuki ruangan.

Peter, Rafa, dan Chelsee langsung pergi keluar ruangan. Menunggu.

"Pa, kok tiba tiba banyak dokter yang masuk? Trus kok kita diusir keluar?" tanya Peter polos.

Rafa terlihat gelisah, "Dokter dokter itu lagi nolongin mama. Biar mama sembuh."

"Mama pasti sembuh kan? Peter takut." Mata Peter mulai berkaca kaca.

"Ga usah takut Peter. Papa kan disini. Kamu cowok, harus kuat oke?"

Peter kembali tersenyum. Takutnya perlahan menghilang, "Iya! Peter kan kuat, kayak papa!"

Dua jam berlalu. Seorang pria berpakaian serba putih keluar dari ruangan, dengan wajah yang tidak mengenakkan.

"Bagaimana dok keadaan istri saya?" tanya Rafa tak sabar.

"Dengan sangat menyesal, Bu Hannah sudah tidak dapat terselamatkan lagi pak."

Tubuh Rafa membeku ditempat. Matanya memanas, "Apa tidak ada cara lain dok?"

Sang Dokter menggeleng, "Saya turut berdukacita," ucapnya lalu pergi begitu saja.

Peter bangun dari tidurnya. Tersadar bahwa ayahnya sudah tidak ada disampingnya.

Peter beranjak berdiri. Berjalan kearah ayahnya yang sedang berdiri.

"Papa!" Peter menarik lengan ayahnya.

Peter tertegun sejenak, melihat mata ayahnya yang sedang membendung air mata.

"Papa kenapa?"

"Mama meninggal," ucap Rafa tak bertenaga.

"Meninggal?"

"Iya, mama bakal ninggalin kita untuk selamanya."

"Selama lama lama lamanya?" tanya Peter memastikan.

"Iya, selama mungkin. Kita ga akan ketemu lagi sama mama."

"Mama ma-ti?" Air mata Peter sudah lolos dari pertahanannya.

"Mama ga boleh matii!! Ga bolehh!!!" Tangis Peter pecah saat itu juga.

Peter menangis sejadi jadinya.

Saat itu, gua bener bener hancur. Yang bisa gua lakuin cuman nangis, nangis, dan nangis.

"Mama kan udah janji bakal selalu ada disamping Peter! Mama kan udah janji ga bakal ninggalin Peter! Tapi kenapa mama ninggalin Peter, paa!!? Peter melontarkan semua pertanyaan itu kepada ayahnya.

Gua yang saat itu bener bener megang janji nyokap gua, ngerasa sangat dibohongin. Gua ga nyangka, kalau gua bakal kehilangan orang yang paling gua sayang secepat ini.

Gua bahkan belum ngebanggain nyokap gua. Tapi kenapa nyokap pergi secepet itu?

Gua mencoba untuk kuat, seperti yang dibilang sama bokap. Tapi gua ga bisa. Gua masih terlalu kecil, untuk mengikhlaskan sosok yang udah ngelahirin gua.

"Peter, udah nangisnya. Cowok ga boleh nangis lama lama, papa aja ga nangis. Masa kalah sama Chelsse? Chelsee aja tidur, ga nangis tuh."

"Tapi Peter sedih! Mama jahat! Udah ingkar janji!"

"Peter masih punya papa. Papa janji, bakal menuhin janji mama. Papa bakal terus ada buat Peter, dan jagain Peter oke? Jadi jangan nangis lagi ya!" Rafa memeluk tubuh Putranya penuh kasih sayang. Berharap semuanya akan cepat berlalu.

"Janji?" Peter mengulurkan jari kelingking kecilnya.

Rafa berusaha tersenyum, lalu menautkan jari kelingkingnya.

Lalu gua kembali terbuai dengan janji manis bokap gua. Seharusnya gua tahu, kalau semuanya itu bohong. Dusta.

Mereka janji cuman buat nenangin gua. Buat gua terbuai dengan kata kata manis dan senyuman. Menutupi fakta yang menyakitkan dengan kebohongan yang memanjakan.

Waktu demi waktu berlalu. Semuanya mulai terungkap.

"Pa! Lihat, Peter boleh ikut club basket ini ga?"

"Lain kali ya Peter, papa lagi sibuk," ucap Rafa tanpa sedikitpun melihat putranya.

Semuanya terus terjadi, bahkan berjalannya waktu lebih parah.

"Pa, ayok temenin Peter main basket."

"Papa lagi sibuk Peter!"

"Sebentar doank, Peter pengen main sama papa!"

"Kamu kan udah tahu sekarang mama udah ga ada! Papa sendiri! Papa sibuk Peter! Anak sialan!"

Perlahan, gua kembali tersakiti oleh kenyataan. Kenyataan bahwa semua janji bokap gua itu palsu.

# # #

"Mana yang katanya ga bakal ninggalin gua?"

"Mana yang katanya bakal selalu jaga gua!?"

Gue lihat mata Peter udah mulai berkaca kaca. Gue bisa lihat Peter yang bener bener hancur. Mungkin kalau gue jadi dia, gue ga bisa bertahan sampai sekarang.

Gue bener bener bingung mau ngebales apa. Speechless.

"Tapi gue yakin kok. Bokap lo pasti sayang sama lo, cuman sibuk aja," ucap gue mencoba nenangin Pete.

"Sayang apanya!? Makin hari bokap gua makin parah. Pulangnya makin malem. Sering mabuk mabukkan. Itu yang namanya sayang?"

Bener juga kata Pete. Gue ga tau lagi harus gimana.

"Bener kan? Semuanya pembohong? Haha." Tawa Pete terdengar hampa.

"Termasuk Queen. Yang janji bakal selalu setia sama gua sampai kapan aja. Yang udah ngasih harapan. Dan gini ujungnya."

"Semua janji itu bohong. Penipu. Pembohong!"

Gue tertegun denger itu. Apa bener yang Peter ceritain? Dari ekspresinya sih ga mungkin bohong.

Peter ngeluarin sesuatu dari balik saku bajunya. Sesuatu yang bener bener gue ga nyangka. Rokok.

"Lo mau ngapain!?" tanya gue ga santai.

Peter kelihatan ga peduli. Lalu nyalain korek.

"Peter!"

Dia natap gue bentar. Lalu matiin koreknya.

Lah ngapain dinyalain kalau ujung ujungnya juga dimatiin? Dasar aneh.

"Oh iya lupa. Lagi dalam ruangan ya."

"Lo ngerokok?" tanya gue ga percaya.

Dia natap gue sendu, "Santuy. Ga usah dipikirin. Gua gapapa."

"Jangan ngerokok!" larang gue.

"Dah, gua cabut ya. Maaf udah ganggu. Makasih ya..," kata dia, lalu ninggalin gue gitu aja.

Kok dia minta maaf sama bilang makasih? Gue ga ngerti. Tapi kalau diliat lagi, kayaknya Pete itu baik. Dia ga seburuk yang gue pikirin.

Mungkin, berjalannya waktu semuanya akan terungkap.

Satu nama. Peter. Dia yang menyimpan banyak rahasia..