Hari itu mungkin aku berbuat kasar sekali kepada Widya, sampai-sampai aku menampar pipinya dengan tanganku sendiri. Widya membalas tatapan tajamku dengan air mata yang mengalir deras di pipinya, sedangkan Isal masih berdiri mengepalkan tangannya.
Aku tahu pria itu pasti geram sekali dengan apa yang telah aku lakukan, kesal karena aku telah mengganggu kesenangannya. Tapi amarahku lebih besar dari apa yang telah dia lakukan terhadap Widya.
"Aku tahu kalian sudah dijodohkan dan akan segera menikah, tapi apa pantas kalian melakukannya sebelum resmi menjadi suami-istri? Aku rasa ayahmu juga akan maka jika mengetahui hal ini Widya!" ucapku dengan nada tegas.
"Eh! Gak usah ikut campur..."
"Tentu aku harus ikut campur!" bentakku memotong kalimat Isal. "Di sini ada harga diri saudaraku yang akan dirusak, tentu aku harus ikut campur" ucapku menatap marah padanya.