Mama mencoba terus untuk mencari kontrakan baru, ada memang, dekat mushola lagi, tapi sayangnya tempat itu rawan sekali banjir. Beberapa bulan sudah kami tinggal di kontrakan pak Min, kami mencoba terus bertahan di sana, ya sebenarnya kepepet sih. Meskipun terkadang suara dengkuran misterius masih sering terdengar tapi sepertinya mama sudah mulai terbiasa dengan itu dan mampu mengendalikan rasa takutnya. Cuma kadang yang ga enak didengar itu suara wanita yang tertawa dengan nada yang melengking. Entah jenis sundel bolong atau kuntilanak aku kurang paham.
Tapi antara kedua makhluk ini jelas mereka jenis yang berbeda meskipun jenisnya sama-sama wanita, Sundel bolong biasanya mereka hadir memiliki ciri khas tersendiri. Bau wangi yang menyengat kemudian bau busuk yang gak kalah menyengat, bisa membuat siapapun muntah jika mencium baunya. Sundel bolong juga memiliki lubang yang membusuk di bagian punggungnya. itu yang membuat dirinya memiliki bau yang benar-benar tidak enak.
Beda lagi dengan sosok kuntilanak. Sebenarnya kuntilanak memiliki ciri, dia memakai baju putih dan berambut panjang eh, pengetahuan umum itu ya, dan memang sudah di ketahui banyak orang. Tapi sebenarnya yang disebut Kuntilanak adalah sosok wanita yang hamil, cuma untuk kebanyakan orang yang penting rambut panjang juga pakai baju putih itulah kuntilanak. Tidak mengamati hamil dan tidaknya yang penting kalau ketemu kabur hehe.
Beberapa kali aku bertemu dengan mereka dan memang melihat perutnya besar seperti orang yang hamil sekitar 7 bulan. Tapi bahkan ada juga yang suka menggendong bayinya sambil bersenandung di dahan pohon pada malam hari. Tau suaranya seperti apa? Pokoknya serem. Namun dari senandungnya itu kadang ada tersirat rasa sedih yang sangat mendalam. Bodo ah, sesedih apapun nyanyian mereka tetap saja mengganggu kenyamanan telinga manusia.
Lanjut ke cerita. Sejak mama tau aku melihat ular besar itu beliau melarangku pergi main ke area kebun ataupun area sungai. Cuma yang aku bingung, apakah itu ular jadi-jadian atau beneran ular yang memang tumbuh sampai sebesar itu? Karena jika memang ular nyata mama pasti akan melihatnya juga kan?
Kejadian aneh berikutnya setelah aku melihat ular jadi-jadian itu, selang 3 hari kalau ga salah. Aku berjalan pulang sehabis bermain di lapangan depan kontrakan bersama teman-teman sepermainan, tiba-tiba ada ular disana.
Anehnya saat itu aku ga tau kalau itu ular, yang aku lihat hanya seperti sebuah tongkat lurus berwarna coklat, masih ingat dengan jelas kalau yang ada di dekat kakiku itu tongkat, bukan ular. Dari jarak dekat masa iya aku salah liat? Aku berjalan melangkahi benda mirip tongkat itu. Tapi dari depan teras mama langsung berteriak "Awas nak. Ada ular!"
Tentu saja aku bingung, mana ada ular. "Apa mah, ini kan cuma tongkat kayu, lihat nih" jawabku sambil menggeser benda panjang itu dengan kaki sambil melangkahinya beberapakali sebagai bukti kalau mama salah lihat. "Bukan ular kan ma?" ucapku lagi.
"Itu ular, ular! Cepat menjauh dari sana nanti kamu di gigit!" teriak mama lagi sekarang semakin panik.
Aku semakin bingung menatap mama, teriakkannya sampai mengundang beberapa warga yang panik mendengar teriakan mama. "Ada apa Iyah? Kenapa kamu berteriak seperti itu?" tanya salah satu warga.
"Itu pak, tolong ada ular. Kamu cepat kesini Nimas, pergi dari ular itu!" teriak mama lagi.
Aku masih dengan pendirianku kalau yang aku lihat bukan ular, "Tapi ma. ini kan... " baru saja aku menoleh dan ingin mengambil tongkat yang disangkanya ular. Benar saja, tongkat yang aku lihat tadi sudah berdiri hampir setinggi tubuhku dengan kepala yang terbuka, terdiam menatapku sambil menjulurkan lidahnya.
Rasanya takut pengen lari menjauh. Tapi kaki rasanya sulit untuk digerakkan. Mama hampir menangis, pikirannya sudah kemana-mana saat melihat ular kobra berdiri tegak di depan anakknya. Bagaiama bisa, benda yang aku lihat togkat tadi sekejap berubah enjadi seekor ular. Salah satu warga berimisiatif mendekat sambil membawa sebatang kayu. Tak lama setelah itu. "BUUKKK" pukulan keras telah mengenai kepala sang ular. Ular itu mencoba kabur, akupun terduduk lemas, antara perasaan lega juga perasaan lain yang sulit untuk aku jelaskan.
Ular itu berusaha kabur, warga lainnya langsung ikut memukuli ular kobranya, ada yang pakai kayu, ada yang pake batu. Aku masih terduduk, melihat pemandangan itu ada rasa sedikit kasihan aku rasakan.
"Pak. Jangan bunuh dia!" teriakku.
"Jangan bunuh? Ular ini hampir menggigit kamu!"
Benar, dan pasti akan membahayakan warga lain. Tapi aku tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan saat itu. Sedih, tidak tega, keberatan saat para warga memukuli ular itu. Mama mendekat lalu menarikku menjauh. Tapi mataku tidak ingin berpaling dari ular malang itu,
"Kamu ga papa kan Nak?" tanya mama sambil mengecek anggota tubuhku, ia takut ular itu sempat menggigitku tadi.
"Mama, ular itu tidak mrnyakitiku. Kenapa mereka membuhuhnya?! Bukannya cukup di usir saja? Dia pasti akan pergi" ucapku menahan sedih. Mama terdiam menatapku dalam sekalius heran. Saat itu mama bilang nada bicaraku sangat berbeda dari biasanya, tapi aku merasa biasa saja. Hanya ada perasaan yang memang sulit untuk aku jelaskan.
Warga sudah berhenti memukul. Salah satu dari mereka memegang ekor ular yang sudah tidak bernyawa, aku liat kepalanya sudah hancur tak berbentuk. Rasanya sakit dan pengen marah, tapi ya sudahlah, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
*****
Aku dengar budhe akan datang dalam waktu dekat ini. Mungkin akan lebih baik karena suasana akan lebih ramai. Saat itu mama sedang mengandung adikku, entah berapa bulan aku lupa hehe. Oh iya, lanjut cerita yang di atas. Sore itu aku sedang bermain sendirian di teras kontrakan.
Waktu menjelang maghrib, suasana kontrakan mulai sepi. Cuma terlihat beberapa warga yang habis pulang dari kerja atau pergi ke warung. Aku asik mengayunkan tubuhku di pembatas teras dengan posisi tengkurap, sibuk dengan kelakuan gajeku saat itu. Saat tidak sengaja menoleh ke arah rimbunan pohon bambu, tanpa di sadari ternyata di sana sudah ada seorang wanita yang sangat tinggi berdiri melototiku. Wajahnya pucat, dengan kantung mata yang berwarna hitam, rambut kusut yang panjang seperti rambut yang tidak terawat, memakai baju putih berdiri di tengah rimbunan pohon bambu.
Aku sempat terpaku dengannya, kami saling pandang dan aku juga masih mengamatinya. "Ngapain mbak itu sore-sore di pohon bambu?" ucapku dalam hati. "Eh, kenapa dia melototin aku?" Gumamku sambil masih mengamati sosok itu.
Sampai akhirnya, sesuatu membuatku tersadar kalau dia bukanlah manusia. Masih dengan posisi memelototiku posisi wanita aneh itu semakin bergeser ke arah kebun yang agak terbuka, tidak ada semak belukarnya. Aku heran, dia bergerak tanpa menggerakkan kakinya, semakin terlihat kalau ternyata wanita misterius itu bukan tinggi karena tinggi badannya tapi dia tinggi karena melayang tidak menapak tanah dengan rambut yang terurai hingga bawah terus terusan memelototiku.
"Mamaaa" Teriakku sambil berlari masuk ke dalam kontrakan. Tapi sialnya, saat itu pintu sedang dalam keadaan tertutup hingga "BRAAAKK" aku membenturnya cukup keras lalu terjatuh di lantai. Sakiiittt.
"Ada apa?!" ucap mama panik mendengar gebrakan pintu. "Kamu kenapa Nimas?"
"Ayo sini ma" ucapku bangun lalu menarik tangan mama kedepan teras dan meliat kembali ke arah kuntilanak tadi.
"Ada apa?" tanya mama penasaran kenapa aku melihat terus ke arah pohon bambu.
Aku diam, melihat ke selutuh kebun dan rimbunan bambu tepat kuntilanak memelototiku tadi, tapi ternyata disana sudah ada apa-apa.
"Nimas, ada apa?"
Aku diam, tidak menceritakan apa yang aku lihat pada mama. Mama menatapku dalam, dia tau pasti aku habis melihat yang aneh-aneh lagi. "Sudah ayo masuk. Makanya mau maghrib kamu harus di dalam rumah" ucap mama langsung menggandengku masuk ke dalam rumah.