Sudah dua minggu ayah tidak pulang, alasannya sibuk harus lembur dan akan pulang diminggu berikutnya. Kehamilan mama sudah semakin besar, kami tidak memiliki ponsel untuk menghubungi ayah jadi susah kalau mau kabar-kabar. Jaman dulu harga ponsel masih terlalu mahal, ga seperti sekarang dengan uang 500 ribu saja udah dapat android hehe.
Malam itu kami berniat telepon ayah memalui telepon umun yang masih menggunakan koin, hanya saja letak telepon itu ada dipinggir jalan raya yang letaknya lumayan jauh dari kontrakan kami. Memang, ada jalan pintas paling dekat supaya ga jauh ke telepon umum. Yaitu, menyeberang lewat jembatan yang ada di atas sungai. Ada juga jalan utama, tapi jauh dan harus berjalan memutar, dengan kondisi hamil besar maa mana mungkin kuat jalan sejauh itu.
Terlihat ada keraguan di wajah mama saat itu, antara takut atau nekat, karena dia sudah mulai merasa mulas di perutnya. Mama ingin mengabari ayah, menyuruhnya untuk pulang kalau bisa. Tapi disisi lain, letak dari jembatan itu cukup mengerikan jika harus menyeberanginya malam-malam. Apalagi posisinya yang sepi dan terletak ditengah pohon bambu.
"Mama"
"Ayo Nimas, kamu anterin mama ya"
"Iya"
Kami mulai berjalan kearah barat menuju letak jembatan itu. Sesampainya disana, ribunan pohon bambu yang gelap, dan kemericik air sungai menyambut kami dengan atmosfir dingin mencengkam. Lampu jalan memancarkan cahaya remang berwarna kuning menambah suasana seram. Kami berdiri cukup lama memandangi sisi jembatan yang sunyi.
"Nimas, kita tunggu sebentar ya. Siapa tau ada orang lewat, jadi kita bisa barengan nyebrang ke jembatan" ucap mama agak cemas. Aku hanya mengangguk.
Sebenarnya aku ngrasa takut banget, tapi kalau aku takut, kasihan mama. Dia juga pasti akan semakin ketakutan. Aku berdiri diam memeluk pinggul mama, tidak berani melihat ke setiap arah karena pasti akan melihat sesuatu yang aneh.
"Iyah! Ngapain kamu disini?" Suara tetangga kami pak Santo mengagetkan.
"Haduh pak, kaget saya!"
"Lagian kamu ngapain malem-male disini?"
"Saya mau ke telepon umum pak, jadi mau lewat jembatan ini"
"Oh ya udah kalo gitu, saya juga mau ke rumah saudara. Ayo kalau gitu" ucap pak Santo. Pak Santo jalan duluan disusul kemudian aku dan mama. Tapi tetep aja aku ga berani melepas pelukanku dipinggulnya meskipun ada pak Santo. Kami lewat di jembatan itu, jujur aku deg-degan takut, ga tau kalau mama kayaknya agak lega karena ada temen yang bareng nyebrang di jembatan.
Jembatan gelap, hanya ada sinar lampu di ujungnya. Tidak sengaja aku menoleh ke arah kiri, air sungai kelihatan tenang karena memang arusnya ga terlalu deras sih. Mama jalan sambil ngobrol sama pak Santo, sedangkan aku berjalan sambil mengawasi air yang menurutku ada yang aneh. Dicahaya yang remang-remang, air sungar bergerak seperti ada sesuatu yang berenang di dalamnya, masih aku amati, siapa tau ada ikan besar yang berenang. Hah, dugaanku salah. Bukan ikan yang ada di sana, tapi potongan tangan dengan kulit pucat bergerak melambai-lambai dari dalam air.
"Mama" rengekku semakin erat memeluk pinggul mama.
"Ada apa Nimas?"
Aku hanya menggeleng lalu mengalihkan perhatianku. "Kita hampir sampai, ayo lebih cepat jalannnya"
Kami berpisah dengan Pak Santo di pinggir jalan raya, setelah itu mama menelpon ayah menggunakan koin yang sudah ia siapkan di kantong dasternya. Aku menunggu mama sambil melihat kendaraan yang hilir mudik di jalan raya, ga lama mama ngobrolnya karena koin yang dia punya juga ga terlalu banyak. Ngomong langsung pada intinya setelah itu kami kembali pulang. Ya, pulang dengan jalur yang sama.
Lagi-lagi sambutan mengerikan dari jembatan. Kalau berangkatnya tadi kami bisa bernafas lega karena ada pak Santo. Lah sekarang? Hanya kami berdua. "Mama, apa kita mau nunggu ada orang lewat lagi?" Tanyaku.
"Iya, coba kita tunggu ya" jawab mama sambil melihat-lihat siapa tau ada orang yang kebetulan lewat.
Tapi, sudah lama menunggu ga ada juga satupun orang yang lewat. Kakiku mulai pegal berdiri. "Nimas, kita pulang aja ya. Ga papa kita berdua jalan, yuk" Ucap mama. Meskipun terlihat ragu, tapi terpaksa. Kalau ga diberani-beraiin mau sampai kapan kita nunggu disana?
Kami mulai naik tangga menuju jembatan, mama merangkulku cukup erat, begitu juga aku memeluk mama semakin erat. Rasanya semakin mencengkam dari awal berangkat tadi, mungkin karena cuma kami berdua saja yang ada di suasana itu jadi semakin terasa seremnya.
"Hi hihihi" suara lengkingan wanita, terdengar jauh tapi cukup jelas didengar telinga.
Langkah kaki mama terhenti, sepertinya dia juga dengar suara itu. Reflek aku menoleh ke atas pohon bambu, kami masih baru sampai ditengah jebatan. "Nimas! Sudah kita jalan aja. Kamu ga usah noleh kemana-mana!" Ucap mama langsung merengkuh wajahku dan menutupnya dengan telapak tangannya.
Kami melanjutkan perjalanan kami, dengan perut yang besar ga mungkin mama bisa jalan terlalu cepat. "Krupyaakkk" suara air sungai bikin kaget kita yang sedang dideru ketegangan. Mama sempat menoleh ke sana, tapi sepertinya ga ada apa-apa.
Sambil terus berjalan, meskipun banyak suara aneh yang kami dengar, tapi kami berusaha untuk tidak memperdulikannya. Sampai satu suara yang benar-benar mengganggu pendengaranku.
"Oooeee... Ooooeee..." Suara bayi menangis memecah kesunyian. Meskipun wajahku ditutup oleh telapak tangan mama tapi aku masih mendengar jelas.
"Mama dengar ga?" tanyaku lirih.
"Mama ga denger apa-apa Nimas, ga usah di gubris. Kita sudah hampir samapai ayo cepat" Ucap mama.
"Oeeee... Oeee... Oeee..." suara tangisan bayi itu semakin kencang dan dekat. Dari sela-sela jari mama aku melihat. Seseorang dengan baju putih sedang berdiri melayang di pohon bambu sambil menggendong anak dengan rambutnya.
"Mama aku takut!" ucapku langsung memeluk mama erat.
"Iya, lihat, kita sudah sampai. Ayo sekarang kita pulang" ucap mama lega karena sudah berhasil melewati jembatan seram itu dengan selamat.
Alhamdulillah, setelah melewati ketakutan akhirnya kita sampai di kontrakan. "Mama, ayah bisa pulang?"
"Bisa, lusa ayah pulang" ucap mama dengan ekspresi wajah riang.
"Mama tadi di jembatan denger bayi nagis ga?"
"Bayi nagis? Enggak. Tapi kalau orang cekikikan sama gelombang air mama denger"
"Tapi tadi ada bayi nangis ma, terus Nimas liat ada mbak-mbak yang lagi gendong anak pake rambutnya"
"Hah???" mama metap terkejut. "Kan udah mama bilang jangan jelalatan kemana-mana!" ucap mama kesal. Habis gimana, orang aku ga sengaja liat kan.
"Udah, jangan dibahas. Sekarang ayo cuci tangan dan kaki, habis itu kamu tidur ya!."
Mama menggandengku ke kamar mandi. Dari situ aku baru lihat, dan mungkin itulah guna rambut panjang kuntilanak yaitu buat gendong anaknya. Apa iya? Apa mungkin? Ah, ga semuanya sih nggendong pake rambut. Tapi pengalaman itu aku jadi tau keunikan mereka. Unik, tapi nyebelin seremnya.