Selamat membaca
°•°•°
Percaya ataupun tidak, kamu sungguh ada dan sepenuhnya menetap di hati ini. Mengisi rasa yang telah aku miliki setiap hari.
Taukah kamu? Rasaku untukmu melekat kuat, aku sendiri tak tahu, dengan taktik apa lagi aku menariknya agar dirimu tak semakin menguasainya.
Lemah? Iya! Kuakui aku memang lemah. Mengatur rasaku sendiri saja aku tak bisa. Sekuat tenagapun aku tetap, tak kuat. Aku juga tak tahu, jurus apa yang kamu punya hingga aku tak mampu menaklukkannya.
Sungguh, ini terlalu dahsyat mengikatku. Berlebihan? Tidak! Karena aku sendiri yang merasakannya setiap saat. Ketika hanya ada kita. Berdua. Bersama. Tepatnya diriku. Yang mengukir rasa di setiap waktuku, kala bersamamu.
Nadea.
Kembali kuletakan Budy ke asalnya. Selepas mencurahkan perasaanku untuk sosok lelaki pujaanku. "Ah, Sean... Kamu membuatku berharap terlalu jauh. Kuharap, mencintaimu bukanlah suatu kesalahan. Karna rasaku untukmu adalah bentuk ketulusan, bukan pemaksaan agar terbalaskan. Ya, semoga Tuhan mendengar permintaanku yang pastinya selalu kuharapkan."
Seminggu sudah aku diantar-jemput olehnya sejak pertama kali dia meminta maaf padaku. Sama sekali tak bohong, rasa sayang yang kupunya untuk Sean pun kian membesar. Entah kenapa aku semakin percaya kalau Tuhan memang mengabulkan doaku setiap malam--- membuatku lebih dekat dengan Sean-- sebelum aku benar-benar memejamkan mata untuk masuk ke alam mimpi.
Aku yang baru saja pulang sekolah, memilih untuk membersihkan diri lebih dulu. Sudah dari tadi pernapasanku terkontaminasi oleh bau menyengat, sudah pasti berasal dari tubuhku. Maklum, karena seharian ini aku beraktivitas. Belum lagi habis olahraga, bisa dibayangkan bagaimana aromanya kalau aku tak memakai parfum aroma coklat punya Sean. Mungkin akan terasa manis jika itu coklat betulan.
Biasanya Diya akan mengajakku makan malam usai dirinya merampungkan urusannya yang entah apa itu. Aku tidak mau terlalu ikut campur. Bisa jadi nanti dibilang kepolah, terlalu berisiklah, inilah, itulah. Jadi, lebih baik aku menutup rapat mulutku saja. Menunggu saudariku untuk bercerita. Kalau memang tidak mau menceritakan apapun, aku akan mencoba untuk bersikap biasa saja, meski aslinya keingintahuanku itu memang besar.
Kurun waktu dua puluh menitan, aku sukses menyelesaikan kegiatan mandi. Pilihanku jatuh pada kaos merah polos yang sedikit kebesaran dengan legging panjang warna hitam.
Menyaksikan tampilanku di depan cermin yang bersatu dengan meja riasku. "Lumayan...."
Menyisir rambutku setelah melepas ikatan rambut yang tadi kupakai saat mandi. Bedak bayi tak lupa kuusap di wajah secara merata, ditambah polesan lipgloss warna merah bibir guna melembabkan.
"Dea!" bersamaan dengan panggilan Diya di luar kamarku, aku selesai dandan. Dengan cepat aku meraih ponsel di atas meja yang kebetulan tertangkap arah mataku.
"Iya! Ini udah kelar." sahutku seraya memakai jaket jeansku.
"Mau makan di mana?" tanya Diya tiba-tiba. Padahal Diya yang sering memutuskan ke mana kami akan makan.
"Kalo aku pengen ayam geprek gimana? Boleh...?" Diya nampak tersenyum singkat sambil mengangguk.
"Makan sana apa bungkus?"
Aku yang tengah mengekorinya merenung sejenak. "Kalo makan sana gimana?" Diya mengangguk sembari mengangkat jempol kanannya. "Sebelum pulang kita mampir supermarket ya... Beli cemilan sama bahan-bahan buat sarapan." usulku takut-takut.
"Iya." ucapnya pelan yang masih bisa kudengar.
Aku yang lebih dulu keluar rumah, kini berlari membukakan pagar. Diya bersiap untuk mengeluarkan mobil. Begitu benda beroda empat itu sudah di depan pagar rumah, aku segera masuk dan duduk tepat di samping Diya.
Tak ada obrolan apapun di antara aku dengannya. Diya sesekali mengecek ponsel. Ingin mengingatkan namun takut kena omelan. Alhasil, aku hanya diam seraya memperhatikan.
Seketika Diya menatapku. "Kalo kurang uang, bilang ya. Pokoknya kalo ada tugas atau apapun yang pake uang dan masih kurang, bilang aja. Ntar aku yang bilang ke Mama." terangnya yang membuatku sedikit terkejut.
Aku menatapnya heran. "Emang Mama bisa dikabarin?" pasalnya wanita hebat yang kusayangi itu memang sulit untuk kuhubungi. Jarang membalas pesanku tepat waktu.
Diya menggeleng lemah. "Susah sih. Cuman kalo udah menyangkut uang, pasti dikasih. Aku juga nggak tau kenapa bisa gitu. Makanya, sekarang aku jarang minta uang ke kamu."
Aku manggut-manggut. Kupikir kelakuan Mama terasa janggal. "Kamu ngerasa aneh nggak sih sama Mama?"
Diya menghela napas berat. "Iya. Tapi mau gimana lagi, tugas kita kan cuman nurut." aku setuju sama ucapannya itu. Patuh. "Nurut aja kalo memang buat kita makin mandiri. Ya... Meskipun uang masih dikasih." betul banget kata Diya.
Mungkin memang ini yang terbaik untuk kita. Bicara masalah Mama dan Papa, yang kubisa hanya berdoa penuh permohonan dan harapan agar masalah kedua orangtua kita semakin jelas dan segera terlihat jalan keluarnya.
°•°•°
Baru saja aku ingin masuk mobil setelah belanja di Supermarket, Sean mengabariku. Dia mengatakan, ingin membawaku ke suatu tempat. Dengan semangat aku mengiyakan dan langsung meminta ijin dari Diya. Senangnya aku tatkala Diya menyetujui dengan syarat pulang tepat waktu. Itu sudah pasti, meskipun diawal-awalan aturan yang dibuat aku pernah pulang telat. Sakit coy kalau dijambak, ditampar, keduanya sama-sama pedas.
Sean juga mengatakan bahwa dirinya sudah dalam perjalanan untuk menjemputku. Aku yang tengah duduk di salah satu sudut tempat parkir, kembali fokus mengamati mobil yang keluar-masuk, juga motor yang sekiranya mirip punya Sean.
Begitu motor merah berhenti di depanku, tanpa salam dan ucapan pengendaranya turun mendekatiku. Langsung memakaikanku helm putih yang biasanya sering kupakai.
"Gitu amat!" protesku tak suka.
Ia malah terkekeh. "Biar cepet dong..." aku yang memang sudah hapal dengan sifatnya, takkan terkejut. Cuma sedikit kesal.
"Kebiasaan!"
Senyum Sean terlukis, lebih tepatnya lagi senyum yang mengandung arti. Membuatku semakin kesal aja! Bukan gimana-gimana, masalahnya dia selalu tepat sasaran. Dia membalas, "sampe hapal gitu... Perhatian amat sih..." kalimat terakhirnya itu sukses membuatku menahan gugup. Begitulah aku setiap di dekatnya.
Selalu. Omongannya tak pernah meleset ketika menyangkut perasaanku. Gimana aku nggak dag dig dug duar? Tiap hari nusuk hati. Memang nggak bikin sakit cuma takut aja kalau saja tiba-tiba aku jantungan... Bolehkah aku meyakini, nanti ujung-ujungnya kisahku bakal berbuah manis? Hanya masalah waktu, mungkin? Hehe, berharap banyak boleh kan? Ingat, sedikitpun aku takkan berhenti berjuang membentuk rasa untuk Sean.
"Iyain deh... Biar cepet!" balasku ikut-ikut jawabannya. Kutunjukan senyum lebarku sebelum naik ke jok penumpang.
Ia yang tengah menatapku lantas tersenyum ditambah gelengan. "Pinter ya nyontek kata-katanya."
Aku tertawa singkat. "Ya dong... Pasti." setelahnya tanganku melingkar di pinggang kekar itu, karena ulah Sean sendiri yang berusaha memaksaku. Aslinya aku senang, sangat senang dan tak sedikitpun merasa keberatan. Masalahnya, di dasar sana hatiku ingin lepas dan terbang sejauh ia bisa. Perutku seakan kegelian saat pertama kali dia menyuruhku dan berlangsung setiap aku bersentuhan dengannya. Tubuhku sungguh memberikan sinyal senang, gugup, terharu, takut, malu, ya... Semua jadi satu karena hal kecil itu.
BREEEMMM...! BREM...! BREM...!
"Mau kenceng apa pelan?" penawarannya percuma aku jawab karena usulku enggak pernah digubris. Ya, itulah Sean. Aneh. Tapi itu juga yang membuatku semakin suka.
"Perlu dijawab?" tanyaku yang malah dijawabnya dengan kekehan dan tawaan. Selepasnya, motor besar yang membawaku dan dia melaju sangat kencang.
BRUUUEEENG...!
"SEAAANNN...! BERHENTIII...! SEAN!" teriakku histeris sampai tenggorokanku sakit. GILA! Jujur saja, aku memang takut. Mengerikan, nyawaku seakan ingin melayang.
"Maaf." ucapnya setelah memelankan sedikit laju kendaraannya. Sedikit.
Aku yang masih shock hanya bisa berdeham. Tak berniat juga untuk marah-marah karena memang tenagaku sudah terkuras habis saat meneriaki namanya. Usapan lembut Sean di punggung tanganku sekarang mampu meredakan emosi dan keterkejutanku. Meskipun tak banyak, tapi setidaknya sedikit membantu. Laju motornya juga memelan.
Beberapa menit kemudian, akhirnya aku mulai lega. "Mau kemana?" tanya Sean. Mungkin ia merasa bersalah.
"Ngikut."
"Ya udah... Bener ya?"
Aku menarik napas panjang. "Iya Sean."
"Oke." bersamaan dengan itu, usapan yang membuatku tenang berhenti. Ia kembali fokus mengendarai. Laju motornya diperkencang, namun tak sekencang ketika dia menggodaku.
Angin malam yang dingin semakin terasa ketika kita melewati jalan yang menanjak. Motor merah Sean yang membawa kami, berhenti di sebuah bukit. Aku pun turun dari benda besar ini sambil melepas helm yang langsung kuletakkan di spionnya.
"Dingin...?" kuberi anggukan kecil. Buru-buru Sean melepas jaket hitamnya. Menyodorkan benda itu di depanku. "Pakek." ucapnya di saat aku membuka mulut.
"Hem... Iya, makasih." kulihat Sean hanya diam. Pandangannya sudah teralihkan pada hamparan pemandangan di depan kami. Kaos panjang biru muda yang sedari tadi tersembunyi dibalik jaketnya membuatku merasa lega. Setidaknya Sean tak terlalu kedinginan.
Aku dan dirinya sama-sama menyender di motor berbadan kekar milik Sean. Tubuh kami yang berdekatan membuatku sedikit hangat sekaligus merasa sangat nyaman. Aku meliriknya yang ternyata masih menatap objek yang sama.
"Baru kali ini aku ke sini. Makasih ya..." ucapku jujur. Sean perlahan mengarahkan pandangannya padaku. "Em... Ada yang mau kamu omongin ya? Kok bisa-bisanya bawa aku ke sini."
Sean tersenyum. Sorot matanya yang teduh malah membuat tanganku mendingin, jantungku berdetak dua kali lebih cepat. "Cuma mau bilang makasih aja. Makasih, kamu udah mau temenan sama aku yang jailnya beda tipis sama Nino."
Aku memutar bola mata. "Huft... Iya. Sama-sama !" bisikku penuh penekanan.
Dengan santainya, remaja tampan berambut tebal itu terkekeh. "Hehe... Enggak-engak. Aku cuma pengen buat kamu nyaman aja sih. Tadi kamu kayak takut gitu pas aku jailin. Maaf ya..." terangnya yang terdengar tulus. Aku mengangguk secara refleks. "Aku juga mau bilang makasih. Udah jadi temen cewek yang buat aku nyaman. Makasih." sambungnya sambil menggenggam tangan kananku.
Aku menatapnya tak berkedip. "Eh... Iya, sama-sama lagi." Sean tersenyum lalu melepaskan genggaman tangannya. Kembali ditatapnya hamparan dibawah bukit : rumah-rumah dengan titik-titik cahaya lampu yang nampak seperti kunang-kunang jauh di depan kita.
"Aku cukup seneng kok sama ucapanmu barusan, yang ternyata pengen buat aku ngerasa nyaman. Sama ucapan terimakasihmu karna aku udah jadi temenmu yang buat kamu nyaman. Aku nggak mau egois, contohnya minta kamu buat ngebales perasaan aku... Aku bisa di deket kamu kayak sekarang ini aja udah mampu membuat aku tersenyum bahagia. Yang terpenting, aku masih menyayangimu. Meskipun aku nggak tahu kapan kamu akan tahu dan mau ngebales perasaan aku ini, aku akan tetap bersamamu." bisikku di dalam hati sambil menatap kedua mata indahnya ---dari arah samping--- bagian wajah yang selalu membuatku merasa damai.
°•°•°
Mungkin harapanku memang terlalu tinggi untuk mempunyai hubungan lebih padamu. Tapi ini bukan tentang egoku, melainkan tuntutan hatiku. Jangan paksa aku untuk mengusirnya. Aku belum bisa. Bahkan mungkin, aku tak akan bisa. Ya, hatiku sudah terlanjur menetap disana.
Nadea.
Jariku menghentikan pergerakannya yang menari-nari diatas Budy. Kututup Budy dengan helaan napas panjang. "Tenangkan pikiranmu Dea... Katakan ke otakmu, terutama hatimu kalau semua akan baik-baik saja. Menunggu itu hal yang menyenangkan." iya, kalau hasilnya sama menyenangkan juga. Kalau tidak? Menganga saja! Jangan ditangisi, aku yakin aku kuat.
Beruntungnya aku, Tuhan menyelamatkanku dari amukan sekaligus jambakan Diya. Heran, padahal aku terlambat lima menit. Sedang si gadis berpiyama polkadot tadi hanya menatapku datar. Aneh bukan? Tapi baguslah, itu membuatku lega. Jika aku menerima sakit fisik dari Diya, bagaimana dengan hatiku? Sudah cukup, sakit hati saja.
Mengayunkan kaki ke ranjangku yang empuk. Mataku siap untuk memejam, menanti mimpi yang pastinya hinggap tanpa permisi.
°•°•°
Tetep berusaha kasih yang terbaik. Terimakasih sudah membaca
See You
God Bless You