Chereads / Bukan Istri Tapi Estri / Chapter 32 - #032: Saat Pertama Datang

Chapter 32 - #032: Saat Pertama Datang

"Saya masih ingat betul saat Sarah pertama kali datang ke panti asuhan ini," kata Bu Diyah memulai ceritanya. "Kamu nggak keberatan kan kalau saya mulai menceritakan tentang Sarah dari bagian itu?" tanya Bu Diyah menanti jawaban dari Endra.

"Saya sama sekali tidak keberatan. Justru saya sangat menunggu Bu Diyah bersedia menceritakannya pada saya," jawab Endra mantap.

Bu Diyah tertawa melihat ekspresi Endra yang kelewat antusias itu. "Baiklah kalau begitu. Saya akan mulai bercerita saat Sarah pertama kali datang ke panti asuhan ini." Bu Diyah memamerkan senyuman khasnya sebelum melanjutkan. "Saat itu, usianya sebelas tahun. Saya yang membukakan pintu masuk saat mendengar ada suara ketukan pintu yang terus saja berbunyi. Saat dulu, bangunan panti asuhan ini tidak seperti yang kamu lihat sekarang. Dulunya hanya ada beberapa bangunan saja, dan tidak memiliki gerbang. Sehingga orang yang datang pun bisa langsung mengetuk pintu seperti yang Sarah lakukan itu." Bu Diyah butuh waktu sebentar untuk mengambil napas demi bisa melanjutkan ceritanya. "Saat saya melihat Sarah, dia terlihat sangat ketakutan dan meminta perlindungan untuk diijinkan tinggal di tempat ini."

Endra semakin tertarik mendengar cerita Bu Diyah saat menceritakan masa kecil Sarah itu. Dan juga penasaran tentang apa yang membuat Sarah kecil terlihat ketakutan.

"Meskipun akhirnya Sarah mulai tinggal di panti asuhan ini, tapi Sarah tidak mau menceritakan hal yang membuatnya ketakutan seperti itu. Bahkan selama berbulan-bulan kemudian, Sarah tetap tidak mau berbicara pada siapa pun dan selalu saja menyendiri. Ketakutan yang sempat dirasakannya dulu juga tidak pernah hilang. Bahkan Sarah sering kali melihat ke arah pintu masuk dengan penuh waspada, seolah -olah ada seseorang yang bisa muncul kapan saja dan akan membawanya pergi."

Endra menahan napasnya saat mendengar cerita itu. Dia yakin, ada sesuatu yang terjadi pada Sarah sampai membuat Sarah kecil begitu ketakutan seperti itu.

"Waktu itu saya juga tak henti-hentinya membujuk Sarah untuk bercerita. Tapi, setelah satu tahun lamanya Sarah tinggal di panti asuhan ini, informasi yang bisa saya dapatkan dari Sarah hanyalah informasi dari mana dia berasal. Dia bilang, dia berasal dari tempat yang jauh dari kota ini. Jauh di seberang pulau sana. Dia bisa sampai ke kota ini karena menumpang kapal yang sedang berlabuh di kotanya sana, dan kemudian secara diam-diam dia ikut serta kapal itu hingga akhirnya membawanya ke kota ini."

Endra tidak pernah menduga sama sekali kenyataan yang baru didengarnya ini. Sarah ... berasal dari pulau lain?

Langkah kaki Bu Diyah kini sudah sampai di ruangan aula, yang juga menjadi ruang kesenian di mana anak-anak yang gemar menari dan menyanyi mulai menunjukkan bakatnya. Ada musik dan peralatan lainnya yang mendukung anak-anak itu mengembangkan bakat. Saat Bu Diyah muncul di pintu masuk ruangan, anak-anak yang melihat keberadaan Bu Diyah bergegas menghampiri Bu Diyah dan berebut untuk mencium punggung tangan Bu Diyah dengan penuh hormat.

"Salim sama Mas-nya juga dong," tegur Bu Diyah saat melihat anak-anak asuhnya hanya melewati Endra begitu saja.

Mendapat teguran itu, anak-anak langsung bergegas menyalami Endra, dan membuat Endra jadi salah tingkah sendiri, juga merasa tidak siap saat punggung tangannya langsung diarahkan untuk mereka cium.

"Gimana tari tradisional yang minggu kemarin Ibu lihat, apa sekarang gerakannya udah kompak?" tanya Bu Diyah pada anak-anak yang memakai atribut tari.

"Masih belum, Bu. Indah tuh masih sering lupa," sahut salah satu anak sembari menunjuk anak lainnya yang kemungkinan bernama Indah.

Anak yang bernama Indah itu malah menggaruk kepalanya dan tertawa. "Hehe..."

Bu Diyah tersenyum kecil lantas memberikan penyemangat kepada anak-anak itu. Lantas, langkah kaki Bu Diyah pun kembali menyusuri lorong-lorong menuju ke tempat lain.

"Saat akhirnya Sarah beranjak remaja, sifat pendiamnya juga tidak berubah. Tapi meski begitu, ada satu hal yang selalu dilakukannya meski hampir tidak pernah berkata-kata. Yaitu membantu anak-anak yang lain." Bu Diyah tersenyum saat mengenang soal itu. "Saya bahkan masih ingat dengan jelas betapa Sarah tidak pernah membiarkan anak-anak yang lain dalam kesulitan. Dan mungkin karena hal itu, Sarah akhirnya mulai membuka diri, dia sudah mau berbicara dengan anak-anak yang dibantunya secara perlahan-lahan."

Endra mendengarnya dengan takzim. Seolah setiap kata yang diucapkan Bu Diyah adalah hal penting yang bisa menentukan masa depannya.

"Sarah mulai jadi panutan karena sikap baiknya itu. Sampai kemudian, saat itu, untuk pertama kalinya Sarah menunjukkan sisi lain yang tidak pernah ditampakkannya, yakni memarahi salah satu anak yang lebih muda darinya gara-gara anak itu ketahuan mengajak anak lainnya untuk bolos sekolah." Bu Diyah menganggukkan kepalanya saat berpapasan dengan ibu-ibu lain yang sedang menggendong anak kecil yang sedang diasuhnya.

"Sarah benar-benar marah besar, dia berbicara panjang lebar saat memarahi anak itu. Sarah memang selalu mengajarkan kepada semua penghuni panti asuhan untuk serius dalam belajar. Entah minat apapun yang akan mereka tekuni nantinya, tapi mereka semua tidak boleh ada yang sampai bolos sekolah." Bu Diyah tertawa kecil saat mengenang soal cerita itu.

"Tanpa sadar, Sarah rupanya menjadi sosok penuntun bagi anak-anak lainnya untuk selalu menjalani tugasnya dengan baik. Sarah pasti akan langsung memarahi mereka kalau mereka tidak melaksanakan apa yang sudah menjadi tugasnya itu. Dan mereka semua justru akan dengan senang hati menjadikan Sarah layaknya seorang kakak yang sedang memarahi adik-adiknya. Sampai akhirnya Sarah beranjak SMA, rupanya tanpa di duga, Sarah memiliki bakat mendesain baju yang sangat bagus. Meski awalnya, Sarah hanya berniat menggambar desain pakaian untuk seragam anak-anak panti asuhan ini." Bu Diyah lancar sekali menceritakan masa-masa itu seolah setiap potongan ceritanya selalu terpatri kuat di alam pikirnya yang tidak akan pernah dia lupakan.

"Saat desain Sarah itu dikirim ke penjahit, penjahit itu pun memuji keterampilan Sarah dalam mendesain baju. Akhirnya, keterampilan Sarah dalam mendesain baju itu pun dimanfaatkan dengan baik oleh penjahit itu. Sarah direkrut untuk dijadikan desainer untuk butik kecil-kecilan yang dimiliki penjahit itu. Tanpa di duga, rancangan baju buatan Sarah laku keras di kalangan ibu-ibu yang mengunjungi butik itu. Lambat laun, Sarah akhirnya mendapat berbagai tawaran untuk mendesain berbagai macam baju. Sampai akhirnya ada seorang donatur panti asuhan yang melihat bakat desain luar biasa yang dimiliki Sarah. Donatur itu merupakan orang kaya yang tidak memiliki keturunan, dan akhirnya memberikan modal untuk Sarah agar bisa membuat butiknya sendiri."

Kali ini Endra dibuat takjub saat mengetahui awal karir Sarah yang memang sudah memiliki bakat yang luar biasa sebagai desainer. Sangat berbeda sekali dengan dirinya yang tidak memiliki keahlian khusus apapun. Meskipun kedua orang tuanya memiliki perkebunan teh yang cukup luas, dan bahkan sampai dikuliahkan di jurusan pertanian, tapi Endra sama sekali tidak ahli dalam bidang itu. Dia cenderung hanya bisa melakukan pekerjaan sepele.

Bahkan selama di kampung halamannya sana, tugas Endra juga hanya melulu soal ikut memetik daun teh, membantu proses teh menjadi teh seduh, mengantarkan racikan teh yang sudah jadi ke pelanggan tetapnya, juga membantu ibunya saat sebagian besar hasil perkebunan teh akan diproses oleh pabrik teh yang sudah bekerja sama dengan perkebunan teh milik keluarga Endra. Begitulah. Pekerjaan Endra memang tidak memiliki keahlian khusus apapun, tipikal pekerjaan yang bisa dikerjaan semua orang.