Chereads / Bukan Istri Tapi Estri / Chapter 37 - #037: Keputusan Endra

Chapter 37 - #037: Keputusan Endra

Endra sudah mengambil keputusan baru. Keputusan yang membuat pikirannya bekerja lebih keras. Dia sudah menimang-nimang apa yang akan dilakukannya ini. Dan setelah perdebatan yang panjang dengan akal dan nuraninya, Endra pun memutuskan untuk melakukan ini.

Endra sudah berdiri di depan kantor Sarah. Dia menarik napas panjang lantas membuangnya dengan berat. Endra seperti sedang menguatkan hatinya atas keputusan yang akan diambilnya ini.

Tak lupa Endra mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan Sarah. Dan tak butuh waktu lama sampai dari dalam Sarah menjawab, "Masuk!"

Endra pun membuka pintu dengan sangat perlahan. Dan saat akhirnya wajah Sarah berhasil dilihatnya, Endra seketika terpaku.

"Ngapain lo ke sini? Bukannya lo sendiri yang bilang mau berhenti?!" sapa Sarah dengan nada dingin. Rupanya Sarah menyadari keberadaan Endra.

Endra kembali menguatkan hatinya untuk melakukan apa yang sudah diputuskannya. Dia menutup pintu dengan perlahan, lantas dilangkahkan kakinya menuju ke depan meja Sarah.

"Aku ke sini mau minta surat perjanjian yang kamu buat dulu," kata Endra dengan nada teratur. Perkataannya sudah tidak seformal biasanya.

"Ha?" Sarah tampak terkejut Endra mengatakan itu dengan nada santai.

"Karena aku udah berhenti jadi budak kamu, jadi aku mau minta surat perjanjian yang dulu pernah aku tanda tangani," jelas Endra masih dengan nada teratur. "Aku juga udah ngasih tau semuanya sama ibuku, jadi aku udah nggak punya alasan lagi buat terikat sama perjanjian itu."

Sarah menatap Endra sinis. "Jadi ... lo akhirnya sadar sama kebodohan--"

"Maaf, tapi aku ke sini untuk meminta surat perjanjian itu," potong Endra cepat. "Dan bukan untuk mendengarkan omongan kamu," lanjutnya lagi dengan sangat tenang.

Sarah mendengus kesal. "Oke, gue juga udah muak sama lo dan--"

"Sekali lagi maaf, aku cuma mau surat perjanjian itu," potong Endra lagi, yang langsung membuat emosi Sarah terpancing seketika.

"Sebentar, Bodoh! Gue juga lagi ngambil suratnya!" bentak Sarah karena Endra terus saja memotong ucapannya, terlebih dengan intonasi datar Endra yang terdengar begitu memuakkan di telinga Sarah.

Endra diam menunggu. Sampai Sarah berhasil menemukannya di antara berkas-berkas yang disimpannya di bawah laci mejanya.

Begitu Sarah berhasil mengambil surat perjanjian itu, dia langsung melemparkannya sampai map yang berisi surat itu terjatuh begitu saja di lantai. Endra hanya membuang napas panjang, lantas mengumpulkan lembaran demi lembaran kertas yang berserakan.

"Sekarang ... cepat lo pergi dari kantor gue sekarang juga! Dan jangan pernah muncul lagi di hadapan gue!"

Tepat saat Sarah selesai mengatakan kalimatnya, tepat saat itu pula Endra berhasil mengumpulkan kertas-kertas itu. Lantas tanpa Sarah duga, tiba-tiba saja Endra langsung merobek lembaran surat perjanjian itu sampai jadi potongan kecil-kecil.

"APA YANG LO LAKUIN, HAH?" teriak Sarah emosi. Sarah sampai harus berdiri dari duduknya melihat kelakuan Endra itu. Tentu saja, Endra bertindak seperti orang yang berbeda dan sangat kurang ajar padanya.

Endra tersenyum tipis. Setelah semuanya sudah berhasil dirobeknya, Endra berjalan mendekati Sarah sampai tubuhnya hanya terhalang oleh meja. Tatapannya terus tertuju ke arah Sarah. Keduanya saling bertatapan dengan sengit.

"Aku emang udah berhenti jadi budak kamu, dan surat perjanjian yang selalu kamu pakai untuk mengancamku juga sudah aku robek. Tapi ... masih ada satu hal penting yang nggak boleh kamu lupain," Endra mengatakan semuanya dengan nada dan raut wajah yang sangat bertolak belakang dengan Sarah.

"Kalau aku ... masih berstatus sebagai suami kamu," lanjut Endra yang seketika membuat Sarah tak bisa menyembunyikan raut terkejutnya.

"Hah? Apaan maksud lo sebenernya. Lo udah gila ya? Lo pikir itu bisa lo jadiin alasan buat nyerang gue? Hari ini juga, gue bakal ngajuin surat cerai!"

Endra menggeleng pelan. "Aku nggak ada niatan buat nyerang kamu kok. Aku cuma baru aja memutuskan untuk menjadi suami kamu yang sebenarnya. Aku udah nggak mau lagi tunduk di bawah kekuasaan kamu hanya karena surat perjanjian itu. Tapi aku benar-benar ingin jadi suami kamu tanpa ada ancaman apapun."

Sarah semakin tidak bisa mengontrol emosinya yang akan segera meledak keluar. "Lo udah gila! Bener-bener gila! Gue perlu panggil satpam buat ngusir lo dari sini!" Sarah sudah langsung mengambil gagang telepon untuk diletakkan di telinganya, sementara satu tangannya yang lain sedang memencet tombol telepon.

"Di kantor ini kamu kan nggak mempekerjakan seorang satpam," kata Endra mengingatkan Sarah.

Sial, Sarah sampai lupa. Saking terkejutnya mendengar Endra mengatakan hal gila seperti tadi membuat Sarah tiba-tiba saja merasa takut. Dia hanya ingin mengusir Endra dari ruangannya secepat mungkin.

"Jangan sentuh!" teriak Sarah panik saat Endra bermaksud mengambil alih gagang telepon yang masih dipegangnya.

Endra memang tidak berniat menyentuh Sarah, dia hanya meraih gagang telepon itu dengan tanpa bersentuhan dan meletakkannya di tempatnya semula. "Aku udah tau semuanya soal kamu kok," kata Endra kemudian.

"Jadi sekarang ... tolong biarin aku jadi orang yang bisa kamu percaya, aku mau jadi sandaran kamu, biar ketakutan kamu tentang laki-laki yang selalu mengganggu kamu itu bisa kamu atasi."

Sarah langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemarahan masih memenuhi ruang hatinya. "Siapa lo berani-beraninya nyuruh gue ngelakuin itu. Lo itu cuma sampah!"

"Kalau dengan jadi sampah kamu bisa mulai menerimaku, aku rela kok," balas Endra cepat.

"Gue nggak butuh lo. Gue nggak perlu pendapat lo. Gue benci laki-laki! Cepet lo pergi dari sini sekarang juga!" perintah Sarah dengan suara yang diliputi kemarahan.

"Asti udah langsung kerja lagi kan? Dan kamu bilang ... itu karena ada orang bodoh yang marah-marah sama kamu." Endra justru membalasnya dengan nada santai.

"Gue ngijinin Asti kerja lagi karena itu murni keputusan gue!" balas Sarah tidak terima.

"Meskipun kita nggak bertengkar seperti tadi pagi? Apa kira-kira kamu tetep nyuruh Asti buat kerja lagi, kalau bukan karena pertengkaran kita itu?"

"Ya, gue cuma perlu waktu biar Asti tau kesalahannya. Sama sekali nggak ada urusannya sama lo."

"Begitu ya?" Endra tertawa kecil. "Padahal kamu sama sekali bukan tipe orang yang semudah itu buat merubah keputusan kamu kan?"

"Persetan soal itu! Sekarang cepat pergi!" Sarah sudah muak mendengar ucapan Endra dan berharap Endra cepat menghilang dari hadapannya.

"Bu Diyah ... udah ngedukung aku buat bisa deket sama kamu loh. Jadi ... aku nggak akan semudah itu nyerah sama sikap kamu yang seperti ini."

Sarah sempat terkejut saat Endra menyebutkan soal Bu Diyah.

"Bu Diyah juga udah ceritain semuanya ke aku soal kamu. Dan beliau pikir, keberadaanku di sekitar kamu mungkin bisa ngebantu kamu mengatasi phobia kamu sama laki-laki. Jadi ... aku harap, kamu bisa menerima itu."

"NGGAK AKAN MUNGKIN, BODOH! GUE JUSTRU BENCI BANGET SAMA LO! BURUAN PERGI!" teriak Sarah dipenuhi amarah.