Sekarang hari sabtu. Terhitung sudah dua hari ini sejak Sarah pergi. Kantor juga libur setiap hari sabtu dan minggu. Karena tidak ada yang bisa dilakukan Endra selain hanya membersihkan rumah, dia jadi berpikir untuk mengunjungi kampung halamannya saja. Ibunya pasti senang kalau dirinya pulang ke rumah.
Pukul sembilan pagi, Endra sudah bersiap untuk pergi. Dia sudah memastikan rumah dalam keadaan bersih dan rapi, tinggal mengunci pintu dan mengendarai mobil menuju kampung halamannya. Tapi tiba-tiba saja hape Endra berbunyi. Nama Asti-lah yang muncul di layar hapenya.
"Ya, As?" sapa Endra begitu telepon tersambung.
"Ndra, gue bisa minta tolong ke lo nggak?" jawab Asti dengan melempar pertanyaan pada Endra. Suara Asti terdengar tidak seperti biasanya. Ada nada cemas yang bisa Endra tangkap dari suara Asti itu.
"Iya, kenapa, As?"
"Anak gue lagi sakit. Dari shubuh demam tinggi. Dan tadi baru aja periksa ke dokter. Jadi gue bener-bener nggak bisa kemana-mana."
"Terus?"
"Gue..." Asti malah menggantung kalimatnya. Endra bisa merasakan keresahan di dalam nada suara Asti.
"Apa yang bisa gue bantu, lo ngomong aja nggak apa-apa," desak Endra merasa tidak sabar.
"Tapi gue takut, Ndra," suara Asti melemah.
Endra mengernyit bingung. Takut?
"Sebenernya ... ini tugas yang udah dipercayakan Bu Sarah buat gue. Dan cuma gue satu-satunya orang yang tau tentang ini. Bu Sarah pasti bakalan marah banget kalau sampe ada orang lain yang tau soal ini juga. Tapi ... gue nggak punya pilihan lagi. Hari ini jadwal gue buat pergi ke sana. Malah Bu Diyah tadi juga sempet nelpon dan ngingetin gue barangkali gue lupa. Tapi ... dengan kondisi anak gue yang lagi sakit kayak gini, gue bener-bener nggak bisa pergi, Ndra."
Endra bener-bener tidak mengerti maksud ucapan Asti sebenarnya. "Gue beneran nggak ngerti lo ngomong apaan, As," tegasnya bingung.
Terdengar helaan napas panjang dan berat dari Asti. Endra tahu sebentar lagi Asti akan membeberkan hal yang begitu meresahkannya, dan Endra sudah bersiap untuk mendengarkannya.
***
Jadi, di sinilah Endra sekarang. Dia baru sampai di tempat yang diceritakan Asti. Endra keluar dari dalam mobil dan membaca plang nama yang tertera di tempat yang sedang dilihatnya ini.
"Panti Asuhan Kasih Ibu"
Ya, Asti menyuruhnya untuk pergi ke tempat ini. Menggantikan tugas Asti yang tidak bisa dilaksanakannya. Meskipun sepanjang perjalanan menuju tempat ini, Endra dibuatnya bertanya-tanya heran. Asti bilang, tanpa sepengetahuan siapapun, Sarah sebenarnya mengelola sebuah panti asuhan.
Meskipun masih banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya, tapi Endra akan mencoba menemukan jawabannya di dalam sana.
Saat Endra melangkah mendekati pintu gerbang, dirinya dibuat terkejut melihat sebuah tulisan tergantung di gerbang masuk.
"Laki-laki berusia 18 tahun ke atas, DILARANG MASUK! Jika ada kepentingan terkait panti asuhan ini bisa menghubungi nomor 02x-xxx-xxx."
Ya, tempat ini 100% milik Sarah kalau ada tulisan semacam itu. Nomor yang tertera juga adalah nomor telepon khusus kerja yang dikelola Asti.
Untungnya tadi Asti sudah menghubungi pihak panti asuhan perihal kedatangannya. Jadi saat Endra mengirim pesan pada Asti bahwa dirinya sudah sampai di depan gerbang, seseorang tampak membuka pintu gerbang dan membiarkannya masuk. Asti pasti langsung meneruskannya ke pihak panti perihal kedatangannya ini.
"Kamu diminta langsung menemui Bu Diyah," kata salah seorang perempuan berusia kurang lebih 40 tahunan yang tadi membukakan pintu gerbang.
Endra tidak keberatan. Bahkan saat dirinya disuruh mengikuti langkah kaki perempuan itu menyusuri lorong-lorong panti. Endra melihat banyak anak kecil mengintip penasaran melihat kedatangannya.
"Silakan masuk," pinta perempuan itu saat langkah mereka sudah tiba di sebuah pintu bertuliskan 'ruang kepala panti'.
Begitu pintu dibuka, Endra melihat seorang perempuan paruh baya yang sedang duduk sambil membaca sebuah buku dengan kaca mata yang melorot melewati pangkal hidung.
"Tamunya udah dateng ya," kata perempuan paruh baya itu sembari memamerkan senyuman ramah, lantas meletakkan buku yang dibacanya ke atas meja.
Endra mengangguk sopan, dan tak lupa juga ikut menampilkan senyuman ramahnya.
"Kalau gitu, silakan duduk di sana," tunjuk perempuan paruh baya itu mempersilakan Endra duduk di salah satu kursi yang ada di depan mejanya.
Endra kembali mengangguk. Lantas segera mendudukkan tubuhnya. Perempuan yang tadi sempat mengantarnya, langsung mohon ijin untuk pergi keluar. Tinggallah Endra dan perempuan paruh baya itu di ruangan ini.
"Jadi ... siapa nama kamu?" tanya perempuan paruh baya itu dengan tetap menampilkan senyuman ramahnya.
"Endra, Bu," jawab Endra sopan.
Perempuan paruh baya itu mengangguk-anggukkan kepala. "Endra, ya?" ulangnya memastikan.
Endra mengangguk.
"Nama saya Diyah Sari. Kamu boleh memanggil saya Bu Diyah seperti yang lainnya."
Endra mengangguk mengerti.
"Tadi ... saya mendapat kabar dari Asti kalau dia tidak bisa datang ke sini. Dan kamu yang menggantikan dia."
Entah sudah berapa kali Endra dibuat mengangguk menanggapi ucapan perempuan paruh baya yang bernama Bu Diyah ini. Dan kali ini pun Endra kembali mengangguk.
"Saya tau, Asti tidak mungkin sembarangan menyuruh orang ke sini. Jadi ... saya yakin kamu pasti orang yang spesial." Bu Diyah memasang tampang serius. "Kalau boleh saya tau ... kamu ada hubungan apa dengan Asti dan Sarah? Kamu pasti mengenal Sarah kan?"
Lagi-lagi Endra mengangguk. Tapi kali ini dia sudah bersiap untuk membuka mulutnya. "Saya rekan kerjanya Asti, juga asistennya Bu Sarah."
"Sarah punya asisten?" raut heran terpancar jelas di wajah Bu Diyah.
Endra mengangguk. "Sebenarnya bukan cuma asisten, tapi ... ada ikatan lain yang terjalin antara saya dengan Bu Sarah."
Bu Diyah mengernyitkan dahinya dalam-dalam. "Kamu dan Sarah punya ikatan khusus?" tanyanya dengan nada tak percaya.
Endra bingung bagaimana harus menjelaskannya. Tidak mungkin Endra mengatakan tentang status pernikahannya dengan Sarah yang sebenarnya tercipta karena perjanjian semata.
"Bisa dibilang ... saya punya kontrak khusus dengan Bu Sarah, dan itu membuat saya tidak bisa terlepas dari beliau," kata Endra akhirnya.
Bu Diyah akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, meski wajahnya terlihat ingin mengetahui lebih lanjut tentang hubungan Sarah dan Endra itu. "Baiklah, kalau begitu, kamu sudah tau alasan kamu diminta ke sini kan?"
Endra mengangguk pelan. "Asti sempat menjelaskannya sekilas sebelum saya berangkat ke sini."
"Kalau begitu, kita lanjutkan obrolannya nanti saja. Karena sebenarnya saya masih punya banyak pertanyaan yang perlu saya tanyakan lagi. Tapi ... karena anak-anak sudah menunggu sejak tadi, jadi kita bisa langsung menemui mereka sekarang," kata Bu Diyah yang kali ini mulai bangkit dari tempat duduknya.
Endra ikut bangkit. Dia berjalan mengikuti Bu Diyah keluar dari ruangan.
Tugas yang dimaksud Asti adalah untuk ini. Yakni mengantar anak-anak panti asuhan untuk berjalan-jalan, yang katanya sudah menjadi jadwal rutin setiap satu bulan sekali.