Chereads / Bukan Istri Tapi Estri / Chapter 46 - #046: Tak Bisa Mengelak

Chapter 46 - #046: Tak Bisa Mengelak

Sarah menatap tubuh Endra yang tidur telentang di atas sofa dengan sangat pulas. Ragu-ragu Sarah bergerak mendekat. Dia akan mencoba menyentuh tangan Endra untuk membuktikannya sendiri. Sarah bersumpah tidak akan pernah sudi melakukannya saat Endra terbangun. Mau ditaruh di mana mukanya jika tindakan memalukannya ini sampai ketahuan Endra.

Pelan sekali gerakan tangan Sarah dalam mencapai tangan Endra yang diletakkan di atas perutnya sendiri.

Tiga inchi, dua inchi, satu inchi, dan ...

Akhirnya, Sarah berhasil meletakkan tangannya di atas tangan Endra. Sarah tetap mendiamkannya dan mencoba merasakan bagaimana perasaannya sekarang. Apakah reaksinya memang berbeda seperti yang Endra bilang itu.

Namun belum sempat Sarah merasakan sensasi sentuhan itu, tiba-tiba saja ...

"Ada apa?"

Sarah hampir terlonjak saat sebuah suara masuk ke gendang telinganya dengan spontan. Astaga, rupanya Endra terbangun!

Bola mata Endra tertuju ke arah Sarah. Ada sedikit semburat warna merah di permukaan putih mata Endra yang menandakan kalau laki-laki itu memang sudah jatuh tertidur.

Mengetahui tangannya masih berada di atas tangan Endra, Sarah bergegas menariknya. Dia merasa malu sendiri sudah melakukan hal semacam ini.

Namun rupanya, Endra lebih dulu tersadar dan langsung menggenggam jemari Sarah erat-erat. "Kamu lagi berusaha membuktikannya ya?" tanya Endra sembari menampilkan senyuman tipis. "Sekarang kamu percaya?" lanjutnya sembari menatap Sarah lekat-lekat.

Sarah tidak bisa mengelak lagi. Kini keberadaan tangannya memang sedang berada dalam genggaman tangan Endra. Dan rupanya ucapan Endra bukanlah kebohongan. Sarah tidak merasakan reaksi negatif apa pun. Justru yang ada, dia bisa merasakan kehangatan tangan Endra saat sedang menggenggamnya seperti ini.

"Ya udah, karena semalem kamu tidur sambil megangin tangan aku kayak gini. Sekarang gantian, aku juga mau tidur sambil megangin tangan kamu gini." Endra sama sekali tidak melepaskan tangan Sarah dan kali ini malah bermaksud untuk melanjutkan tidur.

Tentu saja Sarah langsung menolak mentah-mentah. "Lepasin nggak!" ucapnya galak.

"Nggak mau. Aku terbangun juga kan gara-gara kamu." Endra santai saja menjawab.

"Kalau lo tetep nggak mau lepasin, gue tonjok lagi muka lo, mau?" Sarah mulai kembali ke jati diri.

"Ya udah nih silakan. Palingan nanti aku bakalan tambah ngambek sama kamu." Endra malah menyodorkan wajahnya. Meskipun Endra membalas ucapan Sarah, tapi sebenarnya Endra membalasnya sambil tetap memejamkan mata.

Sarah berdecak kesal mendengar kalimat menyebalkan Endra. "Gue bilang lepasin. Kalo lo tetep nggak mau lepasin juga--"

Ucapan Sarah seketika terhenti. Karena tiba-tiba saja, Endra menarik tubuh Sarah menuju ke arahnya. Refleks tubuh Sarah langsung terjatuh di atas tubuh Endra. Mereka berdua saling bertindihan di atas sofa. Wajah Sarah sekarang jadi sangat dekat dengan Endra.

"Kalau aku nggak mau lepasin, emang kamu mau apa?" kali ini Endra sudah membuka matanya dan memandangi Sarah dengan sorot teduh.

Sarah membeku. Seumur hidup dia tidak pernah sedekat ini dengan laki-laki. Jangankan untuk dekat, baru mendengar jenis kelamin laki-laki saja Sarah sudah sangat anti. Tapi kini, dengan Endra yang baru saja menariknya jatuh tepat di atas tubuh laki-laki ini, Sarah benar-benar merasa aneh. Dia akhirnya bisa melihat secara jelas bentuk wajah Endra selama ini. Bentuk mata, alis, hidungnya yang memar oleh pukulannya yang masih disumbat kapas, bentuk rahang, dahi, tulang pipi, dagu dan bibir Endra yang rupanya berwarna pink pucat. Semuanya benar-benar membuat Sarah baru menyadari satu hal, kalau ternyata ... Tuhan juga menciptakan wajah rupawan seperti ini pada makhluk yang berjenis kelamin laki-laki.

Tok ... tok ... tok ...

"Bu Sarah, ini saya, Asti," teriaknya dari luar ruangan.

Seketika saja Sarah langsung bangkit dan membetulkan sikapnya. Dia juga langsung berjalan menuju ke arah mejanya dengan perasaan gugup tak terkira.

Sementara Endra juga akhirnya memutuskan untuk bangun dari posisi telentangnya. Senyumnya masih tersisa di ujung bibirnya.

"Masuk." Setelah merasa Sarah sudah bisa mengendalikan diri, lantas Sarah membiarkan Asti yang masih berdiri di luar sana masuk.

Asti pun masuk. Saat tatapannya melihat Endra, Asti langsung melotot. Dari tadi Asti mencari keberadaan Endra, tapi tidak ada di mana pun. Padahal tadinya Asti sempat dibuat kerepotan untuk menyelesaikan laporan yang akan dia berikan pada atasannya ini, dan di saat Asti membutuhkan bantuan Endra, rupanya Endra sedang duduk-duduk santai di ruangan ini. Menyebalkan sekali.

"Ada apa?" tanya Sarah dengan nada tegas seperti biasa.

"Ini, Bu, saya mau menyerahkan laporan minggu kemarin sekaligus mau membahas soal perencanaan cabang baru," jawab Asti yang sudah sedia dengan berkasnya.

"Silakan duduk. Kita akan membahasnya setelah saya cek dulu laporan kamu."

Asti mengangguk. Dia akhirnya duduk di kursi yang tersedia di depan meja Sarah.

Endra yang mendengar itu akhirnya bersuara. "Karena kalian mau membahas sesuatu yang penting, aku mau ke atas aja."

Sarah hanya melihat Endra tanpa bisa mengatakan sepatah kata pun. Ingatan kejadian beberapa saat lalu, masih membekas dalam ingatannya. Dan itu benar-benar menyebalkan.

***

Sepanjang hari itu Sarah jadi pendiam. Bahkan saat waktunya pulang kantor, Sarah hanya langsung menunggu di dalam mobil sementara Endra masih harus membereskan ruangan kantornya.

Perasaan Sarah dibuat tidak nyaman. Bayangan wajah Endra juga masih terukir jelas di alam pikirnya. Selama ini memang Sarah selalu melihat Endra sebagai makhluk yang sangat dibencinya, jadi Sarah tidak pernah memedulikan rupa Endra selama ini. Baru kali itu saja, Sarah seperti baru 'diperlihatkan' bagaimana wajah Endra selama ini. Dan dia tidak suka dengan apa yang dirasakannya sekarang.

"Sekarang gantian nih?" kata Endra saat dalam perjalanan pulang. Dia melirik Sarah yang duduk di sampingnya yang mengarahkan tatapan ke luar jendela. "Jadi kamu yang ngambek?" lanjut Endra yang menyadari Sarah terus saja bungkam.

"Aku minta maaf kalau bikin kamu kaget. Aku cuma bercanda kok. Nggak bermaksud bikin kamu kaget gitu." Endra sadar, tindakannya yang sampai menarik tubuh Sarah jatuh di atas tubuhnya sudah agak kelewatan. Apalagi untuk ukuran orang yang sebelumnya sangat anti pada laki-laki. Menurut Endra, pasti Sarah masih sangat terkejut dengan tindakannya itu sampai Sarah tidak bisa bereaksi apa-apa saat ini.

Sementara Sarah tidak mau mengindahkan ucapan Endra. Tatapannya masih dia palingkan ke jalanan yang dilaluinya.

Bikin Sarah kaget? Itu sudah jelas. Tapi bukan cuma itu saja yang membuat Sarah terus bungkam seperti ini. Sarah hanya sedang menghapus ingatan tentang wajah Endra yang masih saja terukir jelas di otaknya. Sehingga setelah kejadian itu, Sarah merasa setiap melihat Endra bukan seperti sosok Endra yang selama ini dia benci. Tapi sosok lain. Sosok yang memiliki paras yang membuat pikirannya terganggu. Tatapan Endra saat menatapnya itu benar-benar meneduhkan. Tulang pipinya yang tertarik ke atas karena bibir Endra yang mengukir senyuman, benar-benar membuat Sarah dilanda perasaan aneh.

"Udah dong jangan diem terus. Kamu kalau marah diem gini malah bikin aku takut deh, mendingan kamu ngomel-ngomel kayak biasa aja dan ungkapin semua kekesalan kamu." Endra masih berusaha berdamai dengan Sarah.

"Si sadis Sarah, ayo dong ... mulai ngomong jutek lagi." Endra berusaha memancing Sarah agar bersedia mengomel.

Tapi Sarah tetap saja bungkam. Bahkan sampai rumah mereka terlihat, Sarah tetap tidak mau mengatakan sepatah kata pun pada Endra.