¤¤¤
Nggak ada yang tau apa yang akan terjadi hari ini atau hari esok bahkan satu detik kemudian kecuali Sang Pencipta dengan skenario yang sudah dibuat-Nya. Kita hanya mampu mengikuti alur-Nya dan tak bisa lari dari semua takdir yang sudah digariskan. Sikap ceroboh Ranya adalah takdir dari Tuhan yang sudah dia terima dengan lapang dada sejak lima tahun belakangan ini. Karena bagaimana pun, Ranya tak bisa merubah sikap cerobohnya.
Gadis itu menerima lembaran tisu yang diberikan Dwi di sampingnya. Dengan gerakan cepat, Ranya menyusut noda saos pada baju putihnya. Kemudian membuangnya ke tong sampah.
"Basuh dikit, Ra." Saran Dwi.
"Ntar baju gue transparan, dong," sahut Ranya dengan wajah lempeng yang ditaburi satu kilogram ekspresi galak. Kegalakan Ranya terlihat dari matanya yang bernetra hitam pekat dengan tatapan menusuk, itu milik Ayahnya.
"Lo punya hobby aneh banget, sih," Dwi mulai menggerutu. Ranya itu terlalu ceroboh dalam berbagai hal, termasuk menumpahkan makanan--dari mulai bakso yang tumpah karena tersandung kakinya sendiri, saos dkk yang muncrat ke sembarang arah, air mineral yang entah bagaimana bisa tumpah juga padahal Dwi sudah mewanti-wantinya, hingga banyak hal lagi yang selalu terjadi--di kantin hampir di setiap jam istirahat. "Lo tahu kan lubang saos dimana? Kenapa harus muncrat ke baju, sih?" Ternyata Dwi masih belum selesai dengan dumelannya itu.
"Yaudah, sih, gue yang ceroboh, kok jadi lo yang banyak bacotnya?" Balas Ranya tanpa menoleh, dia tengah mengikat rambut pendeknya.
"Jangan diiket, Ra. Udah, digerai aja."
"Gerah."
Ranya kemudian melangkah keluar toilet diikuti Dwi yang masih berkomat-kamit dengan seribu mantranya.
"Eh," Ranya berhenti mendadak. Matanya tertuju pada seorang pria yang tengah merapikan seragamnya yang sama sekali tidak kusut. "Kak Paris!" panggilnya sambil melangkah ke arah toilet pria.
"Fariz, Ra. Fa-Rizzzz, Pake F sama Z bukan P sama S. Paham kan?" Gemas Fariz menggertakkan giginya. Ranya ini kebiasaan banget ganti-ganti nama orang.
"Nggak penting," Ranya menggeleng singkat membuat Fariz hanya bisa mencebik sebal. "Gue mau titip surat lagi, tapi harus nyampe."
"Gue kan udah bilang, lo minta nomernya babang Gara aja, ribet, deh." Walaupun dengan wajah menolak, Fariz tetap saja menerima surat tanpa amplop itu dari adik kelasnya.
"Gue masih berani buat berkeliaran di depan dia kok. Nggak butuh nomernya." Balas Ranya dengan wajah songongnya. Melihat mata memicing Fariz pertanda akan berkomentar, Ranya kembali bersuara. "Kecuali kalo ngantin. Soalnya dia ditemenin Nona Kesi, gue takut diamuk masa." Ranya tidak takut apapun, tidak takut siapapun. Tapi Cessie harus dikecualikan. Cessie itu berbeda dari yang lain. Cessie terlalu bringas untuk Ranya tepis. Bahkan Ranya sering berfikir, sepertinya Cessie itu Bodyguardnya Gara. Karena dia selalu siap sedia untuk menjaga sang doi dari gangguan wanita lain. Kecuali pacarnya. Padahal pada faktanya, Cessie adalah sepupu Gara yang mengubah ikatan kekeluargaan menjadi persahabatan. Karena bagi Cessie, menghormati Gara sebagai abang sepupu sangatlah dilarang.
"Ck." Decakan itu membuat Ranya tersenyum lebar tanpa humor sedikitpun. "Lo kalo nggak iklas senyum mending nggak usah, deh. Gue jadi mules liatnya."
"Nggak penting," Ranya mengibaskan tangannya ke udara sebelum berlalu.
Melihat kepergian Ranya dan temannya, Fariz kemudian membalikkan secarik kertas di tangannya, dia akui tulisan tangan Ranya sangat bagus, bahkan terlihat cantik. Tapi tidak dengan ekspresi dan sikapnya. Itu nilai minus yang bener-bener menjadi minus dengan kecerobohan yang sudah diketahui hampir seantero jagat sekolah. Kecerobohan Ranya sudah menjadi rahasia umum. Ranya hanya terkenal dalam urusan menjatuhkan bakso atau semacamnya, dan terjatuh di tengah lapang atau dikeramaian koridor.
'Kak Gara, minggu nanti gue free kok. Jadi lo bisa jemput gue.'
"Gila!" Fariz menggeleng takjub membaca surat Ranya yang begitu tidak tahu malu. Ini memang bukan kali pertamanya Ranya menitipkan surat kepadanya. Tapi tetap saja, setiap kali Fariz membacanya, dia tidak pernah untuk tidak tertawa hingga perutnya keram.
Terkadang dia berfikir, apakah rasa suka Ranya kepada Gara hanya sebatas mengagumi ketampanannya atau benar-benar mencintai sahabatnya. Ranya terlalu sulit untuk diprediksi, wajahnya yang lempeng tanpa gurat ekspresi--kecuali ekspresi galak-- membuat siapa saja bukan hanya Fariz tidak dapat mengetahui kebenaran tentang isi hatinya.
Wajah Ranya hanya di dominasi ekspresi lempeng dan galak, sangat kurang humor. Sepertinya saat pembagian humor, Ranya tidak ikutan atau mungkin ketinggalan. Ah, entahlah.
Cessie yang baru saja masuk ke dalam kantin sontak menarik secarik kertas digenggaman tangan Fariz yang berjalan tepat di depannya. "Dari Ranya?" Tanyanya langsung membaca isi surat itu. "Masih berani aja dia."
"Udah, sih, sekali ini aja biar Gara baca." Fariz cepat-cepat menarik kertas itu dari tangan Cessie yang hendak meremas.
"Kan sobek!" Fariz memelotot horor pada Cessie yang malah masa bodoh.
"Biarin, sih." Cessie kembali menarik surat setengah sobek dari tangan Fariz.
Lalu, Fariz kembali menariknya paksa hingga kertas itu sobek menjadi dua bagian.
"Yang itu boleh lo buang." Fariz menunjuk sobekan kecil di tangan Cessie. "Yang ini." Dia mengangkat kertas dengan sobekan yang lebih besar di tangan kanannya. "Biarain gue kasih ke Babang Gara."
Kurang lebih begitulah semua nasib surat yang pernah Ranya titipkan kepada Fariz. Kalo tidak sobek, ya, Cessie jadikan bola kertas kemudian dibuang ke tong sampah.
Intinya, semua surat Ranya tidak pernah sampai dengan bentuk dan tulisan yang utuh ke tangan penerimanya.