Chereads / Ranya / Chapter 6 - Ranya Dengan Segala Kelebihannya

Chapter 6 - Ranya Dengan Segala Kelebihannya

"Pokoknya Mbak gue nggak ada duanya." Satya berucap menggebu-gebu di hadapan beberapa teman sekelasnya. Kelas mereka sedang kosong, katanya guru yang bersangkutan sedang berhalangan datang. Syukur-syukur nggak masuk semua. Tau-tau pulang aja. Yang demikian sungguh nikmat yang sangat luar biasa.

"Ya emang nggak bakalan ada duanya, orang dia emang Mbak lo."

"lo diem deh, dengerin aja nggak usah komen!" Satya memelototi satu temannya yang baru saja ikut mencampuri omongannya.

"Gue nggak pernah nyesel punya Mbak kayak dia. Dia tuh terlalu punya semuanya. Nggak ada cewek lain yang bisa nyerupain dia buat gue." Entah Satya gila atau bagaimana? Ranya yang begitu serba kurang selalu dia anggap sempurna. Di setiap jam kosong, dia akan menceritakan tentang Ranya ke teman-teman sekolah barunya.

"Gue pengen nannya bentar," satu temannya lagi menyela. "kelebihan dia apa sampai buat lo bener-bener suka sama dia? Btw, gue juga punya kakak cewek, tapi gue amit-amit banggain gitu."

Satya menceritakan semuanya, tak ada yang terlewat satu pun, sikap preman Ranya adalah favoritnya sampai kapan pun. Bahkan di usianya yang baru masuk SMA, dia sudah kepikiran untuk mencari istri dengan kelakuan yang sama seperti Mbaknya. Tapi tidak ada.

"Dia mantan pembalap liar?" Tanya satu temannya lagi yang sedikit tercengang dengan fakta yang baru saja Satya jejerkan.

"Ish! Gue nggak suka kalau ngomong di potong-potong." Satya menggeram tertahan. Sekalin pun begitu, dia tetap menceritakan semuanya. "Beberapa bulan yang lalu, dia masuk kantor polisi karena kasus tabrakan. Dia nabrak orang yang lagi jualan sate. Karena nggak mau Ayah sama Bunda ikut campur, nggak tau gimana caranya, dia jual motor kesayangannya itu. Sampe sekarang dia nggak pernah balapan lagi, sih." Satya menjelaskan panjang lebar tanpa celah yang hanya mendapat oh saja dari teman-temannya.

"Tapi gue nggak ngerti kenapa dia bisa suka sama cowok macem kenebo kering." Eluh Satya mengingat bagaimana bucinnya Ranya kepada Gara.

"Kenebo kering?"

Satya hanya manggut saja saat teman lainnya bertanya. "awalnya gue nggak bakalan sekolah di sini, gue udah putusin buat ngikutin Mbak Ranya ke mana pun, termasuk sekolahnya. Tapi dia larang. Dia maki-maki gue buat nggak satu sekolah SMA sama dia. Gue kecewa sebenernya sekolah di sini," Satya merenggutkan bibirnya membuat teman-teman yang melihatnya menatap jijik.

Bagi teman-teman Satya yang sudah tahu betul soal sikapnya yang tegas dan didominasi dengan sikap percaya diri yang tinggi dengan tutur kata yang kasar, cowok itu bakal jadi kurang laki kalau sudah menceritakan Mbaknya. Sebenarnya mereka cukup kepo sama tampang Ranya, tapi tak pernah seorang pun dari teman-temannya--baik teman SDnya, SMP, atau mungkin SMA--yang pernah Satya kenalkan kepada Ranya. Satu kekhawatirannya, dia takut teman-temannya akan menyukai Ranya. Cukup Gara saja--yang tampangnya belum dia tahu juga--yang menjadi saingan dengan dirinya. Memang sangat tidak waras manusia satu ini.

"Gue kepo sih sama tampangnya Mbak lo itu, kapan-kapan  kita main ke rumah lo gimana?" Si rambut ikal menawarkan diri sambil memainkan alisnya meminta persetujuan.

"Ummm," Satya pura-pura menimang permintaan yang tak akan pernah disetujuinya. "Ntar aja. Kapan-kapan deh gue ajak kalian semua." Tandas Satya.

¤¤¤

"Hari ini saya ada kepentingan lain. Jadi, tolong kalian tulis rumus-rumus yang sudah saya jelaskan ini." Ujar seorang guru wanita dengan kaca mata minus yang bertengger di hidungnya sambil mengetuk-ngetukkan ujung spidol pada papan tulis. "Kemudian, kalian kerjakan soal-soal yang ada dibuku paket  dari nomor satu sampai dua puluh." Lanjutnya, kemudian beliau menutup spidol itu dan merapikan beberapa buku yang dibawanya. "saya permisi." Pamitnya sebelum berlalu.

"Yaaaaah," murid-murid terlihat tampak kecewa dengan kepala mereka yang mengeluarkan asap. Rumus saja belum masuk ke otak, tugasnya sudah bengkak. Padahal kalau mau pergi, pergi saja. Tidak perlu memberi tugas ini-itu. Kayak doi aja, yang bilang mau pergi tapi masih bilang sayang, gimana coba itu maksudnya?

"Lo udah nulis?" Tanya Dwi menoleh ke belakang.

"Buat apa nulis? Kan udah ada di buku paket." Jawab Ranya sedikit mengangkat wajahnya. Tangannya tengah sibuk berkarya di atas kertas. Nama Sagara terukir indah di halaman belakang buku Matematikanya. Semua buku pelajaran miliknya sudah tercap dengan nama Gara di banyak sudut bahkan banyak lembar.

"Goblok banget sih lo." Kesal Dwi karena sikap bodo amat Ranya. Belum lagi dengan rumus-rumus Bu Sarmidah yang tidak mau masuk ke otaknya. Dimatanya yang sehat walafiat, tulisan beliau tidak terbaca, alias blur. Dan di mata Ranya yang sehat juga, tulisan beliau sama sekali tak terlihat, sangat tidak bisa dicerna dengan otak satu sentinya.

Jadi, kelebihan Ranya yang mana yang selalu Satya sombongkan di hadapan teman-temannya? Ranya sama sekali tidak memiliki kelebihan apa pun hampir di semua hal. Pandai? Ranya sangat kurang dalam hal berfikir. Cantik? Itu relatif, tergantung orang-orang memandangnya. Jika mereka suka, mereka akan mengakui kecantikan Ranya. Tinggi? Tolong digaris bawahi, Ranya hanya setinggi dagu Cessie, sepundak Dwi, dan sedada bila berdiri di depan Gara. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika Ranya berjalan bersama Gara? Mereka hanya akan terlihat seperti manusia dan tuyul peliharaannya. Kelebihan Ranya hanya terletak pada pipi, paha, dan perut. Ya, dia kelebihan lemak di beberapa bagian tubuhnya.

Ranya menutup buku tulisnya, menutup pulpennya, juga menutup buku paketnya. Kemudian dia menutup matanya di atas tangan yang sudah terlipat di tumpukan buku-buku. Ranya ingin tidur. Gara sudah menunggunya di alam sana.

"Sagara. Sagara. Sagara."

Ranya menyebut nama itu sebanyak tiga kali dalam hatinya setelah berdoa sebelum terlelap. Satu harapannya, tidak papa Gara tidak pernah menemuinya di dunia nyata. Setidaknya, mungkin di alam mimpi Gara akan menemuinya dengan senyuman.

¤¤¤