"WINDAAAA!" Panggil Putri yang sepertinya tak dihiraukan oleh Winda. Karena ia masih saja fokus dengan makanannya, bahkan mungkin Winda tak menyadari keberadaan Putri yang sekarang ini tengah menjadi pusat perhatian hampir semua orang yang berada di dalam kantin itu.
"Dasar kamu! Kalau sudah sama Kak Aji, pasti nggak peduli sama sekitar." Ucap Putri, kesal. Winda hanya menatap Putri tanpa ekspresi,
"Hai, Kak Aji!" Sapa Irma yang kini berdiri di samping Putri.
"Hai!"
"Ya, maaf! Lagian ngapain kalian baru datang? Padahal gue udah nunggu dari tadi, lho." Ucap Winda santai, sambil melanjutkan makannya yang sempat tertunda itu.
"Lo mah enak...."
"Sssttttt! Ya udah duduk sini! Duduk, duduk! Mau makan apa? Pesen aja! biar Kak Aji yang bayar." Ucap Winda yang entah kenapa secara tiba-tiba memotong ucapan Irma. Putri yang paham akan maksud Windapun segera menyenggol lengan Irma agar tidak melanjutkan ucapannya.
"Eh?" Terkejut, ya begitulah ekspresi yang terlihat dari wajah Aji setelah mendengar ucapan Winda, yang seenaknya saja mengatakan bahwa ialah yang akan membayar semua makanan yang akan di beli oleh teman-teman Winda nanti.
"Mau kan, Kak?" Tanya Winda, sambil menunjukan wajah memohon yang menurut Aji begitu menggemaskan. Kalau sudah seperti ini, bagaimana Aji bisa menolak? Toh, uangnya tidak akan habis hanya untuk membayar makanan yang tak seberapa harganya itu.
"Iya. Kalian pesan aja, ntar biar gue yang bayar." Ucap Aji, tanpa mengalihkan pandangannya yang masih saja menatap Winda, dengan senyum tulusnya yang manis itu. Demi Winda. Begitulah pikir Aji sekarang.
"Wah, baik banget. Emang lagi ada acara apa, sih?" Tanya Irma, penasaran.
"Kepo lo! Nggak usah nanya-nanya, napa? Lo mau Kak Aji sama Winda berubah pikiran?" Tanya Putri mengingatkan Irma, yang seolah lupa dengan watak Winda.
"Hmm. bener juga. Bisa-bisa kita nggak jadi dapat makanan gratis. Ya udah kita mau pesen dulu, ya!" Dengan riang Irma mengajak Putri untuk segera pergi meninggalkan dua orang itu dan melangkah menuju salah satu penjual di kantin, yang terlihat masih saja ramai dengan siswa-siswa yang tengah mengantre.
"Win!" Panggil Aji,
"Hmmm?" Dengan tatapan penuh tanda tanya, Winda menatap Aji.
"Lo kenapa? Nggak biasanya muka lo murung gitu."
"Gue kenapa? Gue nggak apa-apa kok."
"Beneran? Kalau ada masalah cerita aja. Siapa tau gue bisa bantu, atau paling nggak ngasih saran gitu."
"Iya. Gue nggak kenapa-kenapa. Lagian emang biasanya gue nggak cerita ke lo?"
"Ya cerita sih."
"Ya udah. Nggak usah khawatir gitu kali. Nah, udah habis. Pergi, yuk!" Ajak Winda, setelah dilihatnya makanan di mangkok putih cap ayam itu habis.
"Kemana?" Tanya Aji bingung, sambil menatap Winda yang sudah bangkit dari duduknya.
"Kemana aja yang nggak berisik kayak disini."
"Hmm. Ke perpustakaan?" Usul Aji,
"Boleh. Yuk!" Setelah mendapatkan persetujuan Winda, keduanya pun segera melangkah keluar meninggalkan kantin.
"Bu, beli sotonya dua sama es tehnya dua!" Ucap Putri kepada seorang penjual soto yang ada di kantin, setelah sekian lama mengantre.
"Yang bayar Kak Aji, Bu. Kalau mau minta uang ke Kak Aji aja ya, Bu!" Lanjut Irma,
"Baiklah. Kalau boleh tahu, namanya siapa?" Tanya Ibu penjual soto.
"Saya Irma."
"Kalau saya Putri."
"Oh, ini toh yang namanya Putri." Ucap Ibu penjual soto, dengan raut wajah sedikit terkejut.
"Iya. Ada apa, Bu?" Tanya Putri, bingung.
"Nggak ada apa-apa. Saya hanya penasaran karena banyak anak-anak yang suka cerita tentang kamu. Beneran cantik ternyata." Mendengar jawaban yang diucapkan oleh ibu itu, Putri hanya tersenyum. Sudah biasa ia mendapat pujian seperti itu, dan hampir muak Putri mendengarnya. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tidak bisa memarahi orang yang memujinya, bukankah itu hak mereka?
"Nah, ini soto nya!"
"Iya, Bu. Sekali lagi, ini yang bayar Kak Aji ya, Bu."
"Iya."
"Kalau begitu kami permisi dulu. Terima kasih!" Putripun segera mencari tempat duduk, diikuti Irma di belakangnya yang membawa sebuah nampan dengan dua mangkok soto dan dua gelas es teh di atasnya.
Baru juga ingin mendudukan diri di bangku pilihan Putri. Tiba-tiba saja datang seorang siswa, yang tanpa permisi langsung mendudukan diri di samping bangku Irma. Dengan kesal Irma menatap siswa itu, namun siswa yang ditatapnya malah menatapnya balik dengan senyuman yang cukup membuatnya geli sendiri.
"Put, tuker tempat!"
"Kenapa?" Tanya Putri, bingung. Namun, tetap saja ia mau menukar tempat duduknya. Karena dilihatnya raut wajah kesal Irma yang tak biasa itu, membuatnya diam seribu bahasa.
Siswa yang tadi duduk samping Irmapun, bangkit dari duduknya dan berniat mengikuti Irma. Melihat itu,
"Lo! Duduk di situ aja!" Perintah Irma, yang lagi-lagi membuat Putri bingung. Karena tak pernah sekalipun Irma bersikap seperti itu.
"Kalau gue nggak mau gimana?" Tanya siswa itu, yang berhasil membuat Irma bingung dan kehabisan kata-kata.
"Ya...ya... ya lo harus mau! Kalau nggak....." Bingung, iya. Sekarang Irma sedang kebingungan, ia tahu betul seperti apa orang yang dihadapannya kini. Seperti biasa, Irma selalu kehabisan kata-kata saat berdebat dengannya.
"Kalau nggak, apa?"
"Ya, gue yang pergi dari sinilah."
"Pergi aja! Kemanapun lo pergi gue ikutin." Ngeri. Ya, itulah yang Putri rasakan setelah mendengar ucapan siswa itu, yang padahal bukan ditujukan kepadanya.
"Udah kali, Lib! Turutin aja dari pada Irma nggak jadi makan! Dan Irma duduk gih! Tenang aja! Galib nggak bakal duduk di samping lo kok." Ucap Siswa satunya yang baru saja datang, dengan sebuah nampan dan makanan di atasnya. Untuk menghindari pertengkaran yang tidak akan pernah berakhir itu, Ia memilih duduk di samping Irma.
"Makasih, Kak!" Ucap Irma sedikit tenang. Kecewa. Itulah yang dirasakan siswa yang kini duduk di samping Putri. Masih diliputi rasa kebingungan, Putri memandang ketiganya secara bergantian. Karena banyaknya pertanyaan muncul di kepalanya, soto yang sepertinya tak lagi hangat itu sama sekali belum ia sentuh.
"Putri! Kenapa? Makan gih, sotonya udah dingin tuh!" Ucap siswa yang duduk di samping Irma.
"Ah. Iya, Kak."
***
"Kok gue kagum ya sama lo." Mendengar seseorang di hadapannya berbicara setelah beberapa saat terdiam, Aji mengangkat kepalanya.
"Lo tuh sempurna banget. Gue beruntung bisa deket sama lo kayak gini." Senyum simpul itu terlihat saat mendengar Winda kembali berucap.
"Lo tu dah ganteng, keren, pintar, rajin, disiplin, tanggung jawab, tinggi, kaya lagi. Huh, makanya banyak yang suka sama lo." Tatapan bangga yang tadi terlihat di mata Winda, perlahan menghilang bersamaan dengan tatapannya yang menurun.
"Kok lu mau sih milih gue. Udah dekil, jelek, bodoh pula. Lu nggak sakit mata?" Tanpa di sadari Winda yang tengah menunduk, terlihat dahi Aji mulai berkerut. Ia bertanya-tanya, sebenarnya akan kemana arah pembicaraan ini? Apa maksud ucapan Winda? Winda kenapa?
"Gue suka mikir.....?"
"Ah. udahlah. Eh, ya ini kenapa belnya nggak bunyi-bunyi sih?" Tanya Winda, kesal.